Pabrik Garam Farmasi Bakal Dibangun Lagi

Jumat 19-08-2016,11:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

JAKARTA – Produksi garam farmasi tanah air semakin gencar. PT Kimia Farma dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berkolaborasi mengejar produksi 6 ribu ton per tahun. Untuk mengejar target produksi itu, pabrik baru bakal dibangun bulan depan. Kepala BPPT Unggul Priyanto mengatakan garam farmasi merupakan salah satu inovasi yang sukses disalurkan (hilirisasi) ke dunia industri. Kimia Farma dan BPPT telah berkolaborasi dalam pembangunan pabrik garam farmasi di Jombang, Jawa Timur. “Kapasitas pabrik pertama mencapai 2.000 ton per tahun. Desain pabrik ini dari BPPT,” katanya sebelum seremoni penyerahan B.J. Habibie Award di kediaman Habibie, Kuningan, kemarin (18/8). Penerima penghargaan tertinggi di lingkungan BPPT itu adalah tim inovator garam farmasi yang terdiri dari tujuh orang peneliti. Menurut Unggul kapasitas produksi pabrik garam farmasi pertama belum bisa menutup kebutuhan nasional. Dia menjelaskan kebutuhan garam farmasi nasional mencapai 6.000 ton per tahun. Sehingga Kimia Farma bulan depan akan meresmikan pembangunan pabrik garam farmasi dengan kapasitas 4.000 ton per tahun. “Jadi Indonesia sudah tidak perlu lagi impor garam farmasi lagi,” jelasnya. Menurutnya harga garam farmasi di pasaran internasional bisa mencapai Rp50 ribu/kg. Setelah bisa diproduksi sendiri di dalam negeri, harga produksinya ternyata bisa ditekan sampai Rp20.000/kg. Bahan baku pembuatan garam farmasi itu adalah garam kasar dari petani yang dibeli rata-rata Rp1.000/kg. Kegunaan garam farmasi ini diantaranya adalah untuk cairan infus, pelarut vaksin, oralit, dan cairan pencuci darah. Kadar NaCl dalam garam faramasi mencapai 99,5 persen. Menristekdikti Muhammad Nasir menyambut baik inovasi garam farmasi itu. Dia mengatakan peneliti atau perekayasanya harus mendapatkan manfaat dari sebuah riset. Nasir menjelaskan pemerintah saat ini sudah memperbaiki sistem royalti untuk peneliti atau perekayasa. “Uang royalti manfaatnya sampai 40 tahun. Bisa jadi gaji sebagai PNS lebih rendah ketimbang royalti hasil inovasinya,” jelas Nasir. Direktur Pusat Teknologi Faramasi dan Medika BPPT Imam Paryanto mengatakan riset garam farmasi sejatinya sudah selesai 1999. Kemudian didaftarkan paten pada 2000 dan baru keluar patennya pada 2010. “Lama memang keluarnya paten,” jelasnya. Kemudian 2013 diteken perjanjian kerja dengan Kimia Farma dan setahun kemudian berdiri pabrik produksi garam farmasi. Imam menjelaskan teknologi pembuatan garam farmasi sudah lama berkembang di luar negeri. Tetapi untuk di dalam negeri, inovasi pertama produksi garam farmasi adalah karya BPPT. “Garam lokal Indonesia memiliki spesifikasi tertentu. Sehingga teknologinya beda dengan yang di luar negeri,” jelasnya. (wan)    

Tags :
Kategori :

Terkait