Lebih Happy atau Lebih Baik

Rabu 12-04-2017,13:00 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

\"Yang penting happy.’’ Sering sekali saya mendengar orang bicara seperti itu. Terus terang, alarm saya langsung berbunyi, dan merasa geli.

***
’’Yang penting happy.’’
Saya yakin pembaca juga sering mendengar ucapan seperti itu. Misalnya, kalau ada orang sedang makan berlebihan, misalnya makan sate sampai 50 tusuk. Kalau diingatkan bahwa itu tidak sehat, mungkin balasannya adalah: ’’Yang penting happy.’’ Misalnya, ketika ada acara gerak jalan, tapi ada yang memilih duduk-duduk santai tidak mau berkeringat terlalu banyak. Kalau dibilang kenapa tidak mau berpartisipasi seperti yang lain, mungkin jawabannya adalah: ’’Yang penting happy.’’ Ya memang tidak ada salahnya mengejar kebahagiaan. Salah satu dasar negara di Amerika saja sampai melindungi hak untuk mengejar kebahagiaan itu (in pursuit of happiness). Tapi, geli juga mendengarnya. Apalagi, orang-orang yang sering ngomong seperti itu biasanya memang tipe yang mengasyikkan. Asyik diajak nongkrong, asyik diajak ngobrol, sangat bisa menghibur. Dalam hidup saya, ada banyak kok kenalan saya yang modelnya seperti itu. Mereka sangat asyik diajak kumpul. Tapi, ketika akan melakukan sesuatu yang lebih merepotkan atau melelahkan, mereka langsung mengelak, menghindar, atau bahkan tidak menampakkan batang hidung. Lalu, saat ada yang menegur kenapa kok tidak mau ikutan, jawabannya ya seperti di atas. ’’Buat apa repot-repot? Yang penting happy.’’ Wkwkwkwk… Karena namanya teman, ya masak lalu mau dipecat jadi teman? Lagi pula, fungsi mereka memang kadang ya untuk menghibur, bukan untuk diajak repot bersama. Bukankah untuk mencapai keseimbangan, dalam sebuah grup harus ada yang serius, lalu harus ada yang berfungsi jadi badutnya? Wkwkwkwk… Karena fungsi mereka jadi penghibur, dan memang tidak pernah mau repot, maka sebenarnya yang kehilangan opportunity ya mereka sendiri. Banyak bisnis atau kemajuan terbentuk dari pertemanan. Kalau bukan teman dekat, minimal dari perasaan saling percaya, saling merasa yakin atas kemampuan dan keseriusan sang partner. Kalau sudah begitu, ya sudah, yang maunya happy saja mungkin tidak usah diajak join. Nanti kita yang repot, dan mau terus repot, tapi dianya maunya cuman happy saja. Daripada nantinya malah merusak pertemanan, dan jadinya malah tidak happy semua… *** Bicara soal happy semua, itu rasanya juga tidak mungkin. Satu lagi tipe orang yang bisa membuat alarm di kepala saya berbunyi. Yaitu, orang yang berusaha membuat semua orang happy. Sekilas, dia ini sepertinya yang paling bijak, yang paling mengutamakan semua. Dan kalau kita pikir, hatinya mungkin memang yang paling baik. Karena dia sama sekali tidak ingin ada yang marah, sedih, kecewa, dan lain-lain. Berdasar pengalaman, hukum ’’bikin happy’’ itu mungkin mirip dengan pelajaran kelas public relations (PR) waktu kuliah dulu. Di kelas PR itu, di bab pertama bukunya, yang ditekankan adalah ’’Total objectivity is impossible to attain’’. Bahwa sesuatu itu tidak mungkin seratus persen objektif. Tidak mungkin bisa seratus persen adil. Dan jangan berharap bakal bisa 100 persen seimbang. Jadi, sebenarnya kasihan teman yang selalu berusaha semua orang itu happy. Karena ending-nya justru dia yang sakit hati atau kecewa sendiri. Sebab, orang-orang di sekelilingnya ternyata tidak bisa happy semua, atau tidak bisa happy sepenuhnya. Kalau sudah begitu, lalu bagaimana? Terus terang, saya belajar banyak dari orang tua saya. Seseorang yang hidupnya telah menaklukkan begitu banyak tantangan, dan terus kuat menghadapi begitu banyak rintangan. Dulu, saat tampil di sebuah talk show televisi, saya ditanya oleh host-nya. Dia bertanya, apa pendapat saya tentang orang tua saya. Saya bilang, ayah saya itu tipe orang yang paling istimewa. Dia orang yang belum tentu membuat orang happy, tapi dia akan membuat orang jadi lebih baik. Pertama, dia bukan tipe orang yang sekadar mencari happy. Bagi dia, happy adalah proses bekerja dalam mencapai sesuatu. Kalau sudah terwujud, maka dia akan happy lagi bekerja untuk mencapai sesuatu yang lain. Begitu seterusnya. Banyak orang tidak bisa melihat, banyak orang sulit memahami, terhadap hal-hal yang dia lakukan. Banyak orang tidak memercayai, terus mengganggu, apa yang dia coba lakukan. Ironisnya, ketika yang dia lakukan tercapai, ternyata hasilnya baik untuk banyak orang. Ternyata, hasilnya membuat banyak orang lebih baik, walau mungkin tidak semua orang itu happy. Bahkan, orang yang sudah merasakan dampak positif itu pun kadang tetap tidak mau happy. Mungkin karena dia gengsi karena telanjur teriak-teriak tidak suka, sehingga harus menyembunyikan kenyataan kalau dia sebenarnya happy. Belajar dari sikap dan perilaku teman-teman, belajar dari orang tua, maka saya terus mencoba peka terhadap banyak sinyal itu. Kalau maunya hanya happy, walau mengasyikkan, dia itu bukan tipe yang bisa diajak maju bersama. Kalau maunya semua happy, walau baik hati, dia itu bukan tipe yang bisa diajak melakukan perubahan. Jangan pernah takut membuat orang tidak happy. Yang penting dalam hati kita ada niatan untuk membuat sesuatu yang lebih baik. Lebih happy belum tentu lebih baik. Lebih baik bisa membuat lebih banyak orang happy. (*)
Tags :
Kategori :

Terkait