Satu Meninggal saat Disandera, Kemenlu Kembalikan Warga Cirebon

Selasa 01-11-2016,10:30 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

JAKARTA- Empat warga negara Indonesia (WNI) yang disandera oleh perompak di Somalia akhirnya bertemu dengan keluarga di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) siang kemarin. Bingung antara mimpi dan kenyataan, mereka mengaku masih belum tahu perasaan untuk akhirnya pulang ke tanah air. Setelah isak tangis mereka saat bertemu dengan sanak saudara, mereka punya keinginan sederhana yang salah satunya adalah menikah. Momen mereka bertemu dengan keluarga pada pukul 13.00 WIB memang membuat Sudirman (24) asal Medan, Adi Manurung (32) asal Medan, Elson Pesireron (32) asal Ambon, dan Supardi (34) asal Cirebon kehilangan ketenangan. Saat mereka akhirnya berjalan ke aula Gedung Pancasila, mereka tak sanggup menahan air mata dan langsung berlari ke perwakilan keluarga yang menjemput mereka. Menit-menit itu serasa sakral sehingga tak ada yang mau mendesak mereka agar formalitas acara segera dimulai. Namun, setelah tenang, acara pun dimulai dengan sambutan dari pihak keluarga. Yang maju ke podium Semy Pesireron, kakak dari Elson. Dia mengucapkan terimakasih kepada Kemenlu. “Kami tahu informasi mengenai Elson di Somalia pada 2013 tapi masih membingungkan. Baru Januari 2015 pihak Kemlu mendatangi rumah untuk menyampaikan informasi terkait mereka,” jelasnya. Sementara Supardi sebagai yang paling tua, mengaku tak tahu harus berkata apa saat ditanya bagaimana perasaan. Lega sudah pasti jadi salah satu perasaan. Namun, dia mengaku tak punya permintaan muluk-muluk. Hanya keinginan agar dia dan teman-temannya bisa segera menikah dan menetap bersama keluarga.Saya sendiri belum kepikiran apa-apa paling ingin syukuran saja kalau sudah di rumah. Yang jelas, saya pingin sekali makan gorengan di rumah,” ungkapnya. Menurutnya, satu-satunya yang menjadi pegangannya adalah melaksanakan ibadah puasa dan berdoa. Sebab, dia merasa terlalu kotor untuk melaksanakan ibadah salat. Karena itulah, dia merasa setidaknya harus berpuasa tanpa bolong satu haripun. “Memang ada lima kewajiban yang harus dilakukan. Tapi, di sana gak ada air dan orang Somalia juga tidak tahu kiblat. Jadi yang bisa saya lakukan adalah puasa dan berdoa,” terangnya. Kisah dari empat WNI ABK Kapal Naham 3 ini memang bukan kisah biasa. Bermula pada 26 Maret 2012 lalu. Tepatnya, pukul 02.00 waktu setempat di wilayah perarian Somalia. Saat ABK selesai bekerja memang sedang geladak dasar kapal tiba-tiba mendengar rentetan senjata membabi buta. Rupanya tembakan itu mengenai kapten kapal dan membuat ABK semburatan panik. Tak terkecuali, Sudirman yang saat itu baru saja pertama kali menjadi ABK. “Saya tak ingat, pokoknya yang dekat ruang mesin, yang bersembunyi di sana,” jelas Supardi. Tak lama, pembajak pun mengambil alih kapal dan menyekap ABK di perairan wilayah Hobyo, Somaila. Penyekapan itu cukup lama yakni 1,5 tahun. Pukulan-pukulan dari para pembajak kepada para sandera dengan popor senjata menjadi pemandangan lumrah. Namun, kapal tersebut mulai karam pada 2013 sehingga sandera dipindahkan ke kawasan Budbud yang terletak 287 km dari Ibu Kota Somalia, Mogadishu. Di sana, mereka justru lebih teriksa. Memang, kehidupan mereka tak disuruh bekerja secara paksa. Kegiatan sehari-hari mereka hanyalah mencari kayu bakar untuk makan di sore hari. Namun, yang menjadi bagian paling sulit justru karena minuman dan makanan. Mereka hanya diberi jatah setengah liter air mentah untuk dibagi 26 sandera per harinya. Itu pun persediaan yang didapatkan dari persediaan yang sudah tercampur dengan kotoran unta atau kambing. “Tapi lebih baik mentah. Kalau dimasak, baunya tambah menguat dan malah membuat kami muntah-muntah,” jelasnya. Satu-satunya berkah yang diterima oleh sandera hanya jika ada hujan. Jika hujan, ABK bakal menggali tanah dalam-dalam sehingga menjadi penampungan air. Air tadah hujan itulah yang biasanya digunakan sebagai air minum selama beberapa minggu. “Masalahnya, hujan di Somalia itu hanya satu dua kali. Seperti keajaiban,” terangnya. Soal makanan pun sebelas duabelas. Tak jarang dari mereka harus rela memakan masakan basi. Misalnya masakan roti yang sudah diolah sore namun baru dimasak pagi esok harinya. Karena itu, banyak dari mereka yang akhirnya mengalami diare. Sandera pun mencoba sembunyi-sembunyi untuk menangkap hewan dihutan mulai tikus liar hingga kucing hutan. “Biasanya sembunyi-sembunyi berburunya. Kalau ketahuan, nanti tangan kami diikat bersama kaki kami. Kalau sudah begitu, tersiksa sekali,” terangnya. Mengulang aktivitas menyiksa tersebut setiap hari diakui Sudirman merasa kehilangan harapan. Apalagi, dalam penyanderaan dia kehilangan salah satu sahabat yakni Nasirin. WNI ABK yang ikut disandera itu meninggal akibat Malaria pada 2015 lalu. Sudirman yang menemani Nasirin tahu benar bagaimana tersiksanya sang almarhum. “Dia terus mengeluh merasa panas lalu dingin. Dan dia minta air terus menerus,” jelasnya. Mungkin karena itulah Sudirman ikut ke Cirebon untuk bertemu keluarga almarhum mengantarkan barang almarhum dan menyampaikan ke keluarga bahwa Nasirin dikuburkan secara Islam. Di akhir-akhir penyanderaan, keputusasaan sandera pun membuat solidaritas mereka semakin erat. Dia mencontohkan kisah saat sandera asal Kamboja ditembak September lalu. Dia ditembak karena beradu mulut dengan perompak saat ingin buang air besar. Alhasil, sandera tak bisa berjalan karena luka di kaki. “Ceritanya orang kamboja ini ingin berak. Tapi, perompak Somalia ngomong kotor. Orang Kamboja balas ngomong kotor malah ditembak kakinya,” ucapnya. Melihat itu, 25 sandera lainnya langsung mogok makan karena tak terima. “Kalau menembak kaki itu namanya mematikan perlahan. Sekalian saja mati semua,” jelasnya. Tak disangka, setelah itu mereka dilepaskan oleh pembajak dan langsung diantarkan ke wisma Indonesia di Nairobi tiga hari kemudian. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pun mengaku bahwa upaya ini hasil dari langkah intensif selama satu tahun. Sesuai arahan presiden, Kementerian Luar Negeri mengambil alih langkah pembebasan setelah perusahaan yang menaungi ABK bangkrut dan tak bisa dimintai pertanggungjawaban. “Salah satu kesulitan yang kita hadapi yaitu kompleksitas masalah yang ada di daratan juga. Dapat saya sampaikan bahwa pada detik-detik terakhir menjelang pelepasan sandera, masih terdapat upaya dari kelompok lain yang ingin mengambil alih para sandera ini,” ungkapnya. Direktur Perlindungan WNI dan Badan Usaha Indonesia (PWNI) Kemenlu Lalu Muhammad Iqbal menambahkan, saat ini empat ABK Kapal Naham 3 masih harus menunggu hasil tes kesehatan yang dilakukan oleh RSPAD Gatot Subroto pagi kemarin (31/10). Hal itu untuk memastikan bahwa mereka sehat secara fisik maupun mental. “Kami juga mencari cara agar mereka termasuk almarhum Nasirin bisa mendapatkan santunan yang layak. Karena kami mencari perusahaan yang bangkrut tersebut tapi tidak bisa menemukan adanya kemampuan untuk menyediakan santuanan,” ungkapnya. Terkait tebusan, dia membenarkan bahwa perompak meminta tebusan senilai USD 4,5 juta  (Rp58 miliar) untuk membebaskan sandera WNI. Namun, pemerintah mengaku tidak terlibat dalam proses negosiasi dan tak mengetahui apakah ada ransum yang dibayarkan. “Kami mendekati berbagai komunitas dan lemabaga nirlaba. Tapi, pemerintah Indonesia posisinya tidak akan melakukan negosiasi dengan penyandera, tidak pernah pemerintah terlibat dalam pembayaran ransom,” ujar Lalu Muhammad Iqbal. (bil)

Tags :
Kategori :

Terkait