Liga Champions, Si Kalem vs Si Temperamen

Jumat 27-05-2016,07:27 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

MADRID – “Final kali ini bukanlah balas dendam. Ini adalah kesempatan baru menjadi juara,” kata entrenador Atletico Madrid Diego Simeone seperti diberitakan ESPN kemarin (26/5). Simeone seperti ditulis pundit ESPN Miguel Delaney kemarin bahwa, Simeone mencoba meredam karakter \'api\' dalam dirinya. Caranya yakni dengan mengubah cara pandangnya soal final Liga Champions musim ini. Dua tahun silam di Estadio da Luz, Lisbon, Real Madrid di bawah Carlo Ancelotti menancapkan pisau ke jantung Atletico berkat kemenangan 4-1 lewat extra time. Kalau kali ini Real kembali menang, maka luka Atletico dan Simeone makin perih. Entrenador Real Zinedine Zidane seperti menabur garam untuk menambah rasa sakit itu. Final Liga Champions 2015-2016 Minggu (29/5) dini hari lebih pantas disebut Derby Madrinelo yang dipindahkan. Bukan di Santiago Bernabeu atau Vicente Calderon, melainkan San Siro Milan. Nah, pertarungan Real Madrid versus Atletico Madrid di partai puncak kali melibatkan dua nama entrenador satu generasi. Yakni Zinedine Zidane versus Diego Simeone. Usia keduanya hanya terpaut tiga tahun. Zidane 43 tahun sementara Simeone 46 tahun. Sebagai pemain keduanya juga pernah bentrok di kompetisi domestik yang sama. Pertama di kompetisi Serie A. Zidane membela Juventus (1996-2001) sedang Simeone berkostum Inter Milan (1997-1999) dan Lazio (1999-2003). Pertarungan keduanya berlanjut di La Liga. Zidane pernah membela Real dalam lima tahun (2001-2006). Lalu Simeone bersama Los Rojiblancos, julukan Atletico, musim 2003-2005. Sebagai pemain keduanya juga punya style yang berbeda 180 derajat. Zidane dikenal dunia sebagai playmaker elegan. Kaki-kaki Zidane punya daya magis menghipnotis bek dan penonton. Dribbling dan olah bola bapak empat anak itu membuatnya diganjar pemain terbaik dunia tiga kali. Sementara Simeone lebih diingat sebagai pemain bengal, tukang provokasi, dan sering diving. Dengan label yang demikian tersebut, pria asal Buenos Aires itu tak heran dikenal sebagai salah satu bad boy Serie A maupun La Liga. Namun kemudian karakter ini akhirnya yang menghadirkan nafas dalam permainan Atletico di kemudian hari. Akan tetapi ketika pensiun dan meniti karir sebagai arsitek tim, Simeone memulai lebih dulu ketimbang Zidane. Di klub terakhirnya, Racing Club Argentina, bapak tiga anak itu memulai meretas karir kepelatihannya di usia 36 tahun. Sid Lowe menulis di The Guardian bahwa, Simeone adalah tipikal pelatih yang selalu menghadirkan spirit perjuangan dalam pasukannya. Sehingga setiap pemain merasa kalah menang bukan selalu hal utama. Justru kengototan selama di lapangan adalah punya peran krusial. “Saya lebih menyenangi tim ini menyerang sekali dan menang 1-0. Ketimbang kami mengepung lawan dalam 15 menit dan melepas banyak tembakan namun tanpa kemenangan,” ucap Simeone. Simeone juga membentuk timnya dengan segala teriakan dari pinggir lapangan. Pria yang memulai karir bermainnya bersama Velez Sarsfield itu tak ingin anak asuhnya kendor barang semenit pun di lapangan. “Kerja keras adalah semuanya di lapangan. Pemain bintang tak akan mengangkat performa tim,” ujar Simeone. “Malah pemain dengan ambisi menang meningkatkan tim,” tambah Simeone. Pemilik 105 caps buat Argentina tersebut dengan formasi 4-4-2 bisa memberikan tekanan bergelombang buat lawannya. Bertemu dengan tim-tim yang mengedepankan ball possession, Simeone meredamnya dengan pertahanan rapat. Ilmu grendel lini belakang yang didapatnya ketika berkompetisi di Italia selama enam tahun. Dalam situs UEFA, Simeone mengatakan tak sabar melengkapi rekornya musim ini. Di perjalanan menuju final, Simeone dan Atletico mengkandaskan raksasa-raksasa di Eropa. Pada perempat final, Atletico mengkandaskan Barcelona dengan agregat 3-2. Kemudian di semifinal, Atletico memutuskan asa Bayern ke final dengan agregat 2-2. Gabi dkk lolos ke final berkat gol away. “Kami sudah melalui dua dari tiga tim terbaik dunia saat ini. Dan kami menghadapi tim ketiga, juga terbaik di dunia di partai puncak,” tutur Simeone. Sedang Zidane yang merasa ilmu kepelatihannya masih seumur jagung kepada AS kemarin mengatakan jika Simeone dan Atletico memiliki semuanya. Skuad yang solid, ambisi menang yang besar, juga karakter yang kuat. “Simeone menunaikan tugasnya sebagai pelatih dengan sangat luat biasa. Simeone punya ilmu dan pemahaman yang sangat luas tentang sepak bola,” ujar Zidane. Real di bawah Zidane bermain seperti tuntutan para Madridista. Tampil elegan, ofensif, dan menang. Sejak menggantikan Rafael Benitez sebagai arsitek per 4 Januari lalu, bapak empat anak itu terus menuai pujian. Tak seperti Simeone yang senang berteriak-teriak di pinggir lapangan, Zidane lebih mirip aristokrat. Zidane menyuntikkan motivasi yang luar biasa di ruang ganti. Zidane juga sering memberikan wejangan secara personal kepada pemain-pemain yang dianggapnya punya kemampuan mengubah jalannya laga. Dengan strategi 4-3-3 yang dianut Zidane, Real berhasil seimbang dalam menyerang juga bertahan. Peran trio BBC (Gareth Bale, Karim Benzema, Cristiano Ronaldo) di lini depan jelas tak terganti. Di lini tengah, Zidane memasang Casemiro sebagai gelandang bertahan yang mumpuni. Pemain asal Brasil itu versi Whoscored punya rata-rata tekel 3,2 kali per laga, intersep 2 kali per laga, dan clearence 1,5 kali per laga. “Saya terus menyemati diri untuk belajar buat musim mendatang. Saya melihat karir kepelatihan saya masih sangat-sangat panjang,” ujar Zidane kepada AS. Pertemuan musim ini adalah momentum bagus buat Zidane membalas kekalahan dari pertemuan di La Liga. Pada 27 Februari lalu, untuk kali pertama kekalahan dicorengkan Atletico buat karir kepelatihan Zidane di Real. (dra)

Tags :
Kategori :

Terkait