Brilliant Time, Perpustakaan di Taiwan yang Bernuansa Khas Indonesia

Senin 05-12-2016,15:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Maraknya gerakan literasi tidak hanya melanda Indonesia. Di Taiwan juga menjamur di mana-mana. Salah satu penggeraknya adalah Chang Cheng, anak muda di New Taipei. Kepada wartawan Jawa Pos (Radar Cirebon Group) FATHUR ROZI yang mengunjunginya pekan lalu, Chang menceritakan aksi positifnya itu. DARI luar, bangunan kecil tiga laintai itu mirip toko buku. Berak-rak buku dipajang di sana. Namun, tidak terlihat ada pembeli yang tengah memilih buku atau melakukan transaksi. Yang ada para pengunjung yang sedang tenggelam di antara ribuan buku koleksi Brilliant Time: Southeast Theme Bookstore, perpustakaan pribadi yang didirikan Chang Cheng. Luas lahan perpustakaan tersebut berukuran 4x6 meter. Bangunannya terselip di tikungan jalan No. 1 Lane 135 Xing-Na rd. Chung-He Distric, New Taipei City. Warga setempat mengenalnya sebagai “Jalan Vietnam”. Sebab, di sana banyak toko yang menjual barang-barang produk  Vietnam. Transaksi pun menggunakan bahasa negara tersebut. Brilliant Time memang bukan toko buku. Tapi, juga terlalu sederhana untuk disebut sebagai perpustakaan seperti di Indonesia. Apalagi pengelolaannya terkesan ala kadarnya. Misalnya, pengunjung tidak wajib mendaftar untuk menjadi anggota. Buku tamu/pengunjung pun tidak ada. Sehingga, pencatatan identitas pengunjung, buku apa yang dipinjam, atau uang iuran yang diberikan pengunjung, hampir tidak pernah ada. Apalagi menyoal denda bagi yang terlambat mengembalikan buku. “Saya cuma suka punya (perpustakaan) seperti ini. Ini hobi,” ungkap Chang ketika ditemui rombongan yang diundang Taipei Economic and Trade Office (TETO) itu. Meski begitu, Chang menolak bila perpustakannya dianggap dijalankan ala kadarnya. Dia mengaku, dengan caranya mengelola seperti itu, justru berhasil menghidupkan Brilliant Time menjadi perpustakaan yang lain daripada yang lain. Taman bacaaan yang didirikan pada April 2015 itu kini sudah memiliki 40 cabang di Taipei City. Salah satu cabang Brilliant Time berada di Stasiun Taiwan High Speed Rail (HSR) Taipei. Taman baca itu menempati salah satu stan toko di situ. Sedangkan cabang lain jadi satu dengan kedai kopi atau kafe yang tarif sewanya lumayan  mahal. Brilliant Time memiliki koleksi buku yang jumlahnya melimpah. Belum termasuk buku-buku yang dipinjam pengunjung dan belum dikembalikan. “Buku-buku di sini mengalir terus. Ada yang menyumbang, ada yang meminjam,” ujar pria 40 tahun itu. Chang mengaku tidak pernah menghitung berapa koleksi bukunya. Bahkan, menomorinya saja tidak sempat. Menariknya, hampir semua buku koleksi perpustakaannya merupakan sumbangan pengunjung yang datang. Terutama turis asing maupun pekerja migran. Mereka berasal dari berbagai negara. Termasuk dari para TKI (tenaga kerja Indonesia). Di lantai satu Brilliant Time, pengunjung akan disambut banyak buku tentang dan berbahasa Indonesia. Ada buku tentang Presiden Joko Widodo berjudul The Furniture Salesman Who Became President. Buku kisah bergambar itu disusun oleh Gunawan dengan teks bahasa Inggrisnya oleh J. Casey Hammond. Kata Chang, buku tersebut dibawa seorang turis Amerika Serikat yang mampir ke tempatnya. Justru bukan orang Indonesia. Buku-buku lain tertata rapi di rak yang menghiasi dinding. Banyak pilihan, buku lama maupun baru. Ada novel berjudul Teka-Teki Cinta sang Pramusaji dan Janda-Janda Kosmopolitan, ada pula buku lawas Potret Inspiratif Perempuan Tionghoa-Indonesia. Selain buku, di ruangan itu juga kental warna Indonesia. Ada angklung, patung Punokawan (Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong), serta kipas tangan dari rotan dan tempat ikan nelayan khas Indonesia. Bendera Merah-Putih juga “berkibar” di langit-langit. Satu lagi, di sudut rak, terdapat kotak kaleng Khong Guan Biscuits, biskuit produksi Indonesia. Jawa Pos iseng mengintipnya. Jangan-jangan isinya rengginang atau kerupuk seperti di Indonesia bila biskuitnya sudah habis. Ternyata isinya potongan-potongan  kertas. Di lantai dua dan tiga, pengunjung yang kebanyakan para pekerja pabrik bisa belajar kecakapan intelektual. Mulai menulis, melukis, sampai public speaking. Ada proyektor dan seperangkat alat audio. Juga ada white board untuk proses ajar-mengajar. Chang memastikan buku koleksinya tidak pernah ada yang hilang. Buku-buku itu keluar dari perpustakaan dengan status dipinjam orang. Bisa sehari, sepekan, setahun atau bahkan lebih lama lagi. Pengunjung memang bebas membawa buku yang diinginkan dengan catatan harus menaruh deposit untuk ’’jaminan’’. Nilainya sekitar harga buku. Ada stiker penunjuk nominalnya. Misalnya 100 NTD (New Taiwan Dolar) atau sekitar Rp45 ribu. Selama buku belum dikembalikan, uang deposit tidak akan disentuh. Dan, bila buku dikembalikan, pengunjung bisa mengambil uang depositnya lagi. Utuh. Chang hidup dari profesinya sebagai guru bahasa asing. Muridnya kebanyakan buruh migran yang belajar bahasa Mandarin. Biaya kursusnya relatif murah, sehingga tidak memberatkan peserta kursus. Chang juga seorang pembicara dalam berbagai forum literasi. Bahkan, sampai ke luar negeri. Salah satunya dia pernah berbicara di Bangka Belitung. Penghasilan lain Chang didapat dari menulis. Baik fiksi maupun opini. Dia juga ikut mengelola sebuah media yang terbit dalam empat bahasa: Inggris, Taiwan, Indonesia, dan Vietnam. Melihat berbagai pernak-pernik di Brilliant Time, perpustakaan itu  menyerupai pusat kebudayaan dan komunitas internasional.  (*/ari)

Tags :
Kategori :

Terkait