Jembatan Pribadi Tarif Seikhlasnya, Lebaran Bisa Rp600 Ribu hingga Rp1 Juta Sehari

Senin 12-06-2017,23:45 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Akses jalan dan jembatan menjadi salah satu kebutuhan bagi warga pedalaman. Kewajiban pemerintah untuk menyediakannya. Tapi apa jadinya kalau jembatan itu dibangun dan dikelola secara pribadi? Itulah yang terjadi di Dusun Sangkanhurip, Desa Cigobangwangi, Kecamatan Pasaleman, Kabupaten Cirebon. Ada jembatan berbayar di sana. JAMAL SUTEJA, Cirebon JEMBATAN yang membentang sepanjang sekitar 100 meter di atas Sungai Cisanggarung itu seolah tak pernah sepi. Hilir mudik kendaraan roda dua melintasinya siang dan malam. Rupanya, jembatan itu menjadi akses penting bagi warga dua desa di Kecamatan Pasaleman menuju pasar, sekolah, atau fasilitas lainnya. Jembatan itu sendiri berada di perbatasan antara Desa Cigobangwangi dengan Desa Waled Kota di Kecamatan Waled. Saking pentingnya, warga sampai rela membayar. Meskipun tidak dipatok tarif tertentu. Namun uang Rp1.000 atau Rp2.000 setidaknya harus disiapkan untuk melewati jembatan itu. \"Gak ditarif, kalau ngasi diterima, yang gak ngasi juga gak maksa,\" jawab Kepala Dusun Sangkanhurip, Ismail saat ditanya mengenai tarif jembatan bayar tersebut. Jembatan itu dibuka 24 jam. Punya pengelolanya sendiri. Setiap hari dijaga oleh anak-anak dan kelurga H Timbul secara bergantian. H Timbul adalah orang yang berinisiatif untuk membangun jembatan yang mayoritas konstruksi kayu dan bambu tersebut. Meski demikian, pondasi jembatan cukup kokoh dengan menggunakan besi dan coran. Keluarga H Timbul sudah 10 tahun lebih mengelola jembatan itu. Awalnya jembatan itu dibangun oleh warga asal Desa Kalibuntu, Kecamatan Losari. Namun karena sering terbawa arus Sungai Cisanggarung saat hujan deras, warga asal Kalibuntu itu tak sanggup lagi memelihara jembatan itu. Akhirnya diserahkanlah jembatan itu kepada pemilik lahan yang menempati jembatan itu. Waktu itu, sebenarnya pemerintah dan juga Pabrik Gula (PG) tengah merencanakan pembangunan jembatan permanen. Ada dua lokasi yang dipilih. Di Desa Cilengkrang dan Desa Cigobangwangi. Waktu itu, pabrik gula berkepentingan membangun jembatan permanen untuk akses angkutan tebu yang berada di Kecamatan Pasaleman. Maka dilakukan polling, untuk menentukan lokasi pembangunan jembatan. Ternyata warga lebih memilih membangun jembatan permanen di Desa Cilengkrang daripada di Cigobangwangi. Karena di Cilengkrang bisa menjangkau akes ke lima desa. Sementara bila di Desa Cigobangwangi hanya mengakeses dua desa. Karena tidak jadi dibangun jembatan permanen di Desa Cigobangwangi, lalu warga berinisiatif lagi membangun jembatan yang dulu sempat hancur itu. H Timbul kemudian membangun jembatan itu dengan dana pribadi. Ada sepuluh tiang bordes yang menahan jembatan itu. Rupanya tiang itu cukup kuat, hingga kini sudah sepuluh tahun jembatan itu masih kuat berdiri. \"Ya kalau kena aliran air saja mungkin bisa kuat, tapi kalau ada pepohonan yang hanyut bisa saja runtuh lagi,\" tukas Ismail. Setiap tahun, jembatan itu diperbaiki. Dananya dari tarif bayaran warga yang melintasi jembatan itu. Jembatan itu sendiri dijaga oleh anak-anak H Timbul. Biasanya tiga kali sift, yakni siang, malam dan pagi. Rupanya, bagi warga adanya jembatan berbayar itu tidak memberatkan. Malah memudahkan. Karena mereka bisa lebih cepat sampai tujuan. Apabila harus melintasi jembatan permanen di Desa Cilengkrang, mereka harus memutar cukup jauh. Dalam sehari, dana yang terhimpun bisa mencapai Rp300 ribu. Bahkan apabila kendaraan ramai bisa mencapai Rp600 ribu hingga Rp1 juta. \"Ya kalau warga sini tidak keberatan, karena tarifnya kan seikhlashnya. Biasanya ada yang ngasi seribu atau dua ribu. Kalau Ramadan atau Lebaran itu ya ramai sekali,\" tukas Ketua RT 03 RW 07 Desa Cigobangwangi, Darkim. Jembatan itu memang berukuran kecil, hanya cukup untuk dua kendaraan roda dua. Sementara untuk kendaraan roda empat harus tetap melewati jembatan permanen di Desa Cilengkrang. \"Ya kalau roda dua yang cepat ya lewat jembatan ini. Ini kan ada dua desa, mereka yang ingin ke pasar atau mau ke Cirebon ya lewat sini. Keluar dari jembatan sudah masuk ke Kecamatan Waled,\" sebut Darkim. Setiap harinya, jembatan itu ramai. Hanya saat hujan saja yang mungkin sedikit berkurang. Yang paling ramai, tentu saat Idulfitri. Di hari normal, kendaraan biasanya ramai saat pagi hari, ketika anak-anak berangkat sekolah dan warga mulai beraktivitas. \"Ya harapan kami tentu ada jembatan permanen dari pemerintah,\" harap Darkim mewakili warga. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait