Demo Tuntut SP3, Polisi Arahkan Demonstran Ajukan Praperadilan
MAJALENGKA - Aksi solidaritas untuk Aop Saopudin tidak terbendung. Ratusan guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sewilayah Cirebon mengepung Mapolres Majalengka, Kamis (21/6). Sementara di Kota Cirebon, sejumlah organisasi guru juga mendatangi Mapolres Cirebon Kota.
Kedatangan para guru, diterima langsung oleh Kapolres Majalengka AKBP Lena Suhayati SIK MSi, yang langsung mengutarakan penyebab ditetapkannya tersangka terhadap Aop. Menurut Lena, masih diprosesnya laporan Iwan Himawan terhadap Aop merupakan kewajiban kepolisian dalam rangka menampung dan menindaklanjuti setiap laporan seseorang, karena merupakan hak setiap warga negara.
Menurutnya, sebagai penegak hukum, bukan saja laporan Iwan yang diterima dan ditindaklanjuti. Laporan Aop terhadap Iwan sebelumnya, bahkan sudah diproses pihak kepolisian sejak lama, dan kini tengah memasuki tahapan persidangan perdana di Pengadilan Negeri Majalengka. Menurutnya, Aop ditetapkan sebagai tersangka karena dari hasil penyidikan dan keterangan alat bukti dan saksi, telah melanggar pasal 77 huruf a dan pasal 80 UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. “Keputusan ini juga telah dikonsultasikan sebelumnya kepada pakar hukum Unsoed. Dan membenarkan jika perbuatan Aop Saopudin memiliki unsur pelanggaran dan boleh untuk dilanjutkan proses penyidikannya,” jelas Lena.
Kata-kata Lena tersebut, sontak membuat ratusan guru bergemuruh dan tidak terima. Terjadi adu argumen dan debat kusir yang sengit antar kepolisian dan perwakilan massa PGRI. Bahkan pihak kepolisian menantang guru untuk praperadilan jika tidak terima dengan kebijakan kepolisian.
“Kalau bapak ibu tidak puas atas kinerja dan keputusan kami, silakan ajukan gugatan praperadilan. Yang jelas, permintaan bapak-ibu agar kasus ini di-SP3, tidak dapat kami penuhi, karena yang berwenang mencabut laporan, adalah si pelapor itu sendiri,” tandas Lena.
Kekesalan Aop tumpah. Guru SDN V Panjalin Kidul, Kabupaten Majalengka itu, melemparkan gulungan koran kepada barisan Kapolres Majalengka AKBP Lena Suhayati. Detik-detik sebelum Aop meluapkan emosi, Kasat Reskrim Polres Majalengka AKP Dedi Budiana terlibat debat dengan istri Aop, Rini.
Kasat Reskrim mengungkapkan kepada massa aksi perihal penetapan Aop sebagai tersangka. Di antaranya karena alumni IAIN Syekh Nur Jati Cirebon tersebut telah melakukan diskriminasi saat melakukan razia pengguntingan murid siswa. “Anak kesatu digunting satu kali. Anak kedua digunting satu kali. Anak ketiga digunting satu kali. Giliran Tomi (anak pelapor Iwan, red), kok digunting sampai empat kali. Ini telah terjadi diskriminasi. Kami punya fotonya,” kata Dedi.
Keterangan tersebut dibantah Rini. Dengan suara tertahan, wanita berjilbab itu menegaskan, tak pernah melihat foto yang dimaksud Kasat Reskrim. Peserta aksi pun lantas menyoraki, “rekayasa, rekayasa…”. “Saya jadi saksi pak, tidak digunting sampai empat kali. Saya juga tak pernah lihat ada foto itu. Ini ada ibu guru juga saksi. Bohong itu,” ujar Rini di tengah terik matahari. Saat itu, tiba-tiba gulungan koran dilempar dari arah massa aksi. Tampak Aop berteriak-teriak. Sejumlah polisi lalu merangsek kerumunan demonstran, berusaha menangkap Aop. Situasi menjadi ricuh. Teriakan takbir membahana dari semua peserta aksi.
Aop ditarik petugas untuk dibawa ke dalam Mapolres. Kapolres AKBP Lena Suhayati menghampiri anak buahnya yang tengah menyeret Aop. “Biarkan, biarkan,” ucap Kapolres, minta anggotanya melepaskan Aop. Di hadapan Kapolres, Aop dengan wajah memerah berteriak, “Saya tidak terima, saya difitnah.” Aop kemudian dibawa rekan-rekan guru menjauh dari kerumunan massa.
Menghindari aksi menjurus lebih kisruh, Koordinator Aksi dari PGRI, Oo Sukatma Atmadja meminta para guru untuk membubarkan diri dari Mapolres dan kembali ke titik kumpul di Gedung PD II PGRI Majalengka. Usai aksi, Kapolres Majalengka langsung bergegas menuju ruangannya. Ditanya Radar apakah akan segera menahan Aop karena statusnya telah menjadi tersangka? Kapolres enggan bicara. “Enggak, enggak. Lagi kaya gini (situasinya, red),” ujarnya. Sementara Kasat Reskrim AKP Dedi Budiana memberi isyarat belum akan menahan Aop. “Baru akan diperiksa hari ini (kemarin, red). Gimana mau menahan,” tegasnya seraya membeberkan di hari yang sama Aop juga jadi saksi tersangka Iwan di PN Majalengka, yang membuat laporan atas guru SD tersebut.
Sebelumnya, aksi dimulai dengan konvoi ratusan kendaraan roda dua dan roda empat dari gedung PD II PGRI Majalengka sekitar pukul 10.15, menuju Mapolres. Setibanya di Mapolres, Koordinator Aksi Oo Sukatma langsung membacakan pernyataan sikap para guru menanggapi kasus yang kini tengah mendera Aop. Pernyataan sikap tersebut, di antaranya menagih janji Kapolres yang mengiyakan kalimat Bupati Majalengka H Sutrisno untuk tidak akan menetapkan Aop sebagai tersangka, karena pebuatan yang dilakukan Aop saat menggunting rambut muridnya, merupakan salah satu tugas guru dalam rangka penegakan aturan sekolah dan dilindungi oleh konstitusi dan UU.
Selanjutnya, ujar Oo, para guru meminta kepada pihak kepolisian agar mencabut status Aop sebagai tersangka dan melakukan SP3 terhadap kasus yang menimpa guru honorer tersebut. “Tindakan Aop sebenarnya tidak salah, apalagi di antara PGRI dan Mabes Polri sudah diatur MoU tentang perlindungan hukum bagi guru yang tengah menjalankan tugasnya,” jelas Oo.
Sementara itu, Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Majalengka, Ayi Ratnasari merasa heran atas tindakan pihak kepolisian yang langsung memeriksa Aop dengan surat panggilan tersangka. Padahal, Aop belum pernah sekalipun dipanggil sebagai saksi atau terlapor dalam kasus yang dilaporkan Iwan. “Dalam beracara dan menyidik kasus dengan dasar delik aduan seperti ini, pihak kepolisian hendaknya tidak langsung memanggil atau menetapkan Aop sebagai tersangka. Jadi wajar kalau para guru beraksi dengan adanya ini,” ujar Ayi.
Menurutnya, memang benar aparat kepolisian wajib menerima laporan dan aduan apa pun dari semua warga negara. Namun, mestinya untuk kasus ini, polisi hendaknya melakukan telaah terlebih dahulu dengan kajian-kajian dan fakta yang jelas. “Faktor penyebabnya misalnya. Anak pak Iwan dirapikan rambutnya kan, karena rambutnya gondrong, dan melanggar tata tertib sekolah. Seorang guru sendiri punya kewajiban untuk menegakkan tata tertib sekolah, dan sudah diatur dalam konstitusi dan UU,” imbuhnya.
PGRI KOTA CIREBON DATANGI MAPOLRES CIKO
Tidak mau kalah, PGRI Kota Cirebon juga membuktikan kepedulian dan solidaritasnya atas kasus Aop. Pada hari yang sama, Kamis (21/6), mereka mendatangi Mapolres Ciko. Kedatangan mereka dipimpin langsung Ketua PGRI Kota Cirebon, Drs Jojo Sutarjo MM, Kepala SMPN 18 Drs Kamid, Forum Tenaga Pengajar Sekolah Negeri (FTPSN) Tahpirin dan diterima langsung Kapolres Ciko AKBP Asep Edi Suheri SIK didampingi Kasat Intel AKP Sudiro.
Ketua PGRI Kota Cirebon, Drs Jojo Sutarjo MM mengaku, kedatangannya ke Mapolres dalam rangka ingin konsultasi peristiwa di Majalengka, yang menurut versi PGRI adalah arogansi kepolisian dalam menyelesaikan suatu masalah. Untuk Kota Cirebon, lanjutnya, kasus seperti ini jangan sampai terjadi, kalau perlu menjadi percontohan bagi daerah lain.
Menurut Jojo, PGRI dapat informasi Polres ke depannya akan memosisikan diri sebagai konsultan dalam menyelesaikan masalah. Sementara dari kepolisian, mensinyalir persoalan ini muncul akibat tidak ada kesepakatan tata tertib di sekolah. Sebenarnya, itu semua yang namanya tata tertib sudah ada, mulai dari tata cara berpakaian hingga rambut. “Tadi ada koreksi dari kepolisian, namanya tata tertib itu perlu dibicarakan antara orang tua sekolah, sekolah dan kepolisian. Dari dulu sebenarnya tata tertib di sekolah sudah ada. Mungkin tidak disosialisasikan, mulai rambut, pemakaian seragam hari apa saja. dan polisi menyarankan ada kesepakatan bersama,” ungkapnya
Kepala SMPN 2 ini akan menyampaikan masukkan kepolisian ke Disdik. Justru PGRI tidak setuju dengan cara-cara yang dilakukan orang tua siswa yang di Majalengka, dengan cara mencukur rambut Aop kemudian memukulnya dan mengarak keliling pasar. Cara-cara itu sudah melecehkan guru dan perbuatan itu tidak benar. “Bisa saja ortu ada persoalan dan naik pitam. Namun ini semua tentu ada hikmahnya dan kita semua akan belajar bersama-sama mengambil hikmah. Kami setuju jika muncul persoalan seperti itu, polisi hadir sebagai konsultan, bukan membawa pasal-pasal,” tegasnya.
Tahpirin SPdI menambahkan, kejadian yang menimpa Aop harusnya dilihat latar belakangnya. Apalagi guru punya fungsi sebagai tenaga pengajar dan pendidik. Dan itu bisa menjadi pegangan penyidik Polres Majalengka saat menangani perkara ini. “Kalau yang menggunting bukan guru bisa saja diproses hukum, tapi Aop ini kapasitasnya guru yang menegakkan tata tertib sekolah,” tegasnya.
Kapolres AKBP Asep Edi Suheri mengatakan, kepolisian tidak memproses persoalan hukum kalau tidak ada laporan, sehingga pada persoalan ini polisi sebenarnya bertindak netral dan harus memproses kedua-duanya, dan itu dilakukan Polres Majalengka. “Polisi dari awal sudah sesuai mekanisme proses hukum,” terangnya.
Asep bahkan menuturkan, pihaknya lebih mengedepankan upaya mediasi, apalagi ini menyangkut peraturan sekolah. Selain itu, perlu dibuat kesepakatan bersama antara sekolah, siswa dan orang tua. “Jadi tanggung jawab guru itu ada dan orang tua mesti tahu dan menyikapi perkembangan,” kata Asep. (azs/ron/abd/mid)