Erlangga Esa Laksmana, 22 Tahun Bertualang di Dalam Gua

Rabu 26-10-2016,17:30 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Tidak banyak yang berprofesi pemeta gua di Indonesia. Salah seorang yang sedikit itu adalah Erlangga Esa Laksmana. Saking asyiknya keluar masuk gua, tak terasa sudah 22 tahun dia menekuni profesi itu. Laporan: GLORIA SETYVANI, Jogjakarta LIMA pria yang mengenakan pakaian coverall berjalan beriringan. Di kepalanya terpasang helm yang dilengkapi lampu. Sambil membawa sejumlah alat mendaki seperti tali, sarung tangan, dan tas ransel, mereka menuju Gua Pule Jajar di Desa Japitu, Girisubo, Gunungkidul, Jogjakarta. Mereka tangkas. Matanya awas. Dengan gerakan cepat, mereka berbagi tugas. Ada yang menuruni gua dengan bergelantungan tali, ada yang menyiapkan peralatan pemetaan, serta ada yang memberikan instruksi dan berjaga-jaga di titik pemetaan. Setelah itu, mulailah mereka menyusuri salah satu gua di kawasan karst Gunung Sewu tersebut. Meski katanya kawasan karst berfungsi sebagai tandon air di daerah sekelilingnya, Gunungkidul hingga saat ini menjadi salah satu wilayah yang kesulitan air di permukimannya. Nah, para penjelajah gua itu punya peran penting dalam mencari gua-gua yang berpotensi menjadi “sumber mata air” bagi daerah sekelilingnya. Misalnya, yang dilakukan Erlangga Esa Laksmana. Pria 43 tahun yang tergabung di organisasi KPALH (Kelompok Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup) Setrajana Fisipol UGM dan Acintyaçûnyatâ Speleological Club (ASC) itu telah menjadikan pemetaan gua sebagai profesi hidupnya. Sudah ratusan gua di Indonesia yang dimasuki dan dipetakannya. Mulai gua-gua di Pulau Sumatera hingga gua-gua di Indonesia Timur. Gunungkidul termasuk kawasan yang menyimpan banyak lubang besar di ceruk-ceruk pegunungannya. Jumlahnya, kata Esa, bisa mencapai puluhan. Salah satunya Gua Pule Jajar. “Sebenarnya gua ini sudah kami petakan beberapa tahun lalu, tapi sampai sekarang belum selesai,” kata Esa saat dijumpai di Fakultas Ilmu Budaya UGM pertengahan Oktober lalu. Sejauh ini, tim ASC telah menemukan sungai bawah tanah dan air terjun setinggi 5 meter di Gua Pule Jajar. Gua itu memiliki mulut lorong yang tegak vertikal. Panjang lorongnya mencapai lebih dari 1.300 meter. Dengan kedalaman dan jenis gua seperti itu, menurut Esa, gua Pule Jajar tidak layak untuk wisata. Namun, lebih cocok untuk sumber air bagi kehidupan di atas gua yang gersang. “Kami sudah memasang pipa-pipa untuk menaikkan air dari dalam ke atas gua. Namun, belum bisa menjangkau lokasi permukiman,” terang dia. Dalam setiap proyek pemetaan, ASC selalu menurunkan 3–5 tim sekaligus. Satu tim berisi 5–6 orang. Setiap tim punya tugas sendiri-sendiri. “Agar lebih cepat selesai, tim bergerak bersama sesuai tugas masing-masing,” imbuh alumnus Hubungan Internasional Fisipol UGM itu. Untuk memetakan satu gua, tim tidak bisa memastikan waktu yang dihabiskan. Bisa cepat, bisa pula lama. Sangat bergantung kondisi cuaca dan medan yang ditempuh. Misalnya saat musim hujan seperti saat ini. Tim ASC tidak berani mengambil risiko turun ke gua. Sebab, bahaya sewaktu-waktu bisa mengancam bila hujan turun deras. Bukan hanya banjir, tapi juga tanah longsor bisa saja terjadi. Kalau toh ada proyek, kata Esa, biasanya pemetaannya tidak berat. “Yang paling kami khawatirkan saat memetakan di dalam gua adalah banjir yang datang tiba-tiba. Kami bisa celaka,” tutur pria yang sudah 22 tahun keluar masuk gua itu. Selain itu, gua mempunyai suhu yang berbanding terbalik dengan suhu di luar gua. Kalau suhu udara di luar panas, di dalam gua akan terasa sejuk. Begitu pula sebaliknya. Maka, Esa dan kawan-kawan pun memilih menjadikan musim hujan sebagai waktu untuk istirahat. Keluar dari lorong gelap dan kembali ke rumah. Aktivitas keluar masuk lubang yang terbentuk secara alami di tanah, bebatuan, atau di gunung itu menjadi hobi Esa sejak remaja. Gua yang dimasukinya tidak selalu mudah dan aman untuk dijelajahi. Selalu ada kesulitan sendiri saat memasukinya, baik yang berbentuk vertikal maupun horizontal. Entah berkelok-kelok tak beraturan ataupun berupa ceruk yang dalam, sempit, dan gelap. “Kegiatan ini memang memacu adrenalin. Jadi, hanya orang-orang yang sudah berpengalaman dan mempunyai keahlian yang bisa melakukannya. Itu pun belum tentu lancar. Ada saja halangannya,’’ ungkapnya. Pada tahun pertama menjadi anggota pencinta alam, Esa secara khusus mengasah ilmu tentang petualangan di dalam gua. Termasuk cara-cara menguasai emosi, berpacu dengan waktu, dan menemukan hal-hal baru di sebuah ruang yang gelap. ’’Belajarnya lama dan tidak mudah. Tapi, terpenting adalah saat praktik di lapangan,’’ ujarnya. Berkat ketekunannya, hobi petualangan di gua itu mengantarlam Esa ke dalam jalan hidup sebagai sedikit di antara para ahli pemeta gua atau surveyor geodetic. Eka menyayangkan masih minimnya kesadaran orang Indonesia untuk melestarikan kawasan karst beserta potensi gua-guanya. Padahal, gunung karst memiliki potensi besar dalam sektor ekonomi, ilmu pengetahuan, wisata, sampai sumber air bawah tanah bagi masyarakat sekitar. Dia mencontohkan Sumba, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang selama ini dikenal sebagai daerah kering dan kekurangan air. Padahal, sejatinya di dalam tanah kering itu terdapat banyak sumber air. Hanya, selama ini tidak pernah digali potensi gua-gua yang ada di daerah itu.  “Sebenarnya mudah untuk menemukan sumber air di bawah tanah atau sungai dalam gua. Tinggal menelusuri sungai yang ada. Sungai itu akan berakhir di laut. Dari situlah kita bisa mengetahui potensi di dalam guanya,” papar Esa. Apabila dalam peta terlihat aliran sungai, kemudian menghilang, lalu muncul aliran sungai yang baru, dapat dipastikan ada sungai bawah tanah atau gua baru. “Di musim hujan seperti ini, tugas kami mencari itu. Lalu diberi tanda,” kata pria yang sebulan lalu me-launching buku barunya, Stasiun Nol Teknik-Teknik Pemetaan dan Survei Hidrologi Gua Edisi 2, itu. Tidak heran, dalam bekerja, Esa tidak pernah sendiri. Dia menjadi bagian dari tim yang terdiri atas para ahli di bidangnya. Ada yang ahli soal letak geografis suatu wilayah, ahli air, ahli tanah, dan sebagainya. Mereka bekerja saling melengkapi. Setelah menyelesaikan kerja lapangan, tim membuat laporan berupa hard file dan soft file. Dari situ akan diketahui karakteristik suatu gua dan potensinya. Kalau gua yang dipetakan merupakan gua yang memiliki sumber air, Esa akan langsung menyampaikannya kepada penduduk atau pemerintah setempat. “Pemetaan dan pengukuran gua juga akan membantu untuk mengetahui berapa beban yang harus dikeluarkan untuk mengangkat air dari dalam gua ke luar,” jelasnya. Sampai saat ini organisasi yang fokus untuk memetakan gua di Indonesia masih sedikit. Padahal, masih ada ribuan gua yang masih perawan dan belum ditelusuri. Namun, harapan baru soal pemetaan gua secara lebih profesional mulai muncul. Sebab, Indonesian Speleological Society (ISS) bertekad mengarsipkan pemetaan gua di Indonesia secara lebih baik. Bulan kemarin Esa dan ACS juga membuat festival pemetaan gua yang diberi nama Stasiun Nol Festival yang pertama di Indonesia. Didukung ISS, Arisan Caving Yogyakarta (ACY), KPALH Setrajana Fisipol UGM, Kapalasastra FIB UGM, dan Asian Union of Speleology (AUS), acara itu mendapat respons yang positif dari pegiat pemetaan gua dan masyarakat umum. Rencananya festival pemetakan gua itu diadakan dua tahun sekali. Tidak hanya diisi penjelajah dalam negeri, tapi juga akan ada para penjelajah gua luar negeri.  “Sayang kalau potensi gua yang ada di Indonesia dibiarkan. Padahal, bisa jadi, potensi itu akan memberikan manfaat yang besar bagi lingkungan di atasnya,” tegas Esa. (*/c10/ari)

Tags :
Kategori :

Terkait