Mama Jana, Maestro Tarling Klasik Cirebonan (2); Sedih, Tergerus oleh Musik Dangdut

Sabtu 21-01-2017,01:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Di era Mama Jana (1950-1980), tarling Cirebon berkembang sangat cepat. Kreasinya dalam bermusik juga memantik inovasi dalam pementasan panggung. Tidak hanya melantunkan nyanyian oleh wiranggana (sinden perempuan) dan wiraswara (sinden laki-laki), tarling juga menampilkan cerita/lakon. Laporan: FOLLY AKBAR, Cirebon  DRAMA atau lawakan. Karena kemasan baru tarling itulah, generasi Mama Jana kerap disebut sebagai generasi pembaharu tarling Cirebon. ’’Tapi, yang khas adalah lagunya. Sedangkan dramanya berasal dari kisah keseharian masyarakat Cirebon,” imbuhnya. Hingga era 80-an, tarling klasik masih digandrungi banyak masyarakat Cirebon dan Indramayu. ”Jari saya sampai lecet-lecet karena harus memetik senar kencang-kencang agar penonton yang agak jauh bisa mendengar,” kenangnya. Kala itu, gitar listrik belum banyak dipakai untuk pertunjukan tarling. Bahkan, bukan hanya di Kesultanan Cirebon (Indramayu, Majalengka, Kuningan) wilayah penampilan kelompok Jana yang saat itu bernama Padubae. Pada masa keemasannya, pesona tarling Cirebonan terdengar hingga ke berbagai daerah di Indonesia. Sanggar Padubae yang menjadi tempatnya bernaung pun, sering mendapat tanggapan hingga ke mana-mana. Namun, masa keemasan itu, rupanya, tidak berlangsung lama. Pada pertengahan 90-an sampai 2000, tarling mulai tergerus kesenian ’’modern’’, terutama musik dangdut. Imbasnya, panggilan manggung yang diterima Jana dan sanggarnya semakin sedikit. Kelompok-kelompok tarling pun satu per satu mulai berguguran. Yang enggan ’’kukut’’ mulai mencoba peruntungan dengan memadukan tarling dengan musik dangdut. Sayang, dalam prosesnya, ’’roh’’ tarling justru tenggelam. Akibatnya cukup fatal. Kini tidak sedikit yang salah kaprah dalam memahami tarling yang sesungguhnya. ’’Orang sekarang pahamnya tarling itu ya dangdut pantura Cirebonan. Padahal, itu bukan tarling lagi. Karena nadanya bukan khas Cirebonan, tapi sudah Melayu,” ujarnya. Memudarnya keinginan generasi muda untuk belajar, ditambah kaburnya pemaknaan masyarakat terhadap musik tarling, membuat Mama Jana gusar. Tak mau tarling klasik punah, dia berupaya sekuat tenaga untuk terus melestarikannya. Bahkan, hingga rekan-rekan musisi sebayanya di Sanggar Padubae meninggal dunia, dia enggan tutup buku pada tarling. Kini, bersama beberapa muridnya, dia menghidupkan Sanggar Candra Kirana yang dibentuknya pada 2006. Untuk menambah daya tarik, Mama Jana memberikan beberapa sentuhan dengan menambah alat musik. Misalnya, kebluk atau tutukan, kendang, dan gong. Jadilah, personelnya menjadi sembilan orang. Mereka adalah Enda Prandesa (kendang), Endang Suparman (kecrek), Goyot Maksudi (tutukan), Kadri (gitar kedua), Wirsyad (gong), Gorek Sadiya (suling), Nani Sumarni (sinden perempuan), Kang Ali (sinden laki-laki), dan Mama Jana (gitar pertama). Selain itu, pria yang pernah bekerja sebagai tukang bangunan tersebut memberanikan diri mengajarkan kemahirannya melalui jalur formal. Beberapa sekolah SMA di Cirebon pun diajak untuk terlibat melestarikan budaya leluhurnya itu. Namun, dalam praktiknya, dia mengakui sulit untuk berjalan mulus mengajarkan tarling kepada anak-anak sekolah. ’’Yang diajari kelas 2, begitu naik kelas 3, ditinggal. Jadi susah juga,” tuturnya dengan wajah sedih. Meski demikian, ruang-ruang kelas tersebut setidaknya mampu menjadi wahana generasi muda untuk mengenal keaslian tarling Cirebon. Di sanggar Candra Kirana, tantangannya pun tak kalah pelik. Perubahan zaman, yang juga mengevolusi dunia musik, membuat tarling klasik semakin terpojok. Parahnya, pemerintah daerah yang semestinya mengayomi tak mau tahu. ”Di acara-acara kedaerahan, kami sudah jarang diminta tampil. Mereka malah menyewa band atau dangdut,” terangnya dengan mata kosong. Untung, kini dia memiliki seorang anak muda yang intens berguru kepadanya. Namanya Arif Muarif. Hampir saban waktu, pemuda yang juga penikmat seni tersebut belajar tarling. ”Saya ingin ikut melestarikan budaya asli Cirebon ini,” ujar pemuda 21 tahun itu. (*/habis)

Tags :
Kategori :

Terkait