JAKARTA – Bagi hasil migas dengan skema gross split dinilai sebagian kalangan tidak efisien. Menanggapi hal itu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, hingga saat ini pemerintah belum menerima data atau perhitungan yang terperinci dari KKKS sebagai bukti bahwa skema bagi hasil gross split tidak ekonomis. ”Saya kan sudah tantang di IPA (Indonesian Petroleum Association, red). Mau di IPA atau di SKK Migas, saya bilang, buktikan dengan angka. Mana yang tidak workable. Sampai sekarang belum ada yang masukkan (data, red),” ujarnya. Lembaga riset energi global Wood Mackenzie pernah mengungkap betapa tidak efisiennya skema gross split. Terkait dengan hal itu, Arcandra mengatakan bahwa pemerintah telah memanggil Wood Mackenzie untuk mengevaluasi ulang perhitungannya dengan memasukkan faktor-faktor efisiensi dalam gross split. Namun, sampai saat ini lembaga tersebut belum mengubahnya. Skema gross split merupakan pola bagi hasil dengan prinsip pembagian gross produksi tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi. Menurut Arcandra, pola itu lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan pola kontrak bagi hasil lewat cost recovery atau biaya operasi ditanggung pemerintah. Lebih lanjut Arcandra mencontohkan, untuk wilayah kerja migas yang berlokasi di laut dalam, KKKS mendapat variable split sebesar 16 persen, kemudian base split yang diberikan sebesar 43 persen. Dengan skema itu, kontraktor mendapat bagi hasil kurang lebih 59 persen dan pemerintah hanya 41 persen. Dia melanjutkan, di Amerika Serikat, wilayah kerja (WK) di laut dalam menggunakan sistem tax and royalty. Tax sekitar 30 persen dan royaltinya sekitar 15 persen. Dengan begitu, pemerintah kurang lebih mendapat 45 persen dan kontraktor memperoleh 55 persen. (dee/c11/sof)
Anggap Gross Split Lebih Efisien
Senin 29-05-2017,14:45 WIB
Editor : Dedi Haryadi
Kategori :