Pentingnya Kesiapan Mental Anak untuk Bersekolah

Senin 17-07-2017,12:30 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON-Orang tua tentu turut merasakan ketegangan ketika mulai memasukkan anaknya ke sekolah. Umumnya, orang tua khawatir anaknya kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan baru, terutama dalam menghadapi guru sebagai ‘orang tua’ di sekolah. Sebagai bekal psikologis anak dalam menghadapi dunianya yang baru, orang tua sebaiknya member pengetahuan seperti apa dunia sekolah itu. Salah satunya berdiskusi dengan anak dan sampai mengantarkannya ke sekolah. Seperti yang disampaikan psikolog, Linda Sofyana. Menurutnya, ketika di sekolah, anak membutuhkan kesiapan sosial. “Komunikasi dan adaptasi terhadap aturan dan norma adalah keharusan dalam proses pendidikan formal,” ujarnya. Linda menerangkan, kemampuan bergaul dan menyesuaikan diri terhadap teman-teman sebaya akan membuat anak merasa nyaman dan betah di sekolah. Untuk mempersiapkannya, lanjut dia, biasakan anak untuk bertemu dan bersosialisasi dengan orang lain. “Bukan hanya teman sebaya namun juga dengan orang dewasa. Jika anak menolak dengan alasan malu, jangan dipaksa,” terangnya. Ia menyarankan agar orang tua memberikan pengertian pada waktu luang dan lebih sering diajak bersilaturahmi. Motivasi yang diberikan bukan berupa paksakan. Satu hal lagi yang tidak kalah penting, kata Linda, adalah kesiapan mental anak. “Kesiapan mental ini adalah kondisi di mana mental seorang anak berkembang sesuai dengan tugas level perkembangannya,” ujarnya. Artinya, sambung dia, dalam psikologi perkembangan anak, pada awal usia sekolah seorang anak mempunyai tugas perkembangan mental untuk belajar kemandirian, belajar mengelola emosi dan berbagi. “Berbagi peran dan belajar tentang nilai agama dan norma,” sambungnya. Keberhasilan anak dalam melakukan proses tersebut, tambah Linda, akan menambah rasa percaya dirinya. Tentu saja proses ini anak tidak mungkin bisa belajar secara mandiri. Diperlukan bimbingan dan teladan dari lingkungan agar proses ini berjalan dengan maksimal. “Metode cerita dan komunikasi akrab seputar kejadian yang dialami akan lebih mudah ditangkap oleh anak daripada sekedar aturan dan nasihat normatif yang terlalu kaku,” sarannya. (mid/apr/mik)

Tags :
Kategori :

Terkait