Ini Perjalanan Hidup Rio, dari Lahir Hingga Jadi Pembalap F1

Kamis 03-03-2016,10:16 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

ADA begitu banyak pembalap yang ingin masuk Formula 1. Namun, kejuaraan dunia itu hanya punya 22 kursi. Yang rekeningnya tersebar di berbagai bank di seantero Eropa pun belum tentu bisa menembus persaingan superketat itu. Jadi, membanggakan sekali bila bisa masuk F1. Capaian itulah yang kini diwujudkan oleh Rio Haryanto. Pembalap asal Solo tersebut sedang berpacu dengan waktu untuk beradaptasi dengan mobil V6 hybrid milik Manor-Mercedes. Dengan begitu, saat grand prix dimulai pada 20 Maret nanti, cah Solo itu bisa kompetitif melawan para pembalap terbaik dunia. “Ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan bagi saya. Sudah sampai di sini, apa pun akan saya lakukan,” kata Rio setelah uji coba hari pertama di Barcelona dini hari kemarin WIB. “Tidak semata untuk saya, juga demi Indonesia,” tegas dia. Dengan Rio tergabung di tim kecil, Manor-Mercedes, banyak yang memandang dengan sebelah mata. Termasuk sekian banyak orang Indonesia. Padahal, sekecil apa pun tim Formula 1, anggarannya di atas EUR 100 juta alias Rp1,5 triliun. Anggaran Manor musim ini dikabarkan mencapai EUR 120 juta atau setara dengan Rp1,72 triliun. Teknologi yang digunakan Manor juga nomor wahid. Mesin mobil yang dipakai Rio sama persis dengan yang digunakan juara dunia Lewis Hamilton (Mercedes). Rio cuek dengan segala hal miring mengenai dirinya. Sampai tahapan menjadi pembalap F1, dia telah berkorban banyak hal. Kalau kemudian terganggu dengan hal-hal yang tidak semestinya, tentu konyol sekali. Putra mantan pembalap nasional Sinyo Haryanto itu menekuni gokar sejak usia enam tahun. Cowok kelahiran 22 Januari 1993 itu kemudian merintis karir internasional pada 2008. Sejak saat itu, kehidupannya berubah. Latihan demi latihan dia jalani untuk bisa kompetitif di lintasan balap. Dennis van Rhee adalah salah seorang yang merekam perjalanan karir Rio. Pria asal Belanda itu menjadi trainer pribadi Rio sejak 2008. Dia mempersiapkan latihan fisik sekaligus memberikan advis terkait dengan teknik balapan.  “Rio itu dulu seperti Boboho (tokoh film Mandarin yang populer pada 1990-an, red). Badannya gendut,” kenang Van Rhee tentang pertemuannya dengan Rio nyaris delapan tahun silam. ”Kalau bukan anak yang disiplin, fokus, dan pekerja keras, saya tidak yakin Rio akan seperti saat ini,” jelasnya. Cerita bahwa Rio berbadan gendut semasa duduk di sekolah dasar dibenarkan oleh keluarganya. Bobot badan berlebih tentu saja ”diharamkan” dalam balapan formula. Selain memberatkan buat mobil, secara fisik sang driver juga tidak akan mampu menghadapi tantangan dengan tubuh seperti itu. Di Formula 1, endurance pembalap harus mirip atlet maraton. Jantungnya akan dipacu 170–200 beats per minute (bpm) selama 1,5 jam perlombaan. Lehernya harus sekuat petinju karena G-force mobil F1 begitu besar. Kalau tidak, dua lap saja, lehernya bisa terkilir. Padahal, seorang pembalap F1 harus berlomba dalam 50-an lap. ”Rio melatih fisiknya dengan sangat keras sejak delapan tahun lalu,” ungkap Van Rhee. ”Sejak masih ABG (anak baru gede, red), dia berlatih empat jam sehari, lima hari sepekan. Itu dilakukan selama bertahun-tahun. Saya tidak yakin ada anak lain yang kuat menjalani rutinitas latihan Rio,” lanjut dia. Empat jam latihan fisik itu dibagi menjadi dua sesi, pagi dan sore. Pada pagi hari, Rio harus menjalani latihan endurance. Sore untuk melatih strength. Menu latihan endurance bisa berlari dan berenang. ”Jika renang, bisa mencapai 3 kilometer (km) setiap sesi,” papar Van Rhee. Dengan latihan seperti itu, Rio lantas berubah. Dari yang awalnya berbodi mirip Boboho, dia menjelma sebagai remaja atletis. Penampilannya di lintasan balap pun ciamik. Berbagai ajang balap formula di Asia dan Eropa dia menangi. Puncaknya tahun lalu, ketika Rio merebut tiga kemenangan di GP2. Kesuksesan itu mengantarkan dia menembus Formula 1 saat ini. Moises Vila Blanch, lulusan sports science dari University of Barcelona yang sekarang menjadi trainer dan fisioterapis buat Rio, mengungkapkan hal serupa. Rio sangat disiplin. Karena itu, saat harus menjalani kehidupan sebagai pembalap Formula 1 yang jauh lebih keras daripada GP2, dia tidak kesulitan untuk menyesuaikan diri. ”Rio musim ini akan balapan 21 seri. Itu dua kali lipat balapan GP2. Pun demikian halnya dengan durasi per race. F1 itu dua kali lipatnya jika dibandingkan dengan GP2,” papar Blanch. Konsekuensi dari kondisi itu, Rio harus kehilangan lagi hal-hal yang sebelum F1 bisa dilakukannya. Senin lalu, pagi buta, dia sudah harus berada di sirkuit. Pada pukul 07.30 waktu setempat, dia sarapan bareng dengan para engineer. Sebagai catatan, pukul 07.00 di Barcelona masih gelap. Pukul 09.00 dia memulai uji coba dan selesai pada pukul 18.00. Setelah itu, dia harus melayani sesi wawancara dengan televisi maupun media cetak. Itu diwajibkan oleh FIA. Malamnya, dia harus meeting dengan tim untuk mengevaluasi hasil uji coba. Plus merencanakan program selanjutnya. ”Pada pukul 21.00, Rio sudah harus tidur. Begitu kalau ada race atau uji coba,” papar Blanch. Ibunda Rio, Indah Pennywati, adalah salah seorang yang sangat merasakan perubahan pada anak bungsunya itu. Dia selama ini dikenal sangat dekat dengan Rio. Sampai-sampai banyak media di Indonesia tahun lalu menyebut Indah sebagai manajer Rio. Padahal, manajer Rio yang sebenarnya adalah Piers Hunnisett, mantan pembalap asal Inggris. Itu terjadi karena Indah hampir selalu menemani Rio untuk balapan. Baik pada seri-seri di Asia maupun Eropa. Termasuk musim lalu, ketika sang buah hati membalap di ajang GP2 bersama Campos Racing pada usia 22 tahun. ”Sekarang, jangankan nemenin, bertemu saja saya sulit,” kata Indah. Karena sedang punya urusan dan sulit bertemu, Indah memilih tidak pergi ke Barcelona untuk menemani Rio di uji coba kedua itu. Van Rhee menyatakan, itu adalah konsekuensi yang harus dijalani Rio. Dia tidak bisa lagi menjadi ”anak mama”. Harus lebih disiplin, berkorban, dan berlatih lebih keras. Namun, di sisi lain, ada pihak yang mencibir. Sedihnya, itu terjadi di negeri sendiri. Namun, Rio dengan gayanya yang kalem khas cah Solo menyatakan bahwa itu risiko yang sejak lama disadari akan dihadapi. Tekadnya untuk mengharumkan nama Indonesia tidak akan padam. ”Yang penting, saya melakukan ini demi Indonesia. Biarlah mereka mau berkata apa,” tegasnya. Vamos, Rio… (*/c11/na)

Tags :
Kategori :

Terkait