INDRAMAYU–Pekerja Pertamina yang tergabung dalam Serikat Pekerja Pertamina Bersatu Balongan (SPPBB) mengaku kecewa, dengan upaya pengkerdilan Pertamina dan privatisasi dalam rencana proyek pengembangan kilang atau Refinery Development Master Plan (RDMP). Karena itu pihak SPPBB setempat mengajukan sejumlah tuntutan kepada Pemerintah. Tuntutan tersebut di antaranya meminta presiden membatalkan kesepakatan kerja sama proyek pengembangan kilang/Refinery Development Master Plan (RDMP) melalui segala mekanisme yang merugikan negara. Presiden juga harus menerbitkan peraturan presiden yang menugaskan pembangunan kilang baru sepenuhnya dilakukan oleh Pertamina sebagai penugasan negara. Karena dengan konsep tersebut Pertamina akan dengan mudah mendapatkan dukungan permodalan. Kemudian minta kepada Kementerian Perhubungan tegas bersikap dengan menunjukkan keberpihakan dan dukungan penuh terhadap perusahaan milik negara (Pertamina), dalam bisnis avtur dengan mensyaratkan jika pihak asing/swasta ingin berbisnis avtur di Indonesia maka diharuskan membangun kilang untuk mengolah avtur di Indonesia dan distribusi tidak hanya pada derah-daerah tertentu (basah) saja. \"Sebagai BUMN pengelola ketahanan energi di NKRI, salah satu tugas Pertamina sejak puluhan tahun lalu adalah menyediakan dan menyalurkan avtur ke seluruh pelosok negeri. Khusus untuk Pertamina RU VI Balongan, bahkan kini telah menyelesaikan proyek BTP Avtur tahap I untuk suplai Bandara Soeta dan Halim Perdana Kusumah,\" kata Ketua Umum SPPBB, Tri Wahyudi, didampingi Sekjen SPPBB, Wawan Darmawan, Kasie Hukum dan Advokasi M Sutan Ali Akbar, dan Nunung Ahmudiarto (bidang Kesekertariatan), saat menggelar jumpa pers di Sekretariat SPPBB Kabupaten Indramayu. Pertamina RU VI Balongan juga terus berupaya meningkatkan produksi Avtur dengan proyek BTP Avtur tahap II yang bertujuan untuk persiapan Bandara Internasional Kertajati guna menjaga suplai dan distribusi avtur demi menunjang ketahanan energi. Namun saat ini, ada upaya perusahaan asing/swasta dengan dukungan pemerintah untuk melakukan distribusi/berbisnis avtur. \" Hanya saja yang dilakukan itu pada bandara-bandara besar/daerah basah seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makassar, Manado, Balikpapan dan Batam, \" terangnya. Apabila pemerintah tetap membuka dan memberi kesempatan kepada pihak asing/swasta untuk berbisnis avtur hanya pada bandara-bandara ‘basah’, maka pemerintah pun harus tidak melarang Pertamina ketika menghentikan bisnis dan penyaluran avtur di bandara-bandara kecil di seluruh NKRI. Sebab SPPBB memandang hal itu merupakan usaha para pemburu rente yang terus berupaya mengkerdilkan Pertamina di sektor hulu, distribusi dan hilir. Sementara di pengolahan, lanjutnya, sudah terlihat dimulainya proses unbundling yang tidak sejalan dengan rencana arah pengembangan bisnis migas. Seperti rencana proyek pengembangan kilang /RDMP dalam bentuk kerja sama pendanaan melalui skema yang menyertakan aset perusahaan sebagai modal. \"Atas semua kondisi itu, kami SPPBB sebagai pekerja pengolahan/kilang menyatakan prihatin, marah dan menolak,\" tegas Tri. Diungkapkannya, aset kilang Pertamina yang 100 persen milik negara akan tergadaikan dan terancam terlikuidasi jika dilakukan dengan mekanisme kerja sama tersebut. Selain itu, hilangnya entitas Pertamina sebagai kilang milik negara dan beralih pada tangan swasta/asing. Pasalnya kemandirian Pertamina sebagai BUMN dalam pengelolaan ketersediaan BBM untuk masyarakat juga akan hilang. Ditambah lagi, adanya kepentingan asing/pemburu rente dalam pengelolaan perusahaan milik negara yang punya peran strategis dalam pemenuhan kebutuhan BBM di Indonesia. \"Kami, SPPBB sangat mendukung program pengembangan kilang melalui proyek RDMP sebagai tuntutan pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri. Namun, harus dilakukan dengan menggunakan sumber dana dalam negeri (mandiri),\" pungkasnya. (oet)
Pekerja Pertamina Tolak Privatisasi Development Master Plan
Minggu 26-02-2017,17:37 WIB
Editor : Dedi Haryadi
Kategori :