ADALAH Indonesia, sebuah negara kelautan terbesar di dunia, dengan lebih dari 10 ribu pulau tersebar dalam wilayah seluas wilayah New Jersey hingga Alaska. Panjang pantainya 3 ribu mil laut dari Merauke sampai Sabang. Kedua terpanjang di dunia. Yurisdiksi Indonesia di laut seluas 5,8 juta km2. Seharusnya bangsa Indonesia menjadikan laut sebagai urat nadi kehidupan dan mengaitkan kehidupannya secara erat dengan kenyataan geografi dan bentuk fisik wilayahnya. Sriwijaya dan Majapahit paham, untuk menggenapi nubuat akan bangsa maritim terbesar, para pemimpinnya memainkan pengaruh politik kerajaan hingga wilayah Asia Tenggara. Mereka sadar bahwa laut selain pengikat kesatuan wilayah dan sumber kehidupan, juga sebagai media perhubungan, wilayah pertahanan, menentukan postur dan strategi pertahanan. Nubuat itu pun akhirnya tergenapi, dalam Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957. Namun, ironisnya, sejauh amatan penulis, Indonesia tidak pernah sungguh-sungguh mampu mengoptimalkan posisi strategisnya di Selat Malaka yang merupakan center gravity dari perdagangan dunia lewat laut. Indonesia justru mengalami ketergantungan terhadap Singapura sebagai hub-port (pelabuhan pengumpul) dalam segala kegiatan ekspor impornya. Port of Singapore Authority (PSA) merupakan salah satu pelabuhan tersibuk di dunia. Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia hanya menjadi pelabuhan pengumpan (feeder port) untuk Singapura. Menurut Maritime Magazine, setiap tahun, lebih dari 10 juta TEUs kontainer dari dan ke Indonesia harus lewat PSA. Demikian Indonesia mengalami kehilangan devisa mencapai US$15 miliar per tahun. Di sisi lain, kita sedikit terhibur, ketika misi pemerintahan Jokowi-JK yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran. Melalui (saat itu) rencana Menteri Perhubungan Ignasius Jonan membenahi pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Ini jelas pekerjaan raksasa. Bayangkan, ada 1.241 pelabuhan di bawah naungan Kementerian Perhubungan. Mengingat data yang dihimpun penulis, berdiskusi soal pelabuhan, sejatinya kita masih sangat tertinggal. Bukan saja fasilitas fisik, tetapi juga jumlahnya. Saat ini jarak antarpelabuhan di negara kita masih 3.000-3.500 kilometer. Sebagai perbandingan, di Jepang jarak antarpelabuhan sudah 15 kilometer atau di Thailand jaraknya 50 kilometer. Jika Thailand sebagai rujukan, dengan panjang garis pantai kita yang 100 ribu kilometer, mestinya kita memiliki dua ribu-an pelabuhan. Jadi, kita masih sangat kekurangan pelabuhan. Tapi, biarlah itu menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Ada beberapa catatan penting, bahwa persoalan pelabuhan di Indonesia, masalah terbesar adalah regulasi yang tumpang tindih. Bicara regulasi, ada kemungkinan perhatian kita terpusat kepada isu dwelling time. Artinya, kita masih memandang persoalan pelabuhan di Indonesia hanya dari sudut pandang Jakarta. Hampir mayoritas pemerintah daerah menganggap pelabuhan sebagai sumber penerimaan. Contohnya, Pelabuhan Dumai, tempat mengekspor minyak mentah dan CPO. Devisa pun masuk ke pemerintah pusat dari pelabuhan ini, dan Pemerintah Kota Dumai menginginkan devisa tersebut masuk ke kas daerah. Kemudian, pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah tentang pengelolaan pelabuhan. Intinya, mereka ingin pengelolaan pelabuhan berada di bawah kewenangan pemerintah daerah, bukan Kementerian Perhubungan. Sengketa itu, bahkan masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah kota dan pemerintah kabupaten, yang tergabung dalam asosiasi, melakukan judicial review atas aturan pemerintah pusat. Mahkamah Konstitusi mengabulkan judicial review tersebut. Maka, jadilah kewenangan pengelolaan pelabuhan pindah ke daerah dan tak jarang tumpang tindih dengan aturan-aturan lainnya yang berlaku standar secara global. Selanjutnya, persoalan konektivitas logistik sebagai kunci dalam pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Konektivitas diciptakan melalui infrastruktur fisik maupun hubungan perdagangan. Membangun infrastruktur fisik merupakan syarat penting dalam menciptakan konektivitas, tetapi tidak dengan sendirinya akan memberikan dampak ekonomi. Dampak ekonomi baru akan muncul saat infrastruktur maupun hubungan dagang dapat dibangun. Dampaknya akan lebih besar apabila disertai dengan kemudahan dari sisi transportasi, pengurusan dokumen, sistem pembayaran, dan didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia yang memadai. Sementara, amatan penulis, perubahan konektivitas cukup drastis akan terjadi antarnegara di sekitar Sungai Mekong dengan dibukanya sejumlah akses darat yang menghubungkan Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, dan Vietnam. Akses darat tersebut akan membawa perubahan konektivitas dan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat di negara-negara tersebut. Negara-negara kawasan Sungai Mekong membentuk kesepakatan kerja sama dengan wadah yang disebut Greater Mekong Subregion (GMS). Posisi Myanmar dengan penduduk sekitar 54 juta akan menjadi salah satu negara yang mengubah banyak konstelasi ekonomi ASEAN di masa mendatang. Pertumbuhan perdagangan ekspor/impor Myanmar yang di atas 20 persen merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Saat ini Myanmar membangun pelabuhan yang cukup besar di Dawei. Pelabuhan ini, akan terhubung darat dengan Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Kedalamannya yang direncanakan sekitar 20 meter akan mampu menerima kapal yang sangat besar. Posisinya yang strategis akan dengan mudah menarik banyak perusahaan pelayaran untuk melakukan bongkar muat di sana. Bagi muatan yang menuju atau berasal dari Myanmar, Thailand, dan beberapa negara sekitarnya, tentu akan lebih efisien baik dari biaya maupun waktu untuk melakukan bongkar muat di sana ketimbang melalui Singapura atau di Malaysia. Jika ini benar menjadi kenyataan, arus kapal besar dari Samudra Atlantik yang melewati Selat Malaka akan berkurang drastis di masa yang akan datang. Dengan kata lain, dominasi pelabuhan Singapura sebagai pelabuhan transshipment utama di Asia Tenggara akan berkurang di masa mendatang. Dalam rangka meningkatkan konektivitas antarnegara ASEAN, berbagai inisiatif telah dilakukan. Salah satunya adalah pembuatan rencana strategis konektivitas negara-negara anggota ASEAN. Beberapa pelabuhan utama seperti Laem Chabang di Thailand, Tanjung Priok dan Tanjung Perak di Indonesia, Ho Chi Minh dan Da Nang di Vietnam, Klang di Malaysia, Manila di Filipina, dan pelabuhan Singapura adalah sebagian pelabuhan kunci yang menjadi simpul-simpul konektivitas maritim saat ini. LANTAS, BAGAIMANA DENGAN PELABUHAN CIREBON? Sebagai salah satu cabang dari Pelabuhan Indonesia II (Persero) yang berada di wilayah Cirebon, pintu gerbang perekonomian Jawa Barat dan merupakan pelabuhan alternatif bagi Pelabuhan Tanjung Priok, tentu ingin kembali kepada masa kejayaan pada tahun 1865. Saat itu, pemerintahan kolonial Belanda, memperluas pembangunan kolam pelabuhan dan pergudangan. Tentunya, Pelabuhan Cirebon ingin memimpin persaingan bukan sekadar infrastruktur megah dan modern, melainkan juga dapat mengelola proses bisnis secara cepat dan efisien. Menjadikan pelabuhan sebagai service agent, serta memiliki hubungan baik dengan perusahaan pelayaran dunia maupun dengan pelabuhan internasional lainnya di seluruh dunia. Oleh karena operasi di pelabuhan hampir selalu melibatkan pemerintah sebagai pemangku kepentingan utama, sudah bisa dipastikan bahwa pelabuhan yang kompetitif adalah pelabuhan yang didukung pemerintahan yang bersih, kuat, dan terampil dalam menyederhanakan birokrasi. Sebagaimana sambutan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero), Bapak Elvyn G Masassya, yang disampaikan General Manager Cabang Pelabuhan Cirebon, Solikhin; “Seperti kata orang bijak, peringatan hari kelahiran ini semestinya merupakan momentum untuk melakukan refleksi, instropeksi dan mematangkan komitmen untuk menjadi lebih baik di usia yang bertambah.” Dirgahayu Ke-24 Pelabuhan Indonesia “Cinta IPC untuk Negeri.” (*) *) Penulis, Wartawan tinggal di Cirebon. Catatan ini merupakan Refleksi 24 Tahun Pelabuhan Indonesia.
Mimpi Pelabuhan dari Cirebon
Senin 05-12-2016,23:33 WIB
Editor : Husain Ali
Kategori :