Muslim Love Story

Rabu 10-05-2017,12:34 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

FILM romantic comedy Hollywood biasanya soal bule ganteng-cantik. Tahun ini ada pergeseran hebat. Sebuah film menuai pujian besar (dan mengocok perut), tentang cinta laki-laki muslim dan perempuan bule.

***
Semoga Anda tidak terkecoh dengan judul Muslim Love Story di atas tulisan ini. Karena ini memang bukan tentang film berjudul Cinta Berkopiah atau Rembulan di Atas Masjid. Juga bukan tentang film-film Timur Tengah yang muncul di televisi.
Ini seratus persen tentang film Hollywood. Dunia yang menghibur kita lewat The Avengers, Star Wars, Beauty and the Beast, dan konco-konconya. Dunia yang dalam perjalanannya menjadi ’’pencatat’’ sejarah. Minimal, indikator realitas dan emosi orang di era saat film itu keluar. Misalnya, bagaimana semakin lama orang semakin terbiasa dan menerima dengan cara berdandan. Bagaimana orang sedunia tiba-tiba bisa punya selera sama tentang suatu hal. Karena film-film Hollywood punya kemampuan untuk terus ’’push the boundaries’’, mendorong atau mendobrak batasan-batasan yang ada di sekeliling masyarakat di seluruh dunia. Baru-baru ini, ada film-film yang secara tidak disadari melakukan itu. Sadar tidak, kalau di film Power Rangers, ada jagoan perempuan yang LGBT di dalamnya? Tidak dibicarakan secara blak-blakan, tapi disinggung di dalamnya. Film itu juga yang pertama menampilkan superhero yang masuk kategori difabel (salah satu jagoannya juga autis). Saya tidak bilang itu positif atau negatif, itu tergantung persepsi masing-masing orang yang melihatnya. Enaknya film Hollywood, kalau tidak suka ya sudah, mereka tidak akan membeli tiket. Tapi, kalau ternyata memang tetap banyak yang membeli tiket, itu menunjukkan kalau batasan-batasan tersebut sudah kembali bergeser. Kekuatan komersial yang menilai dan menentukan. Bukan cuitan atau koar-koar di medsos. Nah, tidak lama lagi, akhir Juni awal Juli 2017 nanti, akan beredar (di Amerika) sebuah film lagi yang ikut mendorong batasan-batasan tersebut. Judulnya The Big Sick. Sebuah komedi romantis, yang kadar komedinya lebih tinggi dari romantisnya. Bahkan mungkin sebenarnya masuk kategori yang komedinya agak berani, bukan komedi ’’sopan-standar’’. Sebuah film Hollywood mainstream yang menampilkan laki-laki Pakistan-muslim sebagai aktor utama, menceritakan kisah cintanya (yang dramatis dan lucu) dengan seorang perempuan bule. Film ini menjalani premiere di Sundance Film Festival, 20 Januari lalu, dan langsung menjadi bintang. Beberapa studio berebut haknya, dan pada akhirnya dicomot oleh Lionsgate dan Amazon dengan nilai USD 12 juta, rekor tertinggi kedua di festival kondang tersebut. Kemudian, Maret lalu, film ini meraih penghargaan Audience Award (pilihan penonton) di South by Southwest (SXSW), festival sangat bergengsi di Amerika. Ini menurut saya spektakuler. Film yang menampilkan aktor Pakistan-muslim meraih sukses di Sundance, yang diselenggarakan di Negara Bagian Utah. Lalu sukses lagi di SXSW, yang berlangsung di Negara Bagian Texas. Utah dan Texas itu ’’putih’’ banget kalau di Amerika. Dua-duanya memilih Donald Trump sebagai presiden. Dengan nilai Rotten Tomatoes 97 persen, dan Metacritic 86 persen, film ini menunjukkan tingkat penerimaan masyarakat AS terhadap sesuatu yang ’’muslim’’ sudah bergeser secara konkret (bukti meningkatnya toleransi?). Bintang utama The Big Sick adalah Kumail Nanjiani, yang lahir di keluarga imigran muslim asal Pakistan. Yang suka nonton film mungkin sudah familier dengan wajahnya, karena dia sebenarnya sudah sering nongol di sitkom-sitkom atau film-film. Walau biasanya hanya sebagai peran kecil yang ’’remeh dan setara dengan statusnya sebagai minoritas asal Pakistan’’. Misalnya, penjaga toko, tukang bersih-bersih, dan lain-lain. Nanjiani, 39, sebenarnya juga penulis cerita film ini. Karena film ini adalah augmentasi dari kisah nyata hidupnya, fokus pada pertemuannya dengan seorang perempuan bule bernama Emily V. Gordon, yang kini menjadi istrinya. Di The Big Sick, Nanjiani praktis memerankan diri sendiri, dan nama karakternya pun Kumail. Sedangkan karakter istrinya juga bernama Emily, tapi diperankan Zoe Kazan. Dalam ceritanya, Kumail adalah stand-up comedian yang menambal kebutuhan hidup sebagai sopir Uber. Film ini secara kocak menceritakan bagaimana dia dan Emily bertemu, bagaimana dia berkutat dengan keluarga Pakistan-muslim-nya yang terus memaksa menjodohkannya dengan perempuan ’’se-etnis’’. Kemudian, dia harus berkutat lagi dengan keluarga kulit putih Emily. Sekali lagi dengan cara-cara yang kocak dan guyonan cerdas. Dalam wawancaranya dengan New York Times, Nanjiani mengaku agak terkejut juga bahwa ternyata filmnya mendapat sambutan hebat. Padahal sempat khawatir ada sambutan ’’menakutkan’’. Di Hollywood, kata Nanjiani, sulit membayangkan ada karakter muslim ditampilkan seperti di The Big Sick. ’’Kami selalu jadi teroris, atau ikut bertarung melawan teroris. Saya ingat film True Lies dan bertanya-tanya, kenapa kami selalu jadi tokoh jahat?’’ paparnya. Seorang komedian yang lumayan kondang, Nanjiani mengaku bersyukur wajah dan tongkrongannya tidak seram. ’’Jadi, saya tidak pernah ditawari peran jadi teroris,’’ ujarnya. Karena film ini belum diputar luas, saya sendiri juga belum menontonnya secara utuh. Tapi bahwa ada film mainstream Hollywood dengan sambutan seperti ini, sangat menakjubkan dan menghangatkan perasaan. Paling tidak, di saat perpecahan dan toleransi sedang mendapat tantangan di berbagai penjuru dunia, masih ada jalur populer yang menunjukkan sesuatu yang positif. Dan karena Hollywood ikut menjadi ’’pencatat sejarah’’, film ini tidak sekadar mendobrak batasan-batasan, tapi juga kelak menjadi contoh konkret perubahan persepsi dan toleransi. Apalagi kalau ternyata film ini benar-benar sukses secara komersial. Wah, itu benar-benar contoh konkret… Film tentang muslim, sukses di negara muslim, bukanlah sebuah kemenangan besar. Ya, The Big Sick bukanlah film religi, ini film komedi romantis, dengan penekanan di komedi. Tapi, kalau ada film bertokoh utama muslim sukses di panggung terbesar, di negara yang bukan mayoritas muslim, itu layak disebut sukses besar, bukan? (*)
Tags :
Kategori :

Terkait