JAKARTA – Berapa jumlah ideal sebuah organisasi atau partai politik? Nah, berkaca kepada jumlah pegawai negeri sipil di seluruh Indonesia, 4,5 juta bukanlah jumlah yang sedikit. Suatu jumlah yang sangat besar. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Korpri Bima Haria Wibisana bahkan berani membandingkan jumlah itu dengan anggota partai politik terbesar sekali pun di Indonesia. “Saya yakin tidak ada partai politik yang memiliki anggota sebanyak itu,” katanya
Bima mengklaim dengan jumlah sebesar itu, Korpri seharusnya bisa menjadi aset penting. Persoalannya, saat ini, Korpri seperti tidak dipandang penting bahkan dengan sebelah mata. ‘’Ini yang harus kita ubah. Korpri akan menjadi organisasi yang profesional,’’ ujar Bima yang sekarang menjabat sebagai Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Berbagai perubahan sudah dilakukan Korpri saat ini. Dengan kepemimpinan baru di bawah Prof Zudan Arief Fakhrullah, Korpri bertekad untuk keluar dari bayang-bayang masa lalu. Korpri akan lebih modren, menjadi agen perubahan dan yang paling utama adalah mandiri. ‘’Kegiatan Korpri tidak akan lagi dibiayai APBN,’’ kata lulusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Surabaya dan Master of Information System dari De Paul University, AS.
Perangkat dasar organisasi pun sudah sesuai dengan UU No.5/2014 tentang ASN yang akan bertransformasi menjadi Korps Profesi Pegawai ASN. Peraturan perundangan untuk penguatan dan pemantapan Korpri juga telah lengkap. \"Parsialnya jumlah besar ini harus mendapat manfaat. Selama ini PNS belum merasakan kehadiran kita, jika dilihat pertama kali berdirinya Korpri belum bisa mendorong integrasi bangsa. Kita akan satukan visi misi dengan pemerintah untuk menyatakan bahwa Korpri adalah organisasi secara kedinasan,\" ujarnya.
Peraih gelar Phd dari University of Pittsburgh mengibaratkan Korpri adalah mitra kerja pemerintah.
“ Silakan saja jika Korpri akan digunakan untuk kepentingan negara, tetapi harus serius,” kata pria bertubuh tegap itu.
Bima tidak mepermasalahkan jika Korpri berada di luar pemerintahan. Justru hal itu akan mampu membuat Korpri bekerja lebih profesional dan netral. Bahkan, Bima yakin Korpri sanggup membiayai sendiri kegiatannya. “Jadi bagaimana Korpri sekarang ini? Kalau saya menyebutnya sedang mencari bentuk,” ujar perancang computer assited test (CAT) untuk PNS itu.
Bima yakin, jika Korpri ada di luar pemerintahan akan lebih bertenaga (powerfull). Selain itu, juga bisa menjadi kekuatan alternatif untuk membangun birokrasi yang jauh lebih baik. “Kalau pemerintah bikin kebijakan melenceng, kita bisa menolaknya secara profesional,” kata Bima.
Bima mencontohkan pegawai negeri di Prancis yang begitu independen. Sehingga, mereka langsung melakukan mogok massal begitu ada kebijakan pemerintah yang merugikan birokrasi dan negara.
Menurut Bima, masalah birokrasi yang terjadi pada saat ini tidak akan diselesaikan dengan cara-cara lama yang terbukti gagal menjawab tantangan zaman. Karena itu, para pegawai negeri harus semakin cerdas, kreatif, responsif, dan inovatif dalam mengembangkan kualitas pelayanan publik dengan semakin murah, semakin baik, dan semakin cepat.
Bima juga mengingatkan agar aparatur Korpri tetap mempertahankan netralitas. “Netralitas Korpri sama sekali bukan kepentingan siapa pun kecuali untuk kepentingan negara dan bangsa serta berfokus pada tugas dan fungsinya secara optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa ada diskriminasi kepada siapa pun,” katanya.
Bima juga menceritakan pengalamannya saat dia diminta mengintegrasikan sistem e-budgeting seluruh kementerian dan lembaga negara beberapa tahun lalu. Saat dia akan melakukannya justru menghadapi resistensi lembaga-lembaga tersebut. Padahal, saat itu Bima hanya ingin mengintegrasikan informasi seluruh e-budgeting kementerian dan lembaga pemerintah. Tidak ada sedikitpun keinginan mengintegrasikan kebijakan dan proses, apalagi institusinya. “Apa susahnya ? hal itu tidak pernah terjadi juga sampai sekarang,” kata Bima.
Padahal, dengan mengintegrasikan seluruh sistem e-budgeting kementerian dan lembaga, justru akan memperkecil kemungkinan terjadinya praktik koruptif. Dengan terintegrasinya seluruh sistem e-budgeting itu, maka proses penganggaran jadi transparan. Menurutnya, sistem yang terintegrasi itu akan memudahkan pemantauan perjalanan sebuah program pembangunan. Sistem itu hanya akan menggambarkan alur masing-masing perencanaan di kementerian ke Bappenas dan DPR.
Dengan demikian tak perlu repot-repot lagi membuat laporan dengan data baru, jika kementerian ingin membahasnya dengan Bappenas atau DPR. “Itu yang sering terjadi. Seorang pejabat sering kaget ternyata proyek yang dieksekusi, bukan yang diusulkan lembaganya. Baru ribut,” ujar Bima
Padahal, dengan rancangan sistem yang diajukan pihaknya, menurut Bima, semua data akan sama. Sejak pada proses pengusulan, sampai dengan dieksekusi. Jika ada yang bermain pada proyek itu bisa diketahui dengan pasti. Karena itu, Bima tidak mengerti mengapa koleganya di pemerintahan dan birokrasi itu begitu takutnya saat dia akan mengintegrasikan sistem tersebut. Padahal, pengintegrasian sistem itu tidak melanggar undang-undang. Hanya caranya yang diubah dari manual, menjadi computerized. “Saya tidak tahu mengapa mereka takut dengan perubahan. Padahal, setiap detik dunia ini berubah,” katanya.
Bagi Bima perubahan adalah suatu yang pasti. Dia menyitir syair lagu country yang dibawakan Fischer, You never cross the same river twice. Dia mengartikan syair itu bahwa aliran sungai saja tidak akan pernah sama dari hari ke hari. Tetapi, kita tidak perlu takut dengan perubahan. Sebab, perubahan itu sebenarnya bisa memudahkan kita juga. “Reform is fun. Perubahan itu sejatinya menggembirakan,” ujarnya.(*)