Perjalanan Umrah Ramadan dan Lebaran Radar Cirebon Group Bersama Salam Tour (14) Usai persiapan ibadah umrah pertama yang dibimbing ustad Basuni dari Salam Tour, Sabtu (25/6) kemarin, saya bersama salah seorang jamaah umrah Salam Tour, Syazili Risun Labiah (74) didampingi ustad M Syakir Nabin dari Salam Tour, memutuskan untuk salat dhuha di Raudah pada pukul 09.00 waktu Madinah. Laporan PRIYO UTOMO, Madinah BELUM juga sampai ke Raudah, dari kejauhan terlihat ribuan umat muslim yang sedang antrean di pintu Raudah. Para Jamaah rela antre dari pagi hanya untuk salat tahiyatul masjid dan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Tak berfikir panjang, ustad Syakir mengajak saya menemui pengurus Masjid Nabawi. Meski kami memohon agar diberi akses masuk secara khusus, karena membawa jemaah yang sudah tua renta, yakni pak Syazili Risun Labiah. Tetap saja kami tidak diberi izin masuk ke Raudah, kecuali masuk ke barisan antre. Jika kami memilih antre, diperkirakan baru bisa ke Raudah sekitar pukul 11.30 waktu madinah. Melihat kursi roda milik masjid menganggur di dekat kantor pengurus, ustad Syakir mengambilnya. Serta meminta pak Syazili duduk dikursi roda. Tujuannya, agar para penjaga memberikan akses khusus. Alhamdulillah, tak berselang lama, petugas keamanan menyarankan kami agar masuk pintu depan Raudah dan menunggunya setelah kelompok yang sedang menunaikan shalat tahiyatul masjid di Raudah keluar. Hanya menunggu lima menit, kami bertiga dipersilahkan hanya shalat dua rakaat tanpa berdoa yang letaknya persis di samping mimbar nabi Muhammad SAW. Setelah puas shalat di Raudah, ustad Syakir mengajak saya ke masjid Ali bin Abi Tahlib, yang jaraknya 300 meteran dari masjid Nabawi. Selama dalam perjalanan, saya berlindung dengan bentangan sorban dari panasnya sengatan matahari. Saat itu suhunya mencapai 44 derajat selsius. Apalagi, sejak berada di Madinah, hampir seluruh kulit dan bibir jemaah asal Indonesia kering hingga pecah-pecah. Setibanya di masjid Ali, tampak kondisi masjid yang berwarna putih itu masih kokoh. Sayangnya, pemerintah setempat menonaktifkan seluruh ibadah di masjid yang memiliki satu menara berkerucut dan satu kubah itu. Menurut ustad Syakir, masjid ini dinisbatkan kepada Ali karena Ali pernah mengimami shalat di masjid yang dibangun tahun 881 masehi ini. Di samping masjid terdapat tempat penyimpanan peralatan canggih pembersih masjid Nabawi. Seperti, mobil pembersih yang biasa beroperasi setiap akan memasuki shalat lima waktu dan dhuha. Apalagi Ramadan ini, puluhan mobil tersebut biasanya makin sibuk dengan jam tambahan operasi. Yakni sebelum dan menjelang berbuka puasa. Sekotor apapun lantai di masjid Nabawi, dalam sekejap berubah menjadi kinclong. Di seberang masjid Ali terdapat pasar yang hanya dipasang tenda raksasa dan berdiri di tanah pemerintah. Pasar yang cukup nyaman dan bersih ini diperuntukan bagi ribuan para pedagang kaki lima (PKL) yang direlokasi dari halaman masjid Nabawi. Salah seorang pedagang, Hajar (32) mengaku, saat relokasi berlangsung sebelum Ramadan tahun ini, seluruh pedagang dengan kesadaraan sendiri mengangkut barang dagangannya ke tempat yang baru. Para pedagang dengan suka rela menerima kebijakan dari pemerintah setempat. “Alhamdulillah, meski lokasi pasar kami berada agak jauh dari masjid Nabawai dan berada di belakang hotel, tapi pengunjung tetap ada. Apalagi usai shalat Ashar dan menjelang berbuka puasa kami selalu kewalahan melayani pembeli,” ujar wanita bercadar ini. Pemerintah setempat, kata Hajar, setiap PKL mendapatkan lapaknya dengan ukuran 5x5 meter. Menarinya, pemerintah setempat sama sekali tidak menetatpkan biaya maupun sewa sepeserpun kepada para PKL. Maka tak aneh jika harga barang-barang yang dijual di pasar tersebut cukup terjangkau. Karena barang yang dijualnya cukup murah, saya tertarik membeli hijab berbahan jersey merk Badawood buatan China dengan harga 8 rial atau setara Rp28 ribuan. Bahkan, celana haji oleh Hajar dibandrol 10 rial atau setara Rp36 ribuan. Padahal, harga di pasar Balong Kota Cirebon saja harganya Rp60 ribu per potong. Kebijakan inilah mungkin yang harus dicontoh pemerintah Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan (Ciayumajakuning) dengan membuat pusat pasar rakyat gratis. Tujuannya, agar para PKL bisa merasakan haknya berdagang dengan nyaman tanpa dibayangi isu relokasi. Jika demikian, efeknya harga yang dijual kepada masyarakat juga bisa murah. Sehingga, daya beli masyarakat juga bisa terkerek naik. Usai berkeliling di pasar, saya menyempatkan mampir ke taman Saqifah bani Sa’idah. Taman yang berasal dari bangunan kabilah bani sa’idah, suku khazraj itu dikelilingi pagar tinggi. Terlihat dari luar sungguh indah sedap dipandang mata. Terdapat pohon kurma beragam jenis yang sedan ranum, gemericik air yang dialirkan dari sumur ke kolam yang sangat bening. Apalagi warna warni bunganya membuat betah para pengunjung. “Di temat ini Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah,” kata ustad Syakir menutup perjalanan. (priyo utomo)
Relokasi PKL dari Masjid Nabawi Tanpa Gaduh
Minggu 26-06-2016,11:47 WIB
Editor : Harry Hidayat
Kategori :