Ini Frank Palmos, Sejarawan Australia yang Bukukan  Pertempuran 10 November 1945

Jumat 11-11-2016,10:30 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Pertempuran Surabaya, 10 November 1945, menjadi tonggak bersejarah bagi bangsa ini. Francis Palmos, sejarawan Australia, merekam sudut-sudut penting pertempuran itu lewat buku terbarunya, Surabaya 1945: Sakral Tanahku. Kemarin (10/11) buku itu “di-launching” di tengah upacara peringatan Hari Pahlawan di Surabaya. Laporan: TAUFIQURRAHMAN, Surabaya KEPIAWAIAN Francis (Frank) Palmos dalam menggambarkan suasana pertempuran memang bukan hal baru. Sejak 1968 dia terjun ke pedalaman Vietnam sebagai jurnalis. Merekam salah satu perang paling brutal dalam sejarah militer Amerika Serikat tersebut. Dia bertugas melaporkan langsung dari lokasi pertempuran. Namun, sebelum itu, Palmos sudah cukup lama menjalin hubungan dengan Indonesia. Palmos muda kali pertama menginjakkan kaki di Indonesia pada 1961. Saat itu dia masih berumur 21 tahun. Dia datang sebagai jurnalis yang mendapat beasiswa dari Yayasan Siswa di bawah naungan Deplu RI untuk belajar sastra, bahasa, sejarah, serta kebudayaan Indonesia. “Saya cuma bawa uang 400 dolar, enam bulan langsung habis,” tutur Palmos saat bercerita tentang pengalamannya kali pertama di Indonesia di ruang redaksi Jawa Pos (Radar Cirebon Group), Sabtu (5/11). Awalnya, Palmos belajar di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada 1961. Kemudian berlanjut ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) pada 1962. Departemen Luar Negeri (Deplu) RI kala itu memang gencar mempromosikan republik yang baru lahir ke dunia internasional. “Saya ingat, tugas pertama saya menerjemahkan novel Siti Nurbaya,” ujarnya. Dalam sekejap, Palmos mengaku bisa langsung akrab dengan kehidupan di Indonesia. Dia mencontohkan, dirinya pernah menginap sebulan penuh saat Ramadan di rumah keluarga Indonesia di Tasikmalaya, Jawa Barat. Bahkan, Palmos ikut menjalankan ibadah puasa. “Waktu puasa, waduh rasanya lapar sekali, mau mati,” ungkap penyandang gelar doktor bidang sejarah tersebut, lantas tersenyum. Selepas menyelesaikan studi, Palmos kembali ke Indonesia pada 1964 dalam kapasitas sebagai wartawan surat kabar Herald Sun, Australia. Pada akhir 1964, dia membuka perwakilan kantor berita asing pertama di Indonesia. Dia pun diangkat menjadi kepala biro Indonesia. Saat itu, Palmos sudah dikenal sebagai ahli sejarah Indonesia sebelum pada 1968 ditugaskan untuk meliput perang Vietnam. Berkat ketekunannya belajar bahasa dan sejarah Indonesia, Palmos sempat mendapat kehormatan menjadi penerjemah lepas untuk Presiden Soekarno. Bahkan untuk pemimpin kekuatan-kekuatan politik besar saat itu seperti NU, PNI, dan PKI ketika menerima diplomat dan wartawan asing. Inisiatif untuk menulis sejarah Indonesia, terutama sekitar 1945, baru muncul saat dia bertemu Menteri Penerangan RI Roeslan Abdulgani pada 1965. Saat itu, Roeslan Abdulgani tengah memberikan indoktrinasi UUD 1945 di hadapan dua ribu mahasiswa di Jakarta. “Saya satu-satunya wartawan asing yang meliput acara itu,” tutur Palmos. Tertarik kepada Palmos, Roeslan kemudian mengajaknya untuk mengikuti kunjungan ke Makassar dengan menggunakan pesawat Douglas DC-3 milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Sebuah akomodasi yang sangat mewah saat itu. “Of course saya mau. Yang penting bisa pelesir,” kata Palmos menjawab tawaran Roeslan itu. Palmos pun tiba di bandara pada hari yang ditentukan. Sebuah tiket diberikan ajudan Roeslan sesaat sebelum memasuki ruang tunggu bandara. Ada yang aneh di tiket itu. “Saya baca namanya Nyonya Abdulgani,” kenang Palmos, lantas tertawa. Dia pun menyodorkan tiket tersebut kepada petugas bandara. Tapi, ternyata si petugas tak mempermasalahkan. “Katanya sudah biasa istri Pak Menteri jarang diajak,” lanjut dia. Palmos tidak tahu bahwa penerbangannya dengan Roeslan ke Makassar dalam rangka melaksanakan misi rahasia Presiden Soekarno. Yakni, memastikan hasil penyergapan TNI terhadap pemberontak Darul Islam (DI).  “Karena ini misi rahasia, saya tidak beri tahu kamu sampai kita tiba di Makassar,” ungkap Palmos menirukan ucapan Roeslan kala itu. Misi rahasia tersebut adalah memastikan kondisi pemimpin DI Kahar Muzakkar selepas penyergapan oleh TNI, kemudian melaporkannya kepada presiden. Sebab, sepanjang 1965, sudah beberapa kali ada laporan bahwa Kahar Muzakkar berhasil ditembak mati. Namun, beberapa waktu kemudian, Kahar muncul kembali dalam kontak senjata dengan TNI. “Konon, Kahar Muzakkar, kalau ditembak, pelurunya belok ke kanan atau kadang ke atas. Luput terus,” cerita Palmos. Palmos lalu diajak ke ruang bawah tanah kediaman gubernur Sulawesi Selatan. Di situ Roeslan dan beberapa perwira TNI menyaksikan peti mati berisi mayat Kahar yang sudah membujur kaku. Misi selesai. Laporan pun dikirim ke presiden bahwa Kahar Muzakkar sudah berhasil dilumpuhkan. Di Makassar itulah, Roeslan meminta agar Palmos mau menulis sejarah tentang Surabaya. Sebab, menurut Roeslan, Surabaya adalah fondasi republik yang pertama. “Warga negara Indonesia pertama itu ya orang Surabaya,” kata Palmos. Roeslan sebenarnya pernah menulis Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia. Namun, dia berpikir bahwa sejarah Indonesia harus ditulis oleh seseorang yang independen. Dengan demikian, sudut pandangnya objektif. Palmos baru bisa memenuhi keinginan Roeslan itu pada 2008. Dia pun kembali ke Indonesia untuk mewujudkan keinginannya menulis sejarah Indonesia sekitar 1945, terutama tentang pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Selama dua tahun Palmos melakukan riset, menerjemahkan buku-buku referensi berbahasa Indonesia dan catatan harian para veteran, serta berkeliling Surabaya untuk melihat langsung tempat-tempat yang diceritakan Roeslan. Dia juga mewawancarai para pelaku sejarah pertempuran 10 November serta bertemu dengan Rosihan Anwar, satu-satunya wartawan perang dari harian Merdeka yang meliput pertempuran 10 November 1945. Selain itu, Palmos mesti memelototi 20–30 video liputan tentang perang yang meletus menyusul tewasnya Jenderal Mallaby, komandan Brigade 49 Sekutu. Tak lupa, dia juga membaca tulisan pelaku sejarah pertempuran Surabaya Suhario Padmodiwiryo alias Hario Kecik. Catatan yang tak kalah berharga bersumber dari memoar pemimpin pasukan sekutu Jenderal Sir Philip Christison. “Saya dapat bukunya di museum tentara Chelsea, Inggris. Buku diary ini memberi banyak sekali poin baru (tentang pertempuran Surabaya, red) yang belum terungkap,” bebernya. Palmos kemudian memperpanjang risetnya hingga 2011 dengan menerjemahkan memoar Hario Kecik yang terangkum dalam buku Tentara Pelajar. Menurut Palmos, ada 10 narasumber utama yang amat membantunya dalam menyelesaikan buku Surabaya 1945: Sakral Tanahku. Dalam buku setebal 415 halaman itu, dia menyampaikan rasa terima kasih secara khusus kepada Rosihan Anwar dan Hario Kecik yang merelakan beratus-ratus jam di akhir hayatnya hanya untuk meladeni pertanyaan Palmos soal pertempuran Surabaya. Palmos mengaku sudah sangat menyatu dengan Indonesia. Dia menyatakan, pada 1960-an, bahasa Indonesia-nya sangatlah lancar. Bahkan nyaris sefasih Presiden Soekarno. Saking Indonesianya, wakil perdana menteri Indonesia saat itu, Johannes Leimena, pernah meneleponnya secara khusus. “Apakah masih ada bocah Australia di situ?” kata Leimena dalam telepon selama 5 menit itu. Palmos pun tertawa. (*/c5/ari)

Tags :
Kategori :

Terkait