Jenis Gempa Mirip di Jogja, Ada Susulan, tapi Melemah

Kamis 08-12-2016,10:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

KEPALA Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono menuturkan dua sampai tiga hari ke depan masih akan terjadi gempa susulan di sekitar pusat gempa Pidie Jaya. Namun dia meminta masyarakat tetap tenang dan tidak terpengaruh isu-isu yang menyesatkan. “Sampai tadi malam pukul 18.11 terjadi 23 kali gempa susulan. Gempa paling akhir berkekuatan 3,5 SR,” tuturnya. Namun dari sisi kekuatan daya guncangnya, menunjukkan tren pelemahan. Tren pelemahan ini membuat Daryono tenang. Sebab mengindikasikan tidak ada lagi potensi gempa yang lebih besar. Menurutnya gempa susulan ini sangat wajar mengiringi gempa yang dipicu patahan. Sebab di titik patahan, akan terjadi patahan lanjutan yang berbentuk garis lurus.  Daryono menuturkan titik gempa di Pidie Jaya berada di tanah yang gembur. Sehingga memiliki dampak meningkatkan daya guncangnya. Di lapisan permukaan lokasi gempa, merupakan tanah berpasir yang lunak. Sebaliknya ketika pusat gempa berada di tanah yang mengandung batu, guncangannya akan teredam. Menurut dugaan Daryono gempa akibat patahan di Pidie Jaya itu memanjang antara daerah Samalanga dan Sipopok. Dia menjelaskan gempa yang diakibatkan oleh patahan memiliki daya magnetudo cenderung lebih kecil ketimbang gempa dari tumbukan lempeng. Daryono menuturkan wilayah yang berpotensi mengalami gempa akibat tumbukan lempeng ada di laut bagian barat pulau Sumatera. Sementara untuk lokasi gempa yang dipicu oleh patahan, sangat sulit untuk diprediksi. Dia menjelaskan gempa di Pidie Jaya pagi kemarin sama dengan kejadian gempa bumi di Jogjakarta pada 2006 lalu. Saat itu gempa mengguncang Jogjakarta dengan kekuatan 6,4 SR dengan pusat gempa di kedalaman 11 km. “Pusatnya sama-sama di daratan,” jelasnya. Namun dengan kepadatan pemukiman di Jogjakarta, saat itu gempa bumi memakan korban hingga enam ribu orang lebih. Daryono menuturkan dampak gempa bumi di Pidie Jaya adalah guncangan kuat yang dirasakan di daerah Busugan, Meukobrawang, Pangwabaroh, Maukopuue, Tanjong, Meukorumpuet, Pateraja, Angkieng, dan Pohroh. Guncangan itu berada pada skala intensitas III SIG-VI MMI. Jika ditinjau dari kedalapan pusat gempa, gempa bum iini merupakan gempa bumi jenis dangkal akibat aktivitas sesar lokal. Dari peta tataan tektonik Aceh, tampak bahwa di zona gempa terdapat sesar mendatar (strike-slip fault). Dugaan kuat sesar akit yang menjadi pembangkit gempa adalah sesar Samalanga-Sipopok Fault. REKAYASA MANUSIA Sementara mantan kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Surono mengatakan peristiwa bencana gempa bumi di Pidie Jaya harus menjadi pelajaran buat semuanya. Khususnya bagi masyarakat yang tinggal di daerah-daerah rawan bencana. Baik itu bencana gempa bumi, tanah longsor, atau gunung berapi. Khusus untuk gempa bumi, Surono membuktikan bagaimana bahayanya untuk Indonesia. Dia mengatakan dalam kurun 2010-2011 di seluruh dunia terjadi 12 kali gempa dengan korban lebih dari seribu orang. Nah dari 12 gempat dahsyat itu, empat di antaranya terjadi di Indonesia. Yakni di Aceh yang berujung tsunami (2004), di Nias (2005), Jogjakarta (2006), dan Padang (2009). “Kalau diperhatikan, tiga dari empat bencana hebat di Indonesia pada kurun waktu itu, semuanya ada di pulau Sumatera,” katanya kemarin. Surono mengatakan alam tidak bisa direkayasa. Selain itu setiap kejadian gempa bumi atau bencana alam lain, itu bukan berarti alam murka dan ingin membunuh manusia. Menurutnya alam sudah ada lebih dahulu ketimbang manusia. Sehingga manusia itu tamu sedangkan alam tuan rumahnya. “Tamu tidak bisa mengatur tuan rumah,” jelasnya. Yang bisa dilakukan oleh manusia adalah mengenali hal positif dan negatif dari alam. Dia mengatakan di daerah yang rawan bencana, itu umumnya ideal untuk ditempati. Diantaranya lokasi yang memiliki sesar aktif, tanahnya subur. Kemudian daerah pegunungan juga dingin dan subur. Lalu di daerah yang lawan longsor, juga memiliki kandungan air tanah melimpah. Pria yang akrab disapa Mbah Rono itu mengatakan, yang perlu ditekankan adalah bagaimana manusia mengenali bahwa di balik kesuburan alam itu ada potensi bencana yang tidak bisa dihindari. Dia berharap materi-materi mitigasi bencana diajarkan mulai dari tingkat SD. Menurut Surono kejadian gempa bumi di Jepang tidak sehebat di Indonesia. Namun di Jepang masyarakatnya memiliki kesadaran tinggi untuk mengerti alamnya. Sementara di Indonesia, dia pernah ditolak oleh kepala daerah saat menawarkan materi pelatihan mengantisipasi bencana. “Katanya kalau meninggal tertimpa bangunan itu sudah waktunya,” jelas Surono. Padahal dengan mitigasi bencana yang bagus, masyarakat bisa menekan seminimal mungkin potensi korban jiwa. Terkait materi-materi teknis seperti bangunan ramah gempa dan arsitektur lainnya, menurut dia sudah ada tinggal dibaca. Yang jadi tantangan adalah bagaimana masyarakat Indonesia menaruh perhatian untuk membaca dan mempelajarinya. “Daerah yang rawan bencana, tidak mungkin dikosongkan dari manusia,” pungkas dia. (wan)

Tags :
Kategori :

Terkait