Kader Golkar-PDIP Mendominasi

Sabtu 29-09-2012,08:34 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Izin Pemeriksaan dari Presiden  untuk Kepala Daerah Bermasalah JAKARTA - Izin tertulis dari presiden kini tak diperlukan lagi untuk memeriksa kepala daerah/wakil kepala daerah yang bermasalah hukum atau terlibat korupsi. Pemerintah menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam judicial review pasal 36 Undang-Undang (UU) Pemda tersebut. \"Mudah-mudahan dengan keputusan ini proses penyelidikan dan penyidikan kepala daerah dapat dilaksanakan lebih sederhana dan cepat,\" kata Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam di kantornya kemarin (28/9). Namun, Dipo menolak jika selama pasal 36 UU Pemda berlaku, prosedur izin itu disebut sebagai hambatan proses penyelidikan atau penyidikan. Kata dia, presiden tetap berkomitmen memberantas korupsi tanpa tebang pilih dalam penerbitan izin pemeriksaan. \"Kami lihat dulu setiap ada permohonan izin pemeriksaan. Jangan sampai ada kesalahan,\" ujar dia. Dipo lantas membeberkan data izin pemeriksaan yang pernah diterbitkan sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. Sejak Oktober 2004 hingga September 2012, 176 izin pemeriksaan untuk pejabat negara diterbitkan Presiden SBY. Perinciannya, 82 izin diajukan kejaksaan, 93 izin oleh Polri, dan 1 izin oleh komandan Puspom. Pejabat yang bermasalah hukum dengan latar parpol mendominasi dengan jumlah mencapai 92 persen. Urutannya, Golkar yang paling banyak dengan jumlah 64 orang (36,36 persen). Kemudian ada PDIP dengan 32 orang (18,18 persen); Demokrat (20 orang/11,36 persen); PPP (17 orang/3,97 persen); PKB (9 orang/5,11 persen); PAN (7 orang/3,97 persen); PKS (4 orang/2,27 persen); PBB (2 orang/1,14 persen); PNI Marhaen, PPD, PKPI, dan Partai Aceh (masing-masing 1 orang/0,56 persen); birokrat/TNI (6 orang/3,40 persen); independen/nonpartai (8 orang/4,54 persen); serta gabungan partai (3 orang/1,70 persen). Dari jumlah tersebut, 131 orang atau sekitar 74,43 persen terkait dengan kasus tindak pidana korupsi. Sementara itu, 45 orang (25,29 persen) berkaitan dengan tindak pidana lainnya, seperti penipuan, penggelapan, pemalsuan, perbuatan tidak menyenangkan, dan izin pertambangan. Jika dilihat dari posisinya, izin terbanyak diberikan untuk pemeriksaan bupati/wali kota, yakni 103 izin (58,521 persen). Selanjutnya, berturut-turut adalah wakil bupati/wakil wali kota dengan 31 izin (17,61 persen), anggota MPR/DPR (24 izin/13,63 persen), gubernur (12 izin/6,81 persen), wakil gubernur (3 izin/1,70 persen), anggota DPD (2 izin/1,13 persen), dan hakim MK (1 izin/0,56 persen). Dipo mengungkapkan, permohonan izin tertulis dari presiden untuk pemeriksaan kepala daerah cenderung meningkat menjelang diselenggarakannya pilkada. Karena itu, dia mengingatkan agar putusan MK yang membatalkan diperlukannya izin tersebut tidak disalahgunakan. \"Kemudahan proses penyelidikan dan penyidikan kepala daerah jangan disalahgunakan. Terutama secara sengaja digunakan untuk tujuan-tujuan politik menjelang pilkada,\" tuturnya. Seperti diketahui, MK menyatakan bahwa pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) UU 32/2004 tentang Pemda tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 36 ayat 1 berbunyi penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan atau wakilnya dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden. Sementara itu, pasal 36 ayat 2 berbunyi dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. MK memutus bahwa ayat 1 tidak lagi bisa digunakan karena bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan ayat 2 yang sebelumnya mengatur 60 hari persetujuan untuk penahanan dipersingkat jadi 30 hari saja. Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golkar Bambang Soesatyo menanggapi datar langkah Dipo merilis data kepala daerah kader partai yang bermasalah hukum. Menurut dia, ditempatkannya partainya di urutan teratas, disusul PDIP dan Demokrat, sama sekali tidak akan memengaruhi persepsi publik bahwa istana tetap merupakan episentrum korupsi. Sebab, menurut Bambang, tesis itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Hal yang sama pernah diungkap Denny Indrayana sebelum yang bersangkutan diangkat sebagai staf khusus presiden. \"Dan persepsi itu tidak berubah hingga saat ini,\" cetus Bambang. (fal/dyn/c9/agm)

Tags :
Kategori :

Terkait