TIDAK kurang dari empat puluh pemuda terpilih, mengikuti kegiatan Sekolah Cinta Perdamaian (Setaman). Kegiatan ini berlangsung selama dua hari sejak tanggal 14-15 Oktober 2017 di Kampus Swasembada Kota Cirebon. Setaman diinisiasi Fahmina Institue sebagai wadah para pemuda dan remaja untuk saling mengenal, memahami, dan belajar tentang keberagaman, kebhinnekaan, dan perdamaian, bagaimana mengelola perbedaan, keberagaman, kebhinnekaan menjadi kekuatan untuk mewujudkan perdamaian. Kegiatan yang bertajuk “Merajut Harmoni di Tengah Keragaman” ini, diikuti pemuda dari berbagai latar belakang sekolah, aktivitas dan organisasi di kawasan Kota dan Kabupaten Cirebon. Di antarannya adalah santri, aktivis Rohis (Rohaniawan Islam), mahasiswa, Banser dan pegiat mading sekolah. Sebagian mengaku dari Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, ada pula dari pemuda Syiah, pemudi Katolik serta Ahmadiyah. Latar belakang yang beragam itu, tak menjadi halangan bagi mereka untuk berbagi pengalaman dan belajar satu sama lain. Salah satu materi yang disampaikan adalah belajar memahami kebhinnekaan yang ada di Indonesia. Tidak dipungkiri Negara Kesatuan Republik Indonesia didiami oleh masyarkat yang sangat beragam baik suku, ras, agama, bahasa, warna kulit dan lain sebagainya. Sehingga sangat penting untuk memahami kebhinekaan ini untuk menjaga persatuan bangsa. Atu, salah satu peserta, mengatakan kebhinnekaan atau perbedaan dalam kehidupan sehari-hari dinilai membuatnya menjadi lebih terlatih untuk mengendalikan emosinya. Justru dengan perbedaaan menjadikannya mampu bergotong royong dengan potensi yang berbeda satu sama lain. “Pasti dong satu dengan lainnya punya kebiasaan yang beda. Dengan perbedaan ini maka kita bisa saling menghargai, menerima, berbaik sangka, tidak egois, menjadikan perbedaan ialah hal unik, dan tidak mempermasalahkan perbedaan itu sendiri,” jelasnya. Senada dengan Atu, peserta lainnya yakni Tuti Alawi seorang mahasiswi, mengatakan manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Dengan kebutuhan dan keahlian yang berebeda manusia dapat memenuhi kebutuhannya masing-masing. Dengan kebhinekaan yang ada maka harus saling menghargai perbedaan satu sama lain tanpa menjaganya tidak akan hidup sebagai manusia. “Kalau manusia hidup sendiri apakah bisa bertahan hidup? Kita kan zone politicon (makhluk sosial). Nah, sebagai bangsa, kebhinekaan itu ialah sebagai alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Dalam lingkungan masyarakat, kebhinekaan mengharuskan untuk kita bersosialisasi dengan yang lain untuk saling mengenal, saling menghormati dan menerima perbedaan tanpa ada paksaan satu sama lain.” tukasnya. PELAJAR BERAKTIVITAS DI LUAR SEKOLAH, KENAPA TIDAK? Banyak orang tua maupun guru yang khawatir anak ataupun muridnya terjerembab dengan pergaulan bebas. Kehawatiran ini memang harus diwaspadai. Tapi jika kehawatiran itu membuat anak menjadi enggan bersosialisasi menjadi probelem sendiri bagi si anak kelak di masa depannya. Banyak hal di luar sekolah yang dapat di isi dengan hal-hal positif semisal berorganisasi dan melakukan kegiatan lainnya yang dapat menyalurkan hobi dan kemampuan si pelajar itu. Tentu sebagai orang tua ataupun guru harus bijaksana memberikan kepercayaan agar bisa bertanggung jawab. Dengan bersosialisasi di luar lingkungan sehari-hari dapat memberikan rasa percaya diri serta dapat memberikan pengalaman baru bagi mereka. Berbeda dengan pelajar yang tidak bersosialisasi dengan lingkungan luar akan cenderung menolak hal-hal baru. Namun fase ini sangat rentan jika tidak diawasi dan difasilitasi karena akan memberikan kesempatan bagi kelompok tertentu untuk memanfaatkannya dengan hal-hal negatif. Fithri Dzakiyyah Hafizah, narasumber Setaman, mengatakan, usia remaja sangat rentan dengan ideologi radikal. Seperti yang terjadi di salah satu sekolah yang berada di Bogor, salah satu gurunya mengharamkan untuk menghormati bendera merah putih saat upacara bendera. Ia lalu merobek bendera itu. Para muridnya pun jarang berinteraksi dengan warga sekitar. Sang pelaku berusia 25 tahun dan kejadian itu pada bulan Agustus lalu. Senada dengan hal tersebut, Dewan Pendidikan Kota Cirebon, Nurul Huda SA, mengatakan, proses sosialisasi di antara pelajar sangat penting, karena akan menumbuhkan pemikiran yang terbuka di antara pelajar tentu dengan tetap berhati-hati dalam bergaul. “Hidup dalam keberagaman sangat penting bagi kita, karena kalau salah bergaul maka akan fatal ketika berelasi dengan keluarga maupun orang lain. Begitu banyak orang memengaruhi kita untuk tidak baik, tetapi kita perlu mencerna ajaran dan mendudukan dengan baik, “katanya. Ia menegaskan, kegiatan seperti Setaman yang mengajak teman-teman pelajar mengenal kebhinnekaan, memahami perbedaan dan nasionalisme sangat penting dilakukan. Terutama di Cirebon yang saat ini sedang mengalami tantangan cukup besar terkait radikalisme dan terorisme. Ia berpesan, pemuda harus tetap belajar dengan tekun, tebuka dengan pengetahuan baru, bersosialsiasi dan memilih pergaulan yang baik. ”Sebagai orang tua juga harus memberikan dampingan, jangan sampai anak itu menjadi eksklusif. Salah satu cara untuk menjadi terdidik ialah dengan sekolah,” tukasnya. MENAUTKAN KEBERSAMAAN DALAM KEBHINNEKAAN Setelah mendapatkan berbagai materi dan sharing pengalaman masing-masing. Di hari terakhir para peseserta Setaman diajak untuk mengunjungi salah satu tempat ibadah umat Konghutju yaitu Kelenteng Talang di kawasan Kelurahan Lemahwungkuk Kota Cirebon. Kelenteng Talang yang dibangun sejak abad ke 15 M ini merupakan salah satu bangunan purbakala yang ada di Cirebon, yang memiliki kesejarahan tersendiri terkait dengan kehidupan harmonis antara umat Konghucu yang mayoritas Tionghoa dan masyarkat Cirebon. Berdasarkan sejarah, salah satu umat di kelenteng ini bernama Tan Sam Cay, atau Haji Mohamad Sjafi’I, diangkat sebagai Menteri Keuangan Kesultanan Cirebon tahun 1569-1585, yang bergelar Aria Dipa Wiracula. Hal ini menunjukkan perbedaan tidak menjadi pembatas untuk tetap saling bekerja sama dan memberikan manfaat untuk masyarkat Cirebon. Selain kesejarahan, beberapa kali digelar acara buka dan sahur bersama masyarakat Cirebon di kelenteng. Salah satunya yang dihadiri oleh Ibu Nyai Hj Shinta Nuriyah Abduraahman Wahid yang merupakan istri dari bapak pluralisme, Gus Dur. Kegiatan yang rutin digelar ini memberikan pesan untuk selalu menjaga kebersamaan, perdamaian dan keharmonisan walau di tengah perbedaan. Dari dasar itulah peserta Setaman diajak untuk mengenal dan berinteraksi dengan masyarkat Tionghoa di Kelenteng Talang. Mereka terlihat antusias dan senang ketika menginjakkan kaki pertama kali di kelenteng itu. Setelah kegiatan Setaman, peserta melakukan berbagai macam hal untuk mengampanyekan perdamaian. Salah satunya Sella, peserta asal Babakan, yang menuliskan pesannya di media sosial miliknya untuk menjaga kebersamaan dalam perbedaan. “Kehidupan yang beragam dengan perbedaan yang ada telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Hal ini merupakan anugerah Tuhan yang tak ternilai bagi negeri ini. Sudah menjadi suatu kewajiban bagi kita semua untuk tidak merusak keberagaman ini. Kita harus menjaga rasa kebersamaan dalam perbedaan. Hidup itu penuh dinamika, perbedaan, dan problematika. Itu yang membuat orang hidup dan membedakan manusia dengan makhluk lainnya.” ungkapnya. (*) *Ditulis Abidin, pegiat Setaman
Setaman: Menautkan Kebersamaan dalam Kebhinnekaan
Rabu 25-10-2017,01:01 WIB
Editor : Husain Ali
Kategori :