Inggris Memburuk Usai Keluar dari Uni Eropa

Minggu 26-06-2016,14:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

JAKARTA - Situasi bertambah buruk sehari setelah hasil referendum Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (UE) alias Brexit. Gonjang-ganjing yang terjadi di pasar saham dan komoditas selama satu hari langsung menggeret status investasi negara yang akrab dengan tim three lions itu. Krisis ekonomi Inggris disertai pelesuan ekonomi dunia pun mencuat sebagai prediksi. Menurut lansiran situs berita The Guardian, lembaga peringkat Moody’s sudah menurunkan status kredit Inggris dari stabil menjadi negatif. Keputusan tersebut diakui berasal dari ketidakpastian akses pasar ke wilayah Eropa yang saat ini mendominasi perdagangan Inggris.  Alhasil, pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan bakal melambat. ’’Meskipun dalam jangka panjang Inggris bisa mengamankan jalur perdagangan ke wilayah Uni Eropa dan negara lain, pertumbuhannya diperkirakan tidak sekuat dari yang semula kami perkirakan (saat Inggris menjadi anggota UE, red),’’ begitu pernyataan agensi seperti dilansir The Guardian. Bukan hanya Moody’s, lembaga peringkat lainnya, Standard and Poor’s, pun sudah mengeluarkan tanda-tanda bahwa pangkat investasi Inggris yang saat ini ada di kelas AAA bisa diturunkan. Hal ini pun membuat pemimpin kampanye Brexit Boris Johnson sedikit takut. Dia menyatakan tak perlu cepat-cepat memberlakukan pasal 50 perjanjian UE yang bakal mengaktifkan periode negosiasi selama dua tahun. Padahal pihak UE sudah terlanjur sakit hati dan minta Inggris keluar secepat mungkin. Bagaimana tak takut, dampak dari Brexit nampaknya dipandang besar oleh investor global. Berdasarkan The Guradian, hasil angket yang disusul mundurnya Perdana Menteri David Cameron langsung menguras sekitar USD 2 triliun (Rp26 ribu triliun) dari berbagai pasar dunia. Bank Nasional Inggris pun harus turun tangan untuk menenangkan pasar yang sudah membuat nilai ponsterling turun ke level terendah sejak 1985. Saham-saham besar di inggris pun ikut berkurang sebanyak GBP 120 miliar (Rp2.200 triliun). ’’Kami siap untuk melakukan apapun untuk mencegah dampak dari keluarnya Inggris dari UE. Kami mendiskusikan apa saja yang akan menjadi resiko dan akan menanggulanginya,’’ ujar Kepala Bank of England Mark Carney. Kanselir Inggris George Osborne pun pun langsung berkomunikasi dengan para menteri keuangan dari negara G7 untuk mememinta dukungan mencegah resesi Inggris. Dukungan dari The International Monetary Fund, the European Central Bank and the US Federal Reserve pun muncul. Meski sempat membuat investor yakin, tetap saja pasar Jumat lalu (24/6) ditutup dengan wajah murung. Nilai Ponsterling menjadi USD 1.36 per GBP. ’’Jika keputusan keluar benar-benar diikuti, ini akan menjadi aksi melukai ekonomi sendiri diikuti dengan efek samping secara global,’’ ujar Samuel Tombs, Kepala Pakar Ekonomi Inggris dari Pantheon Macroeconomics. Indeksi Saham FTSE di London, turun 500 poin dalam beberapa menit pertama pembukaan bursa. Pusat bursa Inggris itu pun akhirnya menutup dengan dua persen. Tapi, bukan hanya inggris yang rugi dari momen brexit. Bursa di Italia pun turun 12 persen karena pinjaman bank-bank besar terkait Inggris. Di Amerika Serikat, Indeks Industri Dow Jones industrial pun turun sekitar 3, persen menjadi to 17,399.86. Bursa di Standard & Poor’s 500 ikut turun 76.02 poin atau 3,6 persen menjadi 2,037.70. Kedua Indeks sudah menjadi titik terendah sejak Agustus tahun lalu. Semua gonjang-ganjing yang terjadi pun tampaknya ikut membuat warga Inggris was-was. Menurut lansiran Washington Post, beberapa pemberi suara di referendum pun ikut menyesali telah memilih keluar dari UE. ’’Tentu saja pimpinan oposisi yang menggadang kampanye keluar sedang bersorak-sorai tentang kemenangan mereka. Tapi, sepertinya banyak juga warga Inggris yang tidak tahu apa yang sebenarnya mereka pilih,’’ ujar jurnalis Washington Post Brian Fung. (bil)  

Tags :
Kategori :

Terkait