JAKARTA- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mengumumkan uang yang disita dari rumah Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi. Dari rumah mewah di Jalan Hang Lekir itu ternyata penyidik KPK menyita uang sebesar Rp 1,7 miliar. Diduga uang itu berkaitan dengan suap. Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan penyidik telah menghitung uang yang didapat saat menggeledah rumah Nurhadi, jumlahnya Rp1,7 miliar. Duit tersebut terdiri dari berbagai pecahan mata uang asing. Rinciannya, ada USD 37, 603 atau setara dengan Rp496.923.850, SGD 855.800 (setara Rp837.923.425), YEN 170.000 (setara Rp20.244.675), SAR 7.501 (setara Rp26.433.600), Euro 1.335 (setara Rp19.912.555) dan Rp354.300.000. Yuyuk mengatakan uang itu masih didalami, apakah terkait suap yang tengah menjerat panitera sekretaris Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Edy Nasution atau bukan. Yuyuk sendiri membenarkan bahwa terkait Nurhadi, KPK pernah menerima laporan hasil analisa (LHA) dari Pusat Pelaporan dan Analisas Transaksi Keuangan (PPATK). LHA itu terkait transaksi mencurigakan Nurhadi. Sebagaimana diketahui, KPK kembali membongkar mafia peradilan. Lembaga antirasuah itu menangkap Edy Nasution yang menerima uang dari PT Paramount Enterprise International terkait pendaftaran peninjauan kembali (PK) di PN Jakarta Pusat. Setelah menangkap Edy, KPK langsung menggeledah rumah dan ruang kerja Nurhadi. Nama Nurhadi juga sudah masuk dalam daftar pencegahan KPK. Sementara itu, bukan hanya KPK yang mengungkap buruknya birokrasi peradilan melalui operasi tangkap tangannya. Ombudsman RI lewat investigasinya juga menemukan berbagai praktek percaloan dalam peradilan. Komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala mengatakan lembaganya melakukan investigasi dan menemukan banyaknya tenaga peradilan meminta yang uang jasa percaloan pada para pencari keadilan. \'\'Nilainya hingga mencapai puluhan juta. Terbanyak terkait pemenangan perkara,\'\' kata Adrianus. Investigasi dengan melakukan penyamaran salah satunya dilakukan ke PN Jakarta Selatan. Investigasi itu dilakukan karena selama ini Ombudsman banyak menerima laporan terkait buruknya kinerja MA dan peradilan di bawahnya. Sejak 2014, laporan terkait buruknya laporan kinerja peradilan terus meningkat. Pada 2014 ada 256 laporan, berikutnya 2015 terdapat 262 laporan. Sedangkan pada 2016 yang baru berjalan empat bulan ini sudah ada 105 laporan. Dari laporan maupun investigasi langsung, Ombudsman menemukan sejumlah penyimpangan. Di antaranya penyimpangan prosedur pada pendaftaran perkara, keterlambatan jadwal sidang, penyimpangan prosedur penyerahan salinan putusan dan petikan putusan, praktik percaloan, dan tidak terpenuhinya standar pelayanan di pengadilan. Adrianus menilai buruknya pelayanan peradilan itu semakin menegaskan Rule of Law Index tahun 2015 yang dirilis World Justice Project, Washington DC. Indeks yang memotret praktik peradilan pada 102 negara tersebut menyatakan penegakan hukum di Indonesia sangat rendah. Dalam indeks tersebut posisi Indonesia ada di peringkat 52 dari 102 negara dunia. Bahkan di tingkat Asia-Pasifik pun posisi Indonesia masih jeblok, yakni di urutan ke-10. Ada di bawah Singapura, Malaysia dan Filipina. Salah satu penyumbang poin buruk pada pemeringkatan ini adalah rendahnya integritas dan etika di lingkungan peradilan. Indonesia berada di peringkat ke-74 (dari 102 negara dunia) atau ke-14 (dari 15 negara Asia-Pasifik). \'\'Rendahnya posisi Indonesia juga karena sulitnya warga mendapat akses civil justice melalui peradilan,\'\' kata pria yang berlatar belakang kriminolog ini. Berbagai temuan Ombudsman itu kemarin langsung disampaikan ke MA dan Komisi Yudisial. (gun)
Ditemukan Uang Rp1,7 Miliar di Rumah Sekretaris MA
Kamis 28-04-2016,08:49 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :