(2) Suasana Padepokan Kanjeng Dimas; Ada Warga Indramayu Tidak Mau Pulang

Selasa 04-10-2016,21:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Meski tokoh sentralnya ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan dan penipuan, masih banyak pengikut Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang bertahan di tenda-tenda. Kebanyakan menunggu pencairan uang yang dijanjikan guru spiritual mereka itu.   SUASANA Padepokan Dimas Kanjeng sempat ramai lagi pada Sabtu malam (1/10) ketika Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng Marwah Daud Ibrahim hadir. Namun, kemarin (3/10) suasana kembali sepi. Terutama setelah polisi selesai menggelar rekonstruksi pembunuhan Abdul Gani, mantan pengikut Dimas Kanjeng yang diduga dibunuh orang-orang dekat Dimas Kanjeng, Februari silam. “Santri” yang tinggal di tenda-tenda tinggal sekitar 200 orang. “Tapi, yang ngontrak di rumah-rumah warga masih banyak. Kalau sewaktu-waktu disuruh datang ke padepokan, mereka akan langsung datang,” tutur Sekretaris Urusan Program Padepokan Dimas Kanjeng Hermanto. Menurut cerita dia, padepokan itu bermula dari musala kecil yang hanya bisa menampung 20-an orang pada 2006. Seiring tersebarnya kabar kesaktian Dimas Kanjeng Taat Pribadi, makin banyak pula pengikutnya. Hingga penangkapan Dimas Kanjeng 22 September lalu, pengikut padepokan diklaim mencapai 23 ribu orang. Berdasarkan penelusuran Jawa Pos, padepokan berkembang tidak dari uang gaib yang didatangkan Dimas Kanjeng dalam satu malam, melainkan dibangun tahap demi tahap. Seperti halnya pengembangan organisasi massa yang bertumpu pada banyaknya pengikut. Artinya, semakin banyak orang yang datang dan berkumpul, tentu saja perputaran uang di sana akan semakin besar pula. Misalnya, untuk makan saja, kata Hermanto, dalam sehari para pengikut Dimas Kanjeng harus mengeluarkan uang sedikitnya Rp30 juta. “Itu baru urusan makan. Belum kebutuhan sehari-hari lainnya,” terang dia. “Dalam sebulan, perputaran uang di sini bisa mencapai lebih dari Rp3 miliar,” imbuhnya. Para pengikut setia Dimas Kanjeng yang hingga kini bertahan di tenda-tenda mengaku tidak akan meninggalkan padepokan bila tidak ada perintah dari guru spiritual mereka. “Saya tidak akan pergi sebelum ada perintah gaib dari guru saya,” kata Nasrudin, warga asal Indramayu yang sudah beberapa bulan tinggal di kompleks padepokan. Menurut dia, kesetiaan terhadap sang guru (Dimas Kanjeng Taat Pribadi) sudah harga mati. Bahkan, Nasrudin mengaku tidak akan terpengaruh meski Dimas Kanjeng akhirnya terbukti bersalah dalam kasus pembunuhan dua mantan “santri” padepokan dan penipuan berkedok penggandaan uang. Nasrudin dan pengikut militan lainnya juga mengaku sering diperlihatkan “proses” (bagaimana Dimas Kanjeng mendatangkan barang dari alam gaib). Mereka juga mendapat bagian hasilnya. Selama ini orang-orang yang datang di padepokan, selain memberikan sumbangan (mahar), juga memperoleh sesuatu, barang atau uang.  “Bahkan, ada satu santri asal Jember yang tiap kali salaman selalu mendapat sesuatu dari Yang Mulia (sebutan pengikut kepada Dimas Kanjeng, red),” papar Hermanto. Para pengikut yang mendapat uang/barang dari Dimas Kanjeng biasanya dipilih secara acak. Ada yang mendapat Rp100 juta, ada yang Rp5 juta, ada pula yang hanya berupa makanan. “Tak bisa dipastikan kapan waktunya pembagian. Bergantung Yang Mulia,” terangnya. Namun, sumber lain mengatakan, orang-orang yang mendapat pembagian sesuatu dari Dimas Kanjeng itu adalah “orang-orang dalam” padepokan sendiri. Mereka sengaja disebar di tengah-tengah pengikut yang lain sehingga seolah-olah pembagian itu benar-benar untuk para pengikut yang beruntung. Menurut Hermanto, uang yang diberikan tersebut tidak lantas membuat para santri datang semata-mata termotivasi untuk mendapat uang. “Sebab, ada persyaratan bahwa jika mendapat uang dari Yang Mulia, yang boleh dipakai untuk kepentingan pribadi hanya 30 persen. Tidak boleh lebih. Jika melanggar, ada akibat gaibnya,” ucapnya. Hermanto menegaskan, para pengikut Dimas Kanjeng umumnya militan. “Buktinya, Sabtu malam lalu (1/10) ribuan santri datang. Mungkin karena ada Bu Marwah (Marwah Daud Ibrahim) yang datang bersama anggota komisi III (DPR),” ujarnya. Kunjungan Marwah Daud tersebut penting, kata Hermanto, karena para pengikut tak ingin disamakan dengan Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara), organisasi masyarakat yang ajarannya dianggap sesat oleh MUI dan kemudian dibubarkan. “Karena tidak ada yang sesat dalam ritual yang kami lakukan,” ucap Wakil Ketua Padepokan Ibrahim Taju. Menurut dia, tudingan MUI bahwa Padepokan Dimas Kanjeng mempunyai ajaran sesat itu adalah tuduhan tak berdasar. “Silakan dicek aktivitas harian kami. Adakah ritual-ritual yang melenceng dari Islam?’’ tandasnya.  Bagaimana dengan salawat fulus? Ibrahim langsung menampiknya. Menurut dia, secara institusional, padepokan tak pernah mengajarkan salawat itu secara resmi. “Jika kemudian ada di antara para santri yang mengamalkan, itu urusan santri sendiri. Sama juga di ponpes lain, kadang ada salawat seperti itu. Tapi, itu bukan resmi padepokan,’’ tandasnya. Lalu, bagaimana dengan bolpoin laduni dan benda-benda yang diklaim hasil penarikan gaib lainnya? “Itu opsional. Tidak diwajibkan kepada para santri. Memang benda-benda itu berasal dari gaib, tapi tidak diwajibkan. Santri mau beli silakan, kalau tidak juga tidak apa-apa,” tambahnya. Menurut Ibrahim, pemerintah tak bisa turut campur dan kemudian men-judge padepokan itu mengajarkan ajaran sesat. “Secara institusi, tak ada hal yang kami langgar. Ajaran yang kami sampaikan tidak ada yang melawan pemerintah. Bahkan, selalu di awal acara kami selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya. Lalu, kenapa kemudian dianggap seperti pengungsi (Gafatar)?,” tanyanya. Ibrahim mengatakan, harus dipilah antara urusan hukum yang melibatkan Dimas Kanjeng Taat Pribadi dan padepokan. “Soal hukum, tentu kami patuh. Tapi, jika kemudian padepokan disangkut-sangkutkan dan dianggap sesat, itu lain ceritanya,” tandas dia. (kardono/habis)

Tags :
Kategori :

Terkait