Pakar Lingkungan: Geothermal Ciremai Untungkan Kuningan

Senin 19-09-2016,20:30 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

KUNINGAN – Di tengah keresahan masyarakat pasca mencuatnya isu pelelangan kembali wilayah kerja pertambangan (WKP) Ciremai untuk geothermal, seorang pakar lingkungan Dr H Yoyo Sunaryo MP angkat bicara. Ia berpendapat, dengan adanya geothermal nanti justru akan lebih menguntungkan Kuningan ketimbang merugikan. Sejauh ini dirinya mengamati, masyarakat Kuningan cenderung sangat represif terhadap informasi yang belum jelas. Apalagi hal itu bersifat provokatif dan pada akhirnya warga Kuningan sendiri yang rugi. Dicontohkan, kasus bendung Kuningan di Cibeureum, masyarakat sempat mengusir tim peneliti dan bahkan merusak peralatan theodolit dan lainnnya. “Karena diisukan air bendung tersebut akan digunakan untuk masyarakat di Panaggapan Brebes. Sekarang masyarakat sadar, bendung tersebut sedang proses pembuatan,” tutur mantan kepala Dinas Lingkungan Hidup itu, Senin (19/9). Kasus geothermal di waktu lalu, lanjutnya, masyarakat bereaksi keras karena diisukan akan menjual Gunung Ciremai. Kemudian, Chevron akan mengeruk harta orang Indonesia seperti yang diperbuat Freport di bumi cendrawasih. Yoyo menegaskan, reformasi telah berlangsung hampir 18 tahun lalu, semestinya masyarakat sudah mulai menyadari kepentingan daerah dan nasional. Sebab, di masa yang akan datang tiga komponen hidup penting akan mangalami krisis yaitu BBM fosil, air baku dan bahan pangan. “Maka dalam kesempatan ini, saya sebagai orang yang membidani lahirnya Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi, akan memberikan pemahaman yang benar tentang hal itu. Kabupaten konservasi artinya menempatkan kawasan (areal tanah yang luas) sebagai mana fungsinya,” terang Yoyo. Misalnya di kawasan Gunung Ciremai yang mencakup areal seluas 15.500 hektare, kata dia, adalah kawasan lindung. Maka selama itu tidak boleh ada usaha produktif yang dapat merusak fungsi kawasan tersebut. “Ditambah kawasan sekitar kaki Gunung Ciremai yang luasnya tidak kurang dari 65.000 hektare, adalah kawasan menyangga di mana pemanfaatan merupakan kawasan terbatas. Selain kawasan itu, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat, dengan catatan harus tetap meminimalisir kerusakan dan dampak,” beber dia. Menurut Yoyo, potensi kekayaan Ciremai begitu besar. Ternyata di kawasan gunung ini tersimpan kekuatan listrik dalam bentuk panas bumi sebesar 250 MGW atau empat kali lipat listrik yang dihasilkan dari bendung Sutami di Purwakarta. Pertama kali survei tempatnya di Pajambon, Setianegara dan satunya di daerah Mandirancan. Kekayaan yang sangat besar, imbuhnya, jika dikelola akan menyejahterakan masyarakat Kuningan. Pemda dan masyarakat Kuningan, akan memperoleh royalti dari setiap watt yang dijual oleh PLN. Dikatakan, industri ini sangat ramah lingkungan, seperti yang dapat dilihat di Kamojang Garut. Lahan untuk eksploitasi tidak begitu luas. Selain pembuatan sumur bor ada instalasi pengolah panas bumi menjadi tenaga listrik, tidak ada limbah domestik maupun limbah kimia. “Jika kita sepakat, bahwa sumber kekayaan ini akan dieksploitasi, ada syarat yang cukup berat, artinya masyarakat harus ikut mendukung. Karena untuk membangun geothermal membutuhkan biaya besar, membuat lubang ke perut bumi sampai ke proses menjadi energi listrik dan jaringan menyalurnya. Umur keekonomisan geothermal akan panjang jika kawasan hutan di kawasan Gunung Ciremai dan kawasan penyangganya bisa dilestarikan. Sekurang-kurangnya dibutuhkan 45.000 hektare hutan harus tetap lestari (bukan menjual Gunung Ciremai) dan tetap sebagai fungsi hutan,” paparnya. Hutan lindung, tambah Yoyo, akan meresapkan air ke perut bumi melalui akar yang terbentuk dan menjulur ke perut bumi. Panas bumi dibentuk oleh panas di perut bumi, dan akan memanaskan  air yang diresapkan oleh tanaman kemudian menghasilkan uap panas. Uap panas inilah yang akan digunakan untuk mengerakkan turbin pembangkit listrik dan menghasilkan energi listrik yang tidak terhingga. “Jadi, apabila hutan negara (TNGC) dan hutan masyarakat di atasnya rusak dan air yang diresapkan semakin berkurang, maka uap air juga berkurang dan tidak lagi mampu menggerakan tumbun listrik dan habislah enegri listrik tersebut,” ungkapnya. Pada awal proses, ujar Yoyo, memang dibutuhkan air cukup banyak untuk pembuatan instalasi dan air panas akan keluar ke pemukaan. Namun setelah stabil tidak akan ada rembesan keluar. Dan apa yang ada sekarang tidak akan terpengaruh, terhadap kehidupan masyarakat misalnya air panas dan sebagainya. “Mungkin sebagai salah satu hak kita warga Kuningan, adalah ikut memantau bentuk kerja sama pengelolaan ini. Sekurang-kurangnya, bisa kita ingatkan jika sistem bagi hasilnya kurang menguntungkan warga Kuningan,” kata pria yang tinggal di Desa Cikaso Kecamatan Kramatmulya itu. (ded)    

Tags :
Kategori :

Terkait