Desa Majasari, Kecamatan Sliyeg, Indramayu, kini tenar setelah meraih peringkat I lomba desa tingkat nasional 2016. Padahal, delapan tahun silam desa itu masuk kategori tertinggal. Majasari memaksimalkan potensi sebagai salah satu kantong TKI. Laporan: ANANG SYAHRONI, Indramayu NYALI Kepala Desa Majasari Wartono SPd MSi sempat ciut ketika wilayahnya harus bersaing dengan desa-desa terpilih dari berbagai provinsi se-Indonesia. Bahkan, sejak tingkat regional Jawa-Bali pun, Wartono minder begitu mengetahui desa-desa pesaing yang bergelimang anggaran. Sebut saja Desa Mengwi, Bali, yang memiliki pendapatan sampai Rp31 miliar setahun. Juga desa dari Pacitan, Jawa Timur, yang berpendapatan hingga Rp12 miliar setahun. Kontras dengan Desa Majasari yang punya pendapatan hanya Rp58 juta setahun. “Ibarat pembagian grup sepak bola di liga-liga Eropa, kami berada di grup neraka,” ucap Kuwu (Kepala Desa) Wartono, lalu tertawa. Meski begitu, Pemerintah Desa (Pemdes) Majasari tetap percaya diri. Sebab, pihaknya punya ”senjata” lain yang bisa diandalkan untuk mengalahkan desa-desa kaya itu. Apa itu? “Bukan soal besarnya anggaran, melainkan bagaimana perjuangan kami melepaskan predikat desa tertinggal, bagaimana kami memberdayakan masyarakat. Ibaratnya, perjuangan kami ini dari nol. Itu yang kami sampaikan ke para pakar di Jakarta,” kata Wartono saat ditemui Radar Cirebon, Kamis (25/8). Akhirnya, dari serangkaian penilaian, baik secara langsung maupun presentasi di Jakarta, Desa Majasari dinyatakan sebagai peraih peringkat I tingkat nasional. Penghargaan diserahkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo pada 15 Agustus lalu. Perjuangan Desa Majasari untuk menjadi desa terbaik se-Indonesia tidaklah mudah. Bahkan, setelah memisahkan diri dari Desa Majasih pada 1983, Majasari mendapat predikat desa IDT (inpres desa tertinggal) dari pemerintah pusat. Sekitar 40 persen warganya masuk kategori miskin. Tentu saja hal tersebut menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi Pemdes Majasari kala itu. Predikat desa tertinggal pun menempel cukup lama. Hingga 2008, predikat itu masih melekat. Meski warga yang miskin sudah berkurang. Dengan potensi alam dan sumber daya yang ada, pemdes berusaha mencari jalan lain. Konsep pembangunan pun diubah. Bukan lagi pemerintah sentris, melainkan mulai bertumpu pada partisipasi masyarakat. Juga, Kuwu Wartono mulai menerapkan pembangunan secara swadaya masyarakat itu pada awal menjabat, yakni 2009. Pembangunan yang dilakukan tidak lagi mengandalkan dana desa. Melainkan melibatkan bantuan dari masyarakat. Secara aktif, pemerintah desa mengajak masyarakat untuk terlibat langsung dalam pembangunan desa. Namun, rencana itu tidak berjalan mulus. Ayah tiga anak tersebut sempat dihujat sana-sini karena dianggap ”memeras” warga untuk pembangunan desa. Baru setelah manfaat pembangunan secara swadaya itu bisa dirasakan, warga melunak. Bahkan, saat itu tak sedikit warga yang berinisiatif untuk ikut membangun desa secara swadaya. ”Saya memegang prinsip, kalau melibatkan masyarakat, sense of belonging warga terhadap fasilitas umum akan lebih tinggi. Mereka secara tidak langsung akan ikut merawat fasilitas yang dibangun bersama-sama itu,” tutur Wartono. Untuk memotivasi masyarakat dan aparat agar membangun Desa Majasari sehingga menjadi lebih baik, cara lain yang ditempuh Wartono adalah aktif mengikuti berbagai perlombaan. Sebab, menurut dia, dengan mengikuti perlombaan, masyarakat dan aparat desa ”dipaksa” untuk memperbaiki diri. Strategi Wartono itu cukup berhasil. Pada 2010, Desa Majasari berhasil meraih peringkat I lomba desa tingkat Kabupaten Indramayu. Sayang, saat bertanding di tingkat Jawa Barat pada 2011, Majasari hanya menjadi juara harapan I. “Setelah itu, kami tidak boleh ikut lomba desa tingkat kabupaten dulu. Kami juga berfokus memperbaiki kekurangan-kekurangan kami,” lanjut dia. Saat Wartono dan perangkat desa lainnya melakukan perbaikan, tebersit ide untuk memaksimalkan potensi Majasari sebagai lumbung tenaga kerja Indonesia (TKI). Hampir setiap rumah tangga di desa itu memiliki anggota keluarga yang menjadi TKI. Jumlahnya kini mencapai 261 orang. Mereka mencari sumber penghidupan di Arab maupun negara-negara pengimpor TKI lainnya. Dengan kondisi itu, Wartono kemudian mendorong pembentukan peraturan desa (perdes) perlindungan TKI dan keluarganya di Desa Majasari. Hal itu dilakukan bukan tanpa alasan. Sebab, sebelum menjabat kuwu, Wartono juga merupakan keluarga TKI. Sang istri, Juhariah, sempat berangkat ke Arab Saudi untuk menjadi TKI. Namun, perjalanan sang istri di negara orang tidak mulus. Sang istri justru terkatung-katung serta sempat terdampar di Jordania dan Syria. Nahasnya lagi, perusahaan penyalur tenaga kerja yang memberangkatkan juga kerepotan untuk membawa pulang Juhariah. “Berkaca dari pengalaman itu, saya buat aturan untuk perlindungan TKI dan keluarganya. Sebab, yang perlu dilindungi bukan hanya TKI yang berangkat, tetapi juga keluarga yang ditinggalkan seperti suami dan anak-anaknya,” jelasnya. Inovasi pembuatan perdes perlindungan TKI Desa Majasari dan keluarganya itu ternyata mendapat perhatian Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) serta Women Crisis Centre Balqis Cirebon yang didukung Tifa Foundation. Setelah mendapat advokasi dan masukan dari lembaga-lembaga itu, muncul revisi peraturan desa perlindungan TKI, yang di dalamnya mengamanatkan pembentukan Community Based Organization (CBO). CBO adalah sebuah organisasi sosial milik Pemdes Majasari yang siap memberikan tiga akses layanan kepada masyarakat tentang TKI. Yakni, akses informasi, advokasi, dan finansial. CBO itu berisi para mantan TKI, keluarga, dan aktivis TKI. “Dulu namanya Lembaga Pemerhati TKI, tapi setelah direvisi menjadi CBO,” tuturnya. Untuk kebutuhan operasional, CBO mendapat bantuan dana Rp17 juta dari Tifa Foundation. Dana itu kemudian digunakan untuk mendirikan warnet yang diperuntukkan keluarga yang ingin berkomunikasi dengan TKI di luar negeri. Bahkan, disiapkan pula live streaming dan webcam gratis untuk keluarga TKI setiap bulan. ”Bagi warga yang ingin berkomunikasi dengan kerabat yang bekerja di luar negeri, tinggal live streaming,” kata Wartono dengan bangga. CBO kini menjadi garda terdepan dalam hal layanan TKI bagi masyarakat di desa itu. Nah, untuk keluarga yang ditinggalkan TKI, Desa Majasari juga membuat terobosan. Pemdes memberdayakan suami-suami TKI yang ditinggalkan di rumah untuk beternak sapi. Apalagi, setelah 2013, Desa Majasari mendapatkan bantuan 32 sapi dari Kementerian Pertanian. Para suami TKI itu diberdayakan untuk memanfaatkan limbah hasil pertanian menjadi pakan sapi. Program setelah itu, mereka mengembangkan peternakan tersebut hingga mengolah daging sapi hasil peternakan itu menjadi produk pangan seperti abon dan bakso. “Selama ini ada stigma yang kurang baik bagi para suami TKI. Ketika istrinya kerja di luar negeri, mereka tidak jelas aktivitasnya. Nah, untuk menjawab tantangan itu, mereka lalu kami pinjami sapi. Alhamdulillah, sampai saat ini sudah 200 ekor sapi yang kami ternakkan,” lanjutnya. Program pemberdayaan TKI dan keluarganya di Desa Majasari itu mendapat respons baik dari banyak pihak. Tahun lalu, bersama BNP2TKI dan salah satu bank BUMN, Pemdes Majasari membuat Rumah Edukasi TKI. Di rumah itu, calon TKI diberi skill dan keluarga TKI diberdayakan. Termasuk pembelajaran bahasa asing dan pengenalan kultur negara yang dituju. Rumah Edukasi juga menjadi tempat sharing antara para calon TKI dan purna-TKI. “Karena di sini banyak mantan TKI dari Hongkong, Arab Saudi, Taiwan. Jadi, mereka bisa sharing. Berbagi dengan yang akan berangkat,” lanjutnya. Rumah Edukasi TKI juga bisa menjadi tempat bermain anak-anak TKI. Mereka mendapatkan berbagai kursus dan pelatihan secara cuma-cuma, mulai bahasa Inggris hingga komputer. Suami-suami para TKI pun diberdayakan. “Pada prinsipnya, jangan sampai yang ditinggalkan hanya diam dan menunggu kiriman uang dari luar negeri,” ujarnya. Sementara itu, untuk para purna-TKI, Desa Majasari melakukan pembinaan agar mereka bisa mandiri secara ekonomi. Saat ini sedikitnya ada dua kelompok purna-TKI yang memiliki usaha rumahan sendiri. Upaya perlindungan TKI dan pemberdayaan keluarga TKI itu membuahkan hasil. Terhitung sejak 2014, tidak ada lagi TKI asal Desa Majasari yang bermasalah. Bahkan, tidak sedikit TKI asal desa tetangga yang berkonsultasi kepada CBO dan mengikuti pendidikan di Rumah Edukasi TKI di Desa Majasari. “Bahkan, sekarang kami sedang mengadvokasi seorang TKI dari desa tetangga. Kebetulan sedang ada masalah,” kata Ketua CBO Desa Majasari, Aas Adiwijaya. TKI tidak menjadi satu-satunya fokus Pemdes Majasari. Mereka juga mengembangkan TI (teknologi informasi) di tingkat desa dengan menyediakan layanan free wifi di empat titik. Yakni, kantor desa, taman desa, kandang peternakan sapi, dan warnet. Selain itu, Desa Majasari menyediakan radio komunitas yang dikelola pemuda desa. Saat Pemprov Jawa Barat menggalakkan gerakan membaca, Desa Majasari pun mengimplementasikannya lewat pembangunan perpustakaan desa. Bahkan, perpustakaan Desa Majasari berhasil menjadi juara ketiga lomba perpustakaan desa tingkat nasional. Di bidang kebersihan, Desa Majasari melakukan gerakan bersih desa yang dikelola Aliansi Pemuda Insan Kebersihan (APIK). Untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan masyarakat, Pemdes Majasari menggalakkan program Magrib Mengaji. Di bidang lingkungan, Pemdes Majasari mewajibkan setiap pasangan yang menikah untuk menanam minimal satu pohon di halaman rumahnya. Sementara itu, untuk mencegah penyebaran penyakit demam berdarah, Desa Majasari mengadakan gerakan serentak pemberantasan sarang nyamuk. “Saat ramai DBD, kami menolak untuk dilakukan fogging. Karena menurut kami, fogging bukan solusi. Penolakan ini juga sempat menjadi perhatian Kementerian Kesehatan karena bisa jadi kami satu-satunya desa di Indonesia yang menolak fogging. Bagi kami, yang baik itu gerakan pemberantasan sarang nyamuk, bukan fogging,” tegas Wartono. Terobosan lain yang cukup menarik adalah pemasangan CCTV di delapan titik di desa itu. Bukan asal pasang, CCTV bisa dipantau langsung dari smartphone milik Wartono dan perangkat desa lainnya. CCTV itu juga bisa dipantau langsung oleh Kapolsek dan camat Sliyeg. “Pak Kapolsek dan Pak Camat kita beri akses untuk bisa memantau Majasari melalui handphone masing-masing,” ungkapnya. Hal tersebut dilakukan karena letak geografis Desa Majasari berada di jalur perlintasan wilayah pusat perekonomian dengan pusat pemerintahan Indramayu. Dengan posisi seperti itu, Wartono khawatir Desa Majasari menjadi tempat pelarian orang-orang yang tidak bertanggung jawab. “Ada CCTV ini ternyata membawa hasil. Tak jarang pihak kepolisian meminta rekaman CCTV untuk mengungkap kasus kejahatan,” tandas dia. (*/c11/c10/ari)
Desa Majasari Juara Lomba Desa Tingkat Nasional; Punya 200 Sapi dan Rumah Edukasi TKI
Jumat 26-08-2016,12:00 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :