’’Biasanya, di situ mereka menghabiskan waktu luangnya untuk menonton televisi,’’ kenang Bambang Siswoyo Sidiq, sambil menunjuk ruangan kecil yang berada di antara kamar bernomor 3 dan 4. Bambang adalah mantan kepala Diklat Salatiga dari tahun 1992 hingga 2007. **** KAMAR yang dia tunjuk adalah kamar yang dulunya pernah jadi tempat istirahat bagi Kurniawan Dwi Julianto dan Bambang Pamungkas. Ya, di tempat itu keduanya ditempa kemampuan sepak bolanya, di Diklat Sepak Bola Salatiga. Tapi, sekarang sudah tidak ada lagi Kurniawan-Kurniawan atau Bambang-Bambang lain di situ. Tidak ada lagi aktivitas di komplek bangunan yang berada di pinggiran Jalan Veteran 45 Salatiga tersebut. Yang tersisa hanya bangunan kosong yang tidak ada penghuninya. Yang tidak terawat. Bahkan, ketika Jawa Pos (Radar Cirebon Group) berkunjung ke tempat itu, yang ada hanya tempat penuh debu. Di bagian dalamnya malah lebih parah lagi. Tumbuhan liar sudah memenuhi di dalamnya. Bukan hanya blok untuk mess pemain sepak bola, begitu pun dengan mess yang diperuntukkan untuk cabor lain. Di area yang luasnya kurang dari satu hektare itu ada tiga blok mess, dua lainnya untuk atlet sepak takraw dan atletik. Di bagian depannya ada tempat fitnes yang dulu peralatannya masih cukup lengkap. Tapi, sekarang sudah melompong. ’’Sejarah panjangnya sudah tidak ada lagi,’’ kenang Bambang, yang dulunya pelatih atletik nomor lempar itu. Padahal, bangunan itu sudah jadi cikal bakal diklat sepakbola di Indonesia. Bangunan itu sudah berdiri sejak 1963. Sebelum dinamai Diklat Salatiga, di tempat ini dulunya pusat pelatihan yang didirikan oleh PSSI bersama Departemen Olahraga. Dikenal dengan TC Ngebul, diambil dari nama kawasan yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat tersebut. Baru pada 1973 PSSI mengubah formatnya jadi Diklat Salatiga, lalu berubah jadi Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) Salatiga sejak 2008 silam. Enam tahun setelahnya, PPLP Salatiga pun diboyong ke Semarang untuk dilebur dengan PPLP Jateng. Setelah itu, hilang lah ciri khas Salatiga sebagai kawah candradimukanya para seniman sepak bola Indonesia di masa lalu. Sebut saja Anjas Asmara, Iswadi Idris, Sartono Anwar, hingga Hadi Ismanto. Ravi Murdianto, Awan Setho RAharjo, atau Septian David Maulana generasi di tahun-tahun terakhir sebelum PPLP di Salatiga ditinggalkan dan dilupakan sampai kini. Yang tersisa dan masih terawat sampai saat ini hanya lapangannya. Karena, letaknya di dalam kompleks Yonif Mekanis 411/6/2/Kostrad, Salatiga. Lapangan Kurusetra namanya. ’’Dulu ada jalan kecil dari mess ke lapangan, tetapi sekarang sudah tidak ada, sudah tertutup rimbunan rumput liar, jalannya pun juga sudah ditutup tembok. Kira-kira sejak 2005 silam,’’ ungkap fisioterapis kontingen Jateng di PON Jabar lalu itu. ’’Eman benar-benar eman. Apalagi sejak dulu orang-orang tahunya Diklat Salatiga itu ya di Salatiga,’’ lanjut Bambang. PPLP Salatiga dipindahkan ke PPLP Jateng sejak 5 Januari 2014. Di Semarang, PPLP Jateng ada di kompleks olahraga Jatidiri milik Pemerintah Propinsi. Dibandingkan dengan di Salatiga, di Semarang lebih di daerah dekat dengan kota. Fasilitasnya pun jauh dibandingkan dengan di Salatiga. Di Semarang, pemain sepakbola PPLP Salatiga menempati mess di gedung-gedung tua. Sanitasi buruk, dan terkesan agak kumuh. Setali tiga uang dengan fasilitas latihannya. Lapangan latihan mereka harus berbagi dengan PSIS Semarang dan Bhayangkara FC U-21. Kalau tidak kebagian, ya mereka yang harus mengalah dengan menyewa lapangan di luar kompleks olah raga Jatidiri. ’’Kalau boleh memilih, mending di sana (Salatiga). Udaranya segar, lokasi di tempat yang jauh dari keramaian, lapangan pun kami tidak harus berbagi dengan tim lain. Bedanya, kalau di sini (Semarang) anak-anak tidak perlu jauh-jauh kalau ke sekolah,’’ tutur Andreas Kristianto, asisten pelatih sepak bola PPLP Jateng. Diwawancara secara terpisah, Kabid Keolahragaan Dinas Pemuda dan Olah Raga (Dispora) Provinsi Jateng, Effendi Hari menyebut, tidak ada perbedaan antara Diklat Salatiga, PPLP Salatiga, dan sekarang dilebur dengan PPLP Jateng. Hanya lokasinya saja yang berganti. Model pelatihannya tetap sama. Menurut Effendi, peleburan ke PPLP Jateng ini adalah era baru untuk sentralisasi pembinaan 23 cabor yang di Jateng. ’’Inipun (peleburan PPLP Salatiga) atas keinginan dari Pak Gubernur (Ganjar Pranowo),’’ sebutnya. Selain itu, ini untuk persiapan Jateng sebelum jadi tuan rumah dalam Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) XIV 2017. ’’Tidak cuma di pelatihannya saja yang sama, begitu juga dengan pembiayaannya. Per tahun per atlet kira-kira dapat sekitar Rp 45 juta, untuk segala keperluan,’’ ungkap Fendy, sapaan akrabnya. Terkait dengan fasiltas dan mess-nya, Fendy menyebut tahun depan renovasi besar-besaran dilakukan. Stadion ditarget tahun ini rampung, lalu selanjutnya mess yang dikebut. Lalu, kalau kompleks yang baru sudah ada gambaran akan lebih baik lagi tahun depan, bagaimana dengan bekas bangunan di Salatiga? Menurut info, lokasi ini tidak disentuh sama sekali dalam dua tahun terakhir karena adanya perbedaan kepemilikan lahan. Bangunannya milik Dispora, lahan di bawahnya milik militer. Ada wacana dari KONI Salatiga untuk memanfaatkannya sebagai Pusat Pelatihan Daerah (Pelatda) tahun depan. Setidaknya supaya patung pemain sepak bola di depan kompleks itu tidak lagi kehilangan artinya. Arti bahwa tempat itu pernah melahirkan pemain sepak bola top nasional. (ren)
Diklat Salatiga, Riwayatmu Kini…
Rabu 16-11-2016,20:30 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :