Strawman Indonesia

Rabu 11-05-2016,12:58 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Bukan, judul di atas bukanlah judul film superhero baru Indonesia. Lagi pula, emangnya film komedi kok superhero namanya terdengar seperti ”Manusia Sedotan”? Bukan juga, judul di atas bukan berarti tulisan ini tentang pria penjual sedotan di Indonesia. Sekreatif apa pun saya dalam menulis, rasanya sulit menulis satu kolom penuh tentang sedotan. Lalu apa maksud judul di atas? Sebelum saya membahas artinya, mungkin saya menjelaskan dulu inspirasinya. Seperti biasa, saya sumpek (penat, puyeng, sebel) membaca berita-berita ”nasional” Indonesia. Bagaimana tidak. Isinya orang berantem, serba menyalahkan, dan selalu tentang hal-hal yang belum tentu relevan untuk kebaikan dan kemajuan masyarakat kita secara keseluruhan. Seolah-olah, di sini orang lebih memusingkan masalah hina-menghina daripada memelototi masalah-masalah layanan masyarakat atau pembangunan. Seolah-olah, di sini orang lebih memusingkan apa kata orang lain di social media daripada memusingkan betapa banyaknya lubang-lubang berbahaya di jalanan kita. Kalau bukan soal berantem dan menyalahkan, berita yang heboh justru membuat kita semakin ngeri. Mulai maraknya kasus-kasus pelecehan dan kejahatan seksual. Dampak dari negara yang seolah tanpa tujuan dan ketegasan? Entahlah… Dan seperti biasa, kehebohan-kehebohan itu memberi dampak-dampak lain yang menyebalkan. Para petinggi saling mengklaim peran terhadap sesuatu yang belum tentu mereka lakukan. Para petinggi saling berlomba mengeluarkan statement untuk menghujat mereka yang dianggap jahat. Para petinggi saling berebut perhatian dan sorotan, berlomba-lomba menunjukkan bahwa merekalah yang paling peduli. Semoga masyarakat kita memang semakin pintar, bisa memilah-milah mana yang serius dan mana yang pura-pura. Semoga masyarakat kita juga semakin bisa menyerap pernyataan atau omongan, segala pemberitaan, menyaringnya, lalu menilai mana yang kira-kira layak diberi pujian atau pengakuan. Nah, di sinilah pentingnya mengenal Strawman. Semakin kita mengenal Strawman, semakin kita bisa menilai omongan orang-orang yang banyak berkoceh di televisi itu. Mana yang kira-kira benar, mana yang kira-kira mengada-ada atau mencari-cari persoalan. Kuncinya ada pada Strawman. Tepatnya, Strawman Argument. Entah dari mana istilah ”Strawman” itu muncul. Sejarahnya dalam bahasa Inggris cukup panjang. Silakan konsultasi sendiri dengan Mbah Google, Mbok Yahoo, Dukun Wikipedia, atau yang lainnya. Saya sendiri mengenalnya saat kuliah dalam pelajaran kelas bahasa Inggris, kelas filsafat, dan kelas pidato. Intinya kelas-kelas yang mengajarkan critical thinking. Pada dasarnya, Strawman Argument adalah menyampaikan argumen terhadap suatu pendapat atau komentar, namun argumen itu sebenarnya tidak sesuai konteks asli dari pendapat atau komentar yang diperdebatkan. Alias dimelencengkan, dipelintir, dan lain-lain. Definisi saya itu mungkin tidak 100 persen akurat, tapi pada intinya kurang lebih seperti itu. Lihat saja di televisi, atau mendengar ucapan orang (khususnya politikus), sering sekali kita mendengar argumen yang seolah-olah benar dan ”menusuk”, padahal itu sebenarnya adalah sebuah Strawman Argument. Misalnya begini (nama dan argumen karangan saya): Syaiful: Kualitas pendidikan di Indonesia mengkhawatirkan, kita harus mengevaluasi lagi kualitas guru dan menyeleksi secara lebih ketat. Hartono: Apa yang Anda sampaikan itu sama saja dengan tidak memedulikan nasib para guru, tidak memedulikan kesejahteraan mereka! Oke, contoh itu mungkin agak terlalu ekstrem dan gampang. Tapi semoga dapat poinnya. Kalau Hartono itu seorang politikus, bisa dibilang dia berkesan membela para guru dengan menyerang komentar Syaiful. Mungkin, beberapa orang akan langsung bersimpati dengan komentar Hartono, dan menjadi berpendapat bahwa Syaiful tidak peduli terhadap para guru. Padahal, sebenarnya ucapan yang disampaikan Syaiful tidak menyinggung soal kesejahteraan para guru. Dia hanya menyarankan adanya evaluasi dan seleksi lebih ketat. Ya, itu mungkin ada dampak terhadap sekelompok guru, tapi tidak kepada semua guru. Masih bingung? Kadang Strawman Argument memang butuh diresapi dulu sebelum dipahami. Dan semakin kita familier dengan Strawman Argument, semakin mudah kita menilai argumen atau omongan orang. Dan tidak harus soal politik. Dalam keseharian, ada banyak sekali contoh pemakaian Strawman Argument ini. Contoh gampang A: Polisi: Anda saya tilang karena melanggar lampu merah. Pengemudi: Saya kan tidak merugikan siapa-siapa. Walaupun lampu merah, tapi jalanan sepi dan kosong. Contoh gampang B: Samin: Jangan makan banyak-banyak, kamu sudah gemuk. Di usia 40-an harus lebih mengatur pola makan lebih baik. Johny: Istriku lebih suka kalau aku gemuk kok. He he he… Entah tema Happy Wednesday kali ini bermanfaat atau tidak. Minimal, semoga tulisan ini mengingatkan kita untuk selalu lebih kritis dalam menilai seseorang, menilai ucapan seseorang. Kalau ingin cari contoh dalam dunia nyata, gampang banget kok. Keseharian kita banyak. Nonton televisi, kalau yang bicara politikus, contohnya banyak. Baca berita-berita yang mengutip omongan orang, sekali lagi biasanya politikus, contohnya banyak. Biasanya paling gampang menemukan contohnya ketika membaca berita tentang kelompok atau seseorang yang tersinggung terhadap omongan kelompok atau orang lain. Membaca alasan-alasannya kadang bikin geleng-geleng kepala. Apalagi kalau itu sebenarnya tidak ada kaitannya dengan kemajuan negara, kesejahteraan masyarakat, dan kebaikan orang banyak. Oh ya, kalau ada yang namanya Syaiful, Hartono, Samin, atau Johny tersinggung, bukan maksud saya untuk mempermalukan mereka. Nanti saya traktir makan enak saja. Happy Wednesday! (*)  

Tags :
Kategori :

Terkait