Kiprah Wales, Naga atau Cacing?

Sabtu 11-06-2016,12:10 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Oleh : Kurniadi Pramono KETIDAKHADIRAN Belanda di Euro 2016 kali ini seolah memaksa publik beralih perhatian kepada dua tim lain yang dianggap sepadan. Belgia dan Wales. Bila melihat level perankingan FIFA dalam empat tahun terakhir, Belgia sepertinya memang pantas menyedot pengalihan perhatian dari absennya Holland. Namun menyebut kata Wales, tentu saja menimbulkan banyak kerutan di dahi. Kendati muncul paradigma baru : Wales adalah naga yang menggeliat! Namun kemudian banyak yang masih mencibir, benar naga atau cuma -maaf-, cacing? Hampir satu abad lamanya pesepak bola Wales menjadi kontributor wajib bagi liga amatir dan profesional di Brirania Raya. Wales terbukti mengekspor banyak figure dengan talenta luar biasa. Hanya sialnya, mereka para legendaries itu tak bermain di lapangan pada waktu yang sama. Bayangkan saja kalau Neville Southall, Ian Rush, John Charles, Billy Meredith, Craig Bellamy, Gary Speed, John Toshack, Mark Hughes, Ryan Giggs, Cliff Jones, John Hartson, Trevor Ford dan Ivor Allchurch serta Gareth Bale dan Aaron Ramsey ada pada genersi yang sama. Di tangan pelatih bersahaja macam Chris Coleman, niscaya nama Wales di persepak bolaan Eropa bahkan dunia, bisa lebih berpengaruh. Apa boleh buat, nama-nama besar Wales itu tak bisa dipaketkan dalam satu generasi. Oke, sekarang giliran Gareth Bale (Real Madrid) dan Aaron Ramsey (Arsenal) serta Joe Allen (Liverpool) yang mengusung misi sang naga mengeliat. Di tengah up and down-nya penampilan Aaron Ramsey dan menuanya Joe Allen, Gareth Bale sendiri rasanya sangat risih dibebani pengharapan yang begitu besar. Pada pandangan nadirnya, dia merasa tak bisa berbuat apa-apa kendati semua orang mengetahui bahwa perannya di tim Wales seperti halnya Cristiano Ronaldo di Portugal. Memang, eksistensi Maradona di tim Argentina (1986) dan ketidakberadaan Neymar di tim Brasil (2014), menganomalikan faham bahwa sepak bola adalah permainan kolektif, bukan individual. Dilematis bagi Coleman untuk tidak mengakui peran Bale dalam meloloskan Wales ke Euro 2016 ini. Di satu pihak, Coleman tak mau tim “menyerahkan” tanggung jawab kepada Bale seorang. Tapi di sisi lain, memang harus diakui tanpa Bale, kehebatan sang naga tak lebih seperti cibiran cacing belaka. Dalam tiga laga terakhir di kualifikasi, saat di mana Bale dibekuk cedera, bahkan Wales dikalahkan 2-0 oleh Bosnia Herzegovina dan ditahan angka kacamata oleh Israel. Beruntung Wales bisa bangkit di laga pemungkas Oktober tahun silam dengan menekuk andora 2-0. Namun legenda hidup Ryan Giggs memberikan suntikan semangat. Membela para juniornya di hadapan wartawan, Giggs mengatakan bahwa Wales sungguh bukan sekadar seorang Bale saja. “Tim ini punya karakter bertahan yang kokoh dan menyerang dengan cepat,” ujar Giggs seraya mengatakan bahwa sang Naga akan lolos dari ujian saringan Grup B. Sungguh menarik melihat materi Grup B, selain Wales dan saudara kandungnya Inggris, ada dua saudara ipar dari belahan timur, Rusia dan Slovakia. Wales menganggap sangat beruntung tatkala dalam laga perdana menghadapi Slovakia, bukan Inggris atau Rusia. Potensi raihan angka jika benar bisa diaraih oleh Wales dari Slovakia, maka bersiaplah Inggris akan memeroleh kesulitan di laga kedua. Jika skenario mulus, berarti laga terakhir grup dengan Rusia adalah penentuan nasib Wales apakah sang naga bisa masuk elite 16 Eropa. Rekam jejak Rusia sendiri, sepeninggal pelatih Fabio Capello yang dipecat, di bawah komando Leonid Slutsky saat sekarang, terus terang tidak terlalu gemilang. Kendati menang atas Portugal dan Lituania di dalam laga persahabatan. Slutsky konon mengeluh berkepanjangan dengan sisa warisan yang amburadul. Sedangkan Slovakia yang berada peringat 30-an ranking FIFA, punya sedikit materi pemain muda yang enerjik. Nama Martin Skrtel (back Liverpool) dan Marek Hamsik (gelandang Napoli) banyak dinantikan kiprahnya di ajang Euro 2016 ini. Namun jangan lupakan sejarah. Tim-tim yang datang dari sisi timur Eropa, selalu membawa paket kejutan penuh warna. Mereka selalu ditakdirkan hampir selalu menjadi sosok Stalion, sang kuda hitam yang sulit ditebak. Terakhir di Grup B ini adalah favorit Inggris. Gagal total di Brasil saat World Cup terakhir 2014 lalu, pelatih kawakan Roy Hodgson mengkambinghitamkam iklim tropis yang merongrong tenaga pemain serta rentang jauh perjalanan yang menguras stamina tim. Euro 2016 adalah kali kedua ajang besar antarnegara bagi Hodgson. Dia punya bekal pemain-pemain muda yang luar biasa. Bahkan 100 persen pemainnya diambil dari liga domestik yang luar biasa kualitasnya. Hodgson tak perlu jauh memantau pemainnya ke liga luar negeri, yang notabene menjadi keuntungan tersendiri. Karena hanya sedikit pelatih tim nasional yang punya kesempatan seperti itu. Ibaratnya, Hodgson “terima bersih” dari rekan-rekan pelatihnya di klub-klub sohor Liga Premier Inggris. Angka seratus persen lainnya juga diperoleh Inggris dari hasil kualifikasi. Swiss, San Marino, Estonis, Slovenia dan Lithuania memang satu level di bawah Inggris sehingga tak satu pun poin hilang dari genggaman. Namun justru kualifikasi tak seimbang ini menjadi kekhawatiran tersendiri, bahwa tim dengan julukan Tiga Singa itu belum teruji dalam soal insting memangsa lawan. Inggris dalam kualifikasi ibarat pemburu ulung di dalam kebun binatang. Mereka tidak teruji dalam standar sesungguhnya. Kekhawatiran itu terbukti saat kalah 2-0 dalam uji coba dengan juara bertahan Spanyol dan kalah 1-2 dari Belanda, tim yang gagal lolos ke Euro 2016. Satu-satunya harapan untuk Inggris bisa tampil maksimal kali ini, adalah variasi pemain muda yang seluruhnya adalah bintang di klub mereka. Joe Hart (Manchester City), Gary Cahill (Chelsea), Chris Smaling (Manchester United), Danny Rose (Tottenham Hotspur), Kieran Gibbs (Arsenal), Adam Lallana dan James Milner (Liverpool), Eric Dier (Tottenham Hotspur), Raheem Sterling (Manchester City), Jamie Vardy (Leichester City), Harry Kane (Tottenham Hotspur), Daniel Sturridge (Liverpool) dan yang terbaru dan termuda, Marcus Rashford (Manchester United). Dengan bekal nama-nama beken tersebut, tanpa ba-bi-bu lagi, selayaknya Inggris bisa lolos ke 16 besar tanpa kesulitan apa-apa. Apalagi jarak ke Prancis bisa ditempuh singkat dengan kereta ekspres, dan iklim di Prancis familiar dengan pasukannya. Roy Hodgson tak lagi bisa beralasan macam-macam. Jika tak bisa lolos dari grup ini, pastinya tim ini cuma pantas dapat cemooh, singa ompong pemalas. (*)      

Tags :
Kategori :

Terkait