Tak Ada Modal, Sepak Bola Cirebon Makin Terpuruk

Kamis 23-03-2017,15:35 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

KENAPA ya sepak bola Kota Cirebon tidak maju-maju? Pertanyaan ini mungkin telah lama berada di benak sebagian warga Kota Udang, julukan Kota Cirebon. Setidaknya, di benak mereka yang mencintai olahraga ini, baik sebagai pemain, mantan pemain, atau bagi mereka yang hanya suka menonton bola. Di tengah ingar-bingar dunia sepak bola nasional, Cirebon tetap saja tidak diperhitungkan. Klub-klub sepak bola di Kota Cirebon bukan saja kesulitan bersaing di pentas nasional, bahkan masih belum mampu bersaing di level provinsi. Memang, kompetisi sepak bola nasional telah lama dibekap permasalahan. Hal ini tidak saja merugikan klub-klub papan atas yang berlaga di kasta tertinggi. Masalah ini juga memengaruhi kiprah klub-klub semenjana yang berlaga di kompetisi amatir. Tapi, masa-masa gelap dunia si kulit bundar di negeri ini hampir saja usai. PSSI telah terbebas dari sanksi FIFA. Otoritas tertinggi sepak bola tanah air sedang mempersiapkan desain kompetisi terbaru. Mulai dari Liga-1 pengganti Liga Super Indonesia (LSI). Lalu Liga-2 pengganti Divisi Utama dan Liga-3 sebagai ajang kompetisi klub amatir pengganti Liga Nusantara. Dengan format kompetisi yang baru, sudah barang tentu publik menaruh harapan besar. Di sisi lain, klub-klub sepak bola di negeri ini pun kembali bergairah. Persebaya Surabaya yang dalam beberapa tahun terakhir terseret arus permasalahan dualisme kepengurusan, telah mampu bangkit lalu membenahi manajemen demi menyambut bergulirnya Liga-2. Demikian pula dengan PSGJ Kabupaten Cirebon yang sudah mulai membenahi manajemen untuk bisa berlaga di Liga-3. Bagaimana dengan Kota Cirebon? Tidak ada kegairahan yang meletup di kota ini. Kesibukan hanya tampak pada upaya Askot PSSI Kota Cirebon membangun tim yang nantinya akan diturunkan di ajang Babak Kualifikasi (BK) Porda Jabar XIII/2018. PSIT Kota Cirebon, klub amatir tertua yang pernah menanggung harapan besar publik Kota Udang pun tak banyak aktivitasnya. Sejarah panjang PSIT saat kompetisi sepak bola di negeri ini masih berbentuk perserikatan seakan tak berarti. Klub yang aktif sejak 1930-an ini seolah tak berdaya menghadapi perubahan zaman. Sejak PSSI Pusat mengusung format liga sepak bola semi professional, lalu profesional, PSIT tak pernah mampu bicara banyak. Di level amatir, prestasi PSIT pun tidak signifikan. Dalam dua dekade terakhir, tidak ada prestasi gemilang yang mampu dicapai. Para pemainnya pun lebih aktif bermain dalam turnamen antarkampung (tarkam). Terakhir, PSIT mengikuti kompetisi sepak bola U-17 Piala Soeratin 2016. Namun, perjalanannya terhenti di babak 16 besar Zona Provinsi Jawa Barat. Masih jauh dari impian menyentuh level nasional. Lalu, di mana sebetulnya letak permasalahan yang membekap klub sepak bola yang dibesarkan oleh M Khaelani ini? Ketua Umum PSIT, Edi Suripno SIP MSi mengatakan, persoalan PSIT adalah minimnya modal. Menurut dia, kekuatan finansial adalah faktor utama yang dibutuhkan sebuah klub di era sepak bola modern. \"Kita tidak memiliki modal yang besar untuk mengarungi kompetisi. Itu kita akui, dan memang itulah masalah utama PSIT,\" katanya. Untuk bisa melenggang dalam kompetisi sepak bola amatir di Indonesia, kata Edi, dibutuhkan biaya minimal Rp 500 juta per musim. Dan, jumlah anggaran yang dibutuhkan akan terus bertambah untuk menopang kebutuhan tim dalam level kompetisi yang lebih tinggi. \"Jangankan Rp 500 juta, untuk dapat Rp 100 juta per tahun pun kita masih kesulitan,\" keluh pria yang juga ketua DPRD Kota Cirebon. Lebih lanjut Edi menjelaskan, anggaran besar dibutuhkan sebuah klub sepak bola tidak hanya untuk membayar gaji pemain, pelatih dan seluruh komponen pendukung tim. Untuk penyelenggaraan pertandingan serta pelaksanaan program pembinaan, juga dibutuhkan biaya besar. Terlebih dalam format liga, akan ada banyak pertandingan yang dijalani, tidak hanya pertandingan di kandang sendiri tetapi juga pertandingan lawatan ke kandang lawan. \"Semua aspek perlu kita perhitungkan. Karena itu, untuk memajukan sebuah klub sepak bola, dibutuhkan peran dari banyak pihak,\" ujarnya. \"Kita perlu sponsor. Tapi menggaet pihak ketiga bukan hal mudah, apalagi berkaitan dengan dana besar. Di sinilah kita membutuhkan peran aktif pemerintah. Khususnya kepala daerah yang good will terkait sepak bola,\" imbuhnya. Saat membicarakan sepak bola Cirebon, nada frustrasi juga keluar dari Herrie Setiawan. Dia tak habis pikir kenapa sepak bola begitu sulit berkembang di kota kelahirannya. \"Hmm.. capek kalau ngobrol soal sepak bola Cirebon,\" keluh pria yang juga asisten pelatih Persib Bandung ini. Pria yang pernah bermain bersama Pelita Jaya dan Persib ini mengatakan, klub-klub sepak bola dari Kota Cirebon akan tetap terpuruk selama tidak ada niat tulus memajukannya dari warga dan pemerintah. “Gimana ya, susah saya bilangnya karena tidak ada solusi dan inisiatif dari orang-orang bola dan minimnya suport dari pemerintah,” ucapnya. Sikap skeptis tidak hanya ditunjukkan Herrie Setiawan. Salah satu legenda sepak bola nasional, Rudy William Keltjes mengungkapkan hal serupa saat melakukan lawatan ke Cirebon baru-baru ini. “Ke mana Sanija? Dulu dia itu saya yang latih. Kenapa dari Cirebon ini tidak muncul Sanija-Sanija yang baru?” tukasnya. “Sepak bola Indonesia itu memang sepak bola misterius. Kalau tidak punya banyak duit, susah sekali untuk bisa maju,” imbuh pria yang kini melatih klub Persepam Madura Utama. (ttr)

Tags :
Kategori :

Terkait