Antasari Siap Manggung kalau Dipercaya Jokowi

Kamis 26-01-2017,09:45 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

JAKARTA- Upaya Antasari Azhar mencari keadilan secara utuh akhirnya berbuah. Presiden Joko Widodo memberikan grasi untuk mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini. Dengan demikian, Antasari kini memiliki hak sipil dan hak politik seperti warga negara umumnya. Dia pun tidak perlu lagi rutin melapor ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Dewasa Pria Tangerang. Grasi yang dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) tersebut diterima Antasari kemarin (25/1). Dalam surat itu, diketahui bahwa Presiden Jokowi menandatangani pemberian pengampunan itu pada Senin (16/1) atau sepekan lalu. “Batas maksimal jawaban Presiden (atas pengajuan grasi) itu 20 Januari,” ujar kuasa hukum Antasari, Boyamin Saiman kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group) kemarin. Sebagai catatan, pada Februari 2010 Antasari dihukum 18 tahun penjara dan dinyatakan bersalah atas kasus tewasnya Nasrudin Zulkarnaen. Dia dianggap melakukan pembujukan pembunuhan terhadap Direktur PT Rajawali Putra Banjaran tersebut. Sejak ditahan, Antasari mendapat remisi 4,5 tahun. Dia mestinya menjalani masa tahanan hingga 2022 mendatang. Pihak Antasari mengajukan grasi ke Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Agustus 2016. Selang tiga bulan kemudian, permohonan itu sampai di meja Presiden. Berikutnya, pada 10 November 2016, pria kelahiran Bangka Belitung itu dinyatakan bebas bersyarat dan wajib melapor ke lapas setiap sebulan sekali. Boyamin mengatakan, presiden memberikan grasi maksimal untuk Antasari. Yaitu pengurangan sisa masa tahanan 6 tahun dan menghapus bebas bersyarat. Dengan demikian, hak politik dan hak sebagai warga negara sudah melekat kembali. Seperti bisa mencalonkan diri sebagai anggota DPR, kepala daerah hingga ditunjuk sebagai menteri atau pimpinan lembaga negara oleh presiden. “Kalau tidak ada grasi, Pak Antasari akan menjadi pengangguran sampai 2022, karena tidak bisa bekerja, tidak punya hak sipil perdata, tidak bisa pinjam bank, tidak bisa menjadi pengurus perusahaan,” ungkapnya. Grasi tersebut juga pengakuan dari presiden bila Antasari bukan pelaku pembunuhan seperti keputusan pengadilan 2010 lalu. “Itu (pengakuan) yang utama,” tuturnya. Boyamin membantah pemberian grasi tersebut sarat dengan kepentingan politik. Menurutnya, hal tersebut  murni subjektivitas presiden atas pertimbangan MA. Dia menjelaskan, MA umumnya memiliki tiga pilihan dalam menindaklanjuti permohonan grasi. Yakni, setuju, menolak atau menyerahkan sepenuhnya ke presiden. “Dan pertimbangan tersebut  (MA) sifatnya rahasia,” bebernya. Antasari pun sudah siap terjun ke dunia pemerintahan bila ditunjuk presiden. Boyamin mengungkapkan, latarbelakang Antasari yang pernah menjabat sebagai ketua KPK dan penegak hukum di kejaksaan sangat mungkin menjadi pertimbangan positif kepala negara. “Kalau mengabdi untuk Negara ya kenapa tidak,” imbuhnya. Sementara itu, Jubir Presiden Johan Budi mengatakan grasi yang diberikan kepada Antasari Azhar didasarkan pada pertimbangan MA. Dia menegaskan, grasi berbentuk Keppres itu ditandatangani pada 16 Januari. “Isi Keppres adalah mengurangi hukuman pidana dari 18 tahun menjadi 12 tahun. Artinya ada pengurangan pidana selama 6 tahun,” ujarnya. Tapi, Johan tidak tahu detail pertimbangan MA yang dijadikan acuan keppres tersebut. Yang jelas, grasi itu bisa mengurangi jumlah hukuman. Misalnya hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Nah, dalam kasus Antasari ini pengurangan hukuman adalah enam tahun. “Permohonan grasi Pak Antasari panjang lebar isinya, kemudian presiden atas permohonan grasi itu meminta pertimbangan kepada Mahkamah Agung. Dari pertimbangan yang panjang lebar juga presiden menerbitkan keppres itu,” terang mantan pimpinan KPK ini. Disisi lain, Yusril Ihza Mahendra menyebut sudah sewajarnya grasi itu diberikan kepada Antasari. Namun, dia menilai grasi yang diberikan presiden bukan grasi demi hukum, melainkan grasi biasa atas permohonan terpidana. Grasi demi hukum dikenal dalam ilmu hukum sebagai tindakan yang dilakukan oleh presiden. Bukan sebuah intervensi kepada badan peradilan. “(Grasi) satu-satunya cara yang dapat ditempuh Presiden untuk membebaskan seseorang dari hukuman, karena menyadari adanya ketidakadilan dalam proses peradilannya,” ujar pakar hukum tata negara ini. Kendati demikian, Yusril tetap menghargai grasi tersebut. “Namun saya menganggap grasi itu terlambat diberikan,” papar Yusril. Yusril menerangkan, penilaian lambat atas pemberian grasi itu lantaran Antasari saat ini sudah diputuskan bebas bersyarat setelah menjalani lebih separuh dari pidananya. “Waktu selama itu, telah memberikan penderitaan yang luar biasa kepada beliau (Antasari, red),” imbuhnya. (tyo/jun)

Tags :
Kategori :

Terkait