Pemkot Cirebon Hapus Subsidi SMA/SMK, Sekolah Siap-siap Tarik Iuran

Rabu 11-01-2017,14:30 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

CIREBON- Setelah beralih ke provinsi, sekolah tingkat SMA/SMK seperti kehilangan arah. Beberapa pejabat disdik di wilayah III Cirebon bahkan enggan menanggapi peralihan ini, apalagi terkait anggaran dan sekolah gratis. Semua urusan SMA/SMK sudah menjadi kewenangan Pemprov Jabar. Untuk tingkat Kota Cirebon, peralihan kewenangan ke provinsi, juga berdampak pada para siswa. Diakui, sebelum beralih ke provinsi, sejatinya SMA/SMK negeri di Kota Cirebon tetap memungut iuran. Hanya saja, ada subsidi dari Pemkot Cirebon untuk menggratiskan biaya pendidikan warganya. Memungut iuran untuk biaya pendidikan diperbolehkan aturan. Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA/SMK Negeri Kota Cirebon Dr H Suroso MPd mengatakan selama ini tidak ada sekolah gratis di tingkat SMA/SMK negeri di Kota Cirebon. Hanya saja, ada subsidi dari Pemkot Cirebon bagi warganya yang sekolah di SMA/SMK negeri Kota Cirebon. Untuk warga luar Kota Cirebon, tetap membayar iuran setiap bulan. “Selama ini sebenarnya tak gratis, tetapi ada subsidi dari pemerintah daerah. Ini berbeda. Kalau gratis, tanpa subsidi juga tidak boleh ada iuran,” ucapnya, Rabu (11/1). Setelah diambil alih provinsi, Suroso memastikan seluruh sekolah SMA/SMK Negeri di Kota Cirebon tetap akan mengambil kebijakan iuran kepada siswa. Di samping secara aturan diperbolehkan, biaya pendidikan dan penunjangnya tidak diberikan secara penuh oleh provinsi. Di mana, selama ini ada subsidi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari APBD Kota Cirebon Rp1.240.000 per siswa per tahun. Setelah diambil alih provinsi, maka besaran yang diterima dari provinsi hanya Rp700 ribu per siswa per tahun. Dengan kondisi tersebut, kata Suroso, otomatis ada kekurangan pembiayaan untuk kegiatan belajar mengajar di sekolah. Karena itu, lanjutnya, kekurangan pembiayaan diambil dari iuran siswa yang besarannya ditentukan melalui rapat bersama antara civitas akademika di sekolah. Mulai dari kepala sekolah, para guru, komite sekolah, sampai orang tua siswa. Dengan pengurangan besaran dana BOS tersebut, Suroso yakin sekolah tidak akan mungkin mengurangi kualitas maupun kuantitas program pendidikan. Karena seharusnya pemerintah mendukung peningkatan program pendidikan melalui keberpihakan anggaran yang ada. Kepala Dinas Pendidikan Kota Cirebon Drs H Jaja Sulaeman MPd mengatakan selama ini sekolah SMA/SMK Negeri di Kota Cirebon hampir seluruhnya gratis. Di mana, Pemkot melalui APBD Kota Cirebon memberikan subsidi dana BOS sebesar Rp1.240.000 per siswa per tahun. Jumlah itu selama ini cukup untuk membiayai proses belajar mengajar di sekolah. Dengan kondisi saat ini yang hanya mendapatkan Rp700 ribu dari BOS setelah diambil alih kewenangannya, ada kekurangan Rp540 ribu jika ingin program pendidikan seperti sebelumnya. “Kami sudah tidak boleh lagi memberikan anggaran APBD untuk SMA/SMK negeri. Karena kewenangan ada di provinsi,” ucapnya kepada Radar, Selasa (10/1). Untuk itu, Jaja Sulaeman menilai ada dua alternatif pilihan bagi sekolah SMA/SMK Negeri di Kota Cirebon terkait pelaksanaan kegiatan program belajar mengajar. Yaitu, menghilangkan sebagian program agar anggaran BOS Rp700 ribu itu bisa maksimal. Atau alternatif lain, dengan mengambil iuran dari siswa yang besarannya disepakati bersama komite sekolah dan pihak orang tua siswa. Sejauh ini, lanjut Jaja Sulaeman, Kota Cirebon sudah tinggi dalam mengalokasikan anggaran APBD untuk pendidikan. Dengan penarikan kewenangan SMA/SMK Negeri ke provinsi, seharusnya menjadikan kualitas pendidikan di tingkat SMA tersebut menjadi lebih baik. Termasuk dukungan penganggarannya. Seperti diberitakan, sejak 1 Januari 2017, wewenang pemerintah kabupaten/kota atas pengelolaan sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK) berakhir. Sayang, di banyak daerah perubahan kewenangan tersebut juga menandai berakhirnya fasilitas sekolah gratis, termasuk subsidi seperti di Kota Cirebon. Berdasar data neraca pendidikan daerah (NPD) Kemendikbud terbitan 2017, banyak pemerintah provinsi sebagai penerima kewenangan pengelolaan SMA/SMK yang baru memiliki anggaran pendidikan yang sangat minim. Akibatnya, ketika mendapat tanggung jawab mengelola SMA dan SMK, kas pemprov langsung kedodoran. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menegaskan, kesiapan untuk alih kelola tersebut dipersiapkan sejak 2016. Salah satunya dilakukan dengan menyusun berbagai sistem penunjang kelancaran kebijakan UU Nomor 23 Tahun 2014 tersebut. ”Di awal itu kami sudah melakukan pendataan dengan menata sejumlah aset sekolah yang ada di 27 kabupaten dan kota,” jelas Aher –sapaannya– ketika ditemui di Gedung Sate, Senin (9/1). Selain itu, penataan kepegawaian Pemprov Jabar, baik struktural maupun nonstruktural, sudah dilakukan. Dengan begitu, secara teknis tinggal pelaksanaannya. Aher tidak menampik bahwa alih kelola tersebut cukup berat. Sebab, peralihan itu juga berdampak pada status kepegawaian guru. Terlebih lagi, jumlah guru di Jabar saat ini terbilang besar. Dia memerinci, setelah didata, ada 27.277 pegawai. Jumlah itu terdiri atas 24.292 guru, 473 pengawas sekolah, dan 2.512 tenaga administrasi sekolah. (ysf/JPG)

Tags :
Kategori :

Terkait