Penggemar karya-karya Pramoedya Ananta Toer layak berterima kasih kepada Tumiso. Tanpa dia, dunia sastra Indonesia belum tentu bisa menikmati novel-novel masterpiece Pram di Pulau Buru. SEMPURNANYA Tetralogi Pulau Buru, lanjut dia, tidak lepas dari banyaknya masukan yang diterima Pram. Sebab, setiap menulis, Pram selalu membuat rangkap enam. Naskah-naskah itu lalu diberikan kepada Tumiso, Suprapto, Oey Hay Djoen, dan dua teman tapol lainnya. Hal itu ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada teman-teman Pram untuk memberikan masukan. Selain itu, rangkap enam tersebut dimaksudkan sebagai cadangan apabila ada naskah yang disita aparat. Tumiso mencontohkan masukan Suprapto yang ahli hukum kepada Pram soal bagaimana Minke dan Nyai Ontosoroh melawan di pengadilan. “Tidak ada hukum atau kebiasaan pada zaman itu yang digambarkan melampaui zamannya atau mundur ke belakang,’’ tuturnya. Beberapa masukan Tumiso juga diakomodasi Pram. Misalnya, soal aksi petani tebu bernama Trunodongso di Sidoarjo yang melakukan protes seorang diri. Sebelumnya, Pram menggambarkan Trunodongso melakukan unjuk rasa secara beramai-ramai. “Saya bilang zaman itu belum begitu, orang masih takut Belanda. Kita gambarkan Trunodongso sebagai sosok yang berani,’’ ungkapnya. Mendapat kepercayaan besar dari Pram membuat Tumiso tersanjung. Sejak saat itu dia berjanji menyelamatkan naskah-naskah karya Pram agar kelak bisa dibaca masyarakat luas. Sebab, dia tahu, karya Pram sangat baik dan layak dikonsumsi banyak orang. Karena itu, Tumiso benar-benar merawat dengan baik naskah-naskah tersebut. Dia pun tidak berani meminjamkan naskah itu kepada sembarang orang. “Saya dianggap sok ketat. Katanya, Tumiso diberi kepercayaan gitu saja sombong,’’ katanya menirukan omongan miring teman-temannya di Pulau Buru. Meski begitu, ada pula yang dia pinjami. Itu pun dengan catatan. Yakni, harus menceritakan ke orang lain. “Kalau kelak naskah itu gak terbit, tetap ada cerita tentang Pram di penjara,” terangnya. Tumiso bersyukur, pelitnya dia dalam meminjamkan naskah Pram itu berbuah manis. Sebab, naskah-naskah karya sastra fenomenal tersebut akhirnya bisa terbit dan dibaca masyarakat luas. Bahkan diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing. Walaupun apa yang dilakukannya bermanfaat dan memberikan sumbangsih besar bagi kesusastraan dunia, Tumiso tetap merendah. Menurut dia, apa yang dilakukannya adalah hal biasa. Kendati begitu, Tumiso mengaku risi jika ada orang yang mengaku-ngaku sebagai penyelamat naskah-naskah karya Pram. Karena itu, dia akhirnya mau membuka suara dalam sebuah forum Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat, yang berafiliasi kekiri-kirian). “Saya yang menyelamatkan, Yang lain omong kosong,’’ ujarnya. Tak terima, beberapa orang lalu menuntut bukti dari Tumiso. ’’Buku yang diterbitkan Hasta Mitra itu dari saya. Ada surat serah terimanya yang diakui Hasjim Rachman, Joesoef Isak, dan Pram. Tidak ada yang bantah, semua diam,’’ kenangnya. Pada usianya yang sudah sepuh, fisik Tumiso sebenarnya tergolong masih kuat. Di panti jompo, dia tidak hanya bertugas memasak, tapi juga membereskan kebersihan panti. ’’Saya merasa berguna. Saya ingin terus melakukan sesuatu,’’ tandasnya. (folly akbar/habis)
Tumiso, Eks Tapol Penyelamat Naskah Karya Pramoedya (4); Menulis Selalu Rangkap 6
Rabu 14-09-2016,21:00 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :