Abuk, Penyair Indramayu Terima Anugerah Sastra 2016

Senin 17-10-2016,19:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

INDRAMAYU - Penyair gaek Yohanto A Nugraha alias Abuk menerima penghargaan Anugerah Sastra 2016 dari panitia Sail Puisi Cimanuk 2016. Penghargaan berupa plakat khusus bersepuh emas diberikan sebagai apresiasi atas dedikasinya terhadap puisi dan perkembangan puisi di wilayah Pantura Jawa Barat. “Kang Abuk begitu intens menekuni profesi kepenyairannya dari muda sampai di usia 60 tahun. Saya rasa ini sebuah pengabdian yang luar biasa,” kata Agung Nugroho, ketua panitia saat memberi pengantar penghargaan tersebut pada malam Anugerah Pemenang Sail Puisi Cimanuk 2016 di Gedung Panti Budaya, Indramayu, Sabtu malam (15/10). Agung mengungkapkan, meski Abuk selama ini hidup di daerah pinggiran dan jauh dari pusat-pusat kebudayaan, tapi itu tak mengendorkan semangatnya untuk terus menghidupkan semangat serta gairah bersastra di daerah. “Indramayu itu hanya sebuah kota kecil di pinggiran. Tapi berkat Kang Abuk, gairah berpuisi itu tak pernah padam. Abuk dan para penyair pantura, selalu memiliki momentum untuk berkreasi. Kreativitasnya terus mengalir, sederas sungai Cimanuk yang tak pernah lelah mengalir ke muara,” tutur Agung. Kesetiaan Abuk terhadap puisi dibuktikan dengan aksi-aksi nyatanya dalam menghidupkan seperpuisian di Pantura Jawa Barat. Abuk tidak pernah peduli dengan cibiran orang terhadapnya, baik oleh sesama penyair di Jawa Barat, maupun oleh rekan-rekannya di Indramayu. Berkat Abuk, pantura Jawa Barat selalu memiliki jadwal padat sepanjang tahun berupa even-even perayaan puisi. Antologi puisi lahir hampir setiap tahun, terakhir Antologi Negeri Minyak tahun 2014 yang memuat karya sekitar lima puluh penyair pantura Indramayu. Di antara even perayaan puisi yang rutin digelar, di dalamnya melibatkan peran Abuk sebagai motivator, ialah peringatan meninggalnya penyair Chairil Anwar. Kemudian momen ulang tahunnya yang selalu dirayakan dengan peluncuran antologi, lomba baca dan menulis puisi serta serentetan diskusi, serta banyak lagi. “Puisi itu panggilan hidup. Saya tidak pernah peduli orang menjelek-jelekan puisi saya. Penilaian itu relatif. Kita bisa berdebat untuk bicara nilai dan substansi. Apapun itu, saya tetap konsisten berpuisi hingga malam ini,” tuturnya. Menurutnya, sekarang yang dibutuhkan ialah konsistensi dan kesetiaan. Penyair itu diuji oleh waktu dan zaman, serta dinamika hidup. Menurutnya, menjadikan puisi sebagai pegangan hidup bukan hal mudah. “Banyak yang gagal menjadi penyair justru karena tak tahan menghadapi dinamika hidup. Tidak sedikit penyair yang merasa sudah besar, kemudian malah meninggalkan puisi, atau mengklaim dirinya sebagai empu, lalu merasa sudah selesai perjalanan kepenyairannya, tanpa menyadari bahwa inti dari bersastra atau berpuisi, ialah pada proses kreasi dan proses belajar yang tidak pernah mengenal kata akhir,” ujar pria kelahiran Indramayu pada 20 Februari 1955. (oet)  

Tags :
Kategori :

Terkait