Partisipasi Rendah, Tanggung Jawab Siapa?

Sabtu 24-02-2018,21:39 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

TAHAPAN pilkada serentak sudah masuk ke fase kampanye. Itu setelah KPU menetapkan dan melakukan pengundian nomor urut pasangan calon (paslon). Untuk pilkada kabupaten Cirebon, pengundian nomor urut digelar di The Radiant Hall Gronggong, Kabupaten Cirebon, Selasa 13 Februari lalu. Dari pengundian itu, paslon H Kalinga-Hj Dian Hernawa Santi mendapatkan nomor urut 1. Paslon H Sunjaya Purwadisastra-H Imron Rosadi nomor urut 2. Kemudian paslon H Rakhmat-H Yayat Ruhiyat mendapatkan nomor urut 3 dan paslon H Moh Luthfi-H Nurul Qomar nomor urut 4. ** Persoalan serius yang dihadapi dalam pilkada adalah rendahnya partisipasi masyarakat. Dalam konteks Kabupaten Cirebon, angka partisipasinya sangat rendah. Berpijak pada pilkada tahun 2013 lalu yang bersumber dari KPU Kab Cirebon, di putaran pertama yang digelar 6 Oktober 2013, partisipasi masyarakat di sekitaran 52,23 persen dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) 1.709.163 jiwa. Dari 40 kecamatan, hanya dua kecamatan yang tingkat partisipasinya mencapai 60 persen. Yakni Kecamatan Suraneggala (61,73 persen) dan Kecamatan Gegesik (61,53 persen). Sisanya di kisaran 44 persen dan di bawah 60 persenan. Sementara pada putaran kedua yang digelar 29 Desember 2013, partisipasi masyarakat malah turun menjadi 46,24 persen dengan jumlah DPT 1.705.123 jiwa. Dan hanya Kecamatan Suranenggala yang tingkat partisipasinya paling tinggi yakni 59,14 persen. Sisanya dikisaran 37 persenan sampai 54 persenan. Dampak dari rendahnya partisipasi itu adalah delegitimasi kepada kepala daerah terpilih. Sebagaimana dikatakan ilmuwan politik Amerika Serikat, Samuel Huntington bahwa demokrasi itu ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur, berkala. Dengan melihat jumlah persentase pemilih yang mengalami penurunan serta prosesnya yang tidak lagi adil dan jujur, menandakan bahwa nilai-nilai demokrasi sudah mulai luntur. TANGGUNG JAWAB SIAPA Lalu, apakah rendahnya partisipasi masyarakat ini menjadi tanggung jawab pihak penyelanggara (KPU,red) tok? Tentu saja tidak. Memang betul, tolak ukur kinerja penyelenggara pemilu salah satunya dari partisipasi masyarakat. Namun sangatlah tidak tidak fair jika KPU semata yang menjadi “terdakwa” ketika partisipasi masyarakat itu rendah. Kenapa? Karena hajat pilkada melibatkan banyak pihak. Termasuk di dalamnya pemerintah (Pemda), partai politik (parpol), pasangan calon (paslon) dan stakeholder lainnya. Soal keterkaitan pemerintah (pemda) dalam meningkatkan partisipasi pemilih, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 434 menyebutkan bahwa pemda juga berkewajiban dalam pelaksanaan sosialisasi terhadap peraturan dan perundang-undangan pemilu serta pelaksanaan pendidikan politik bagi pemilih untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu. ** Konsultan politik “Polmark” Eep Saefulloh Fatah mengklasifikasikan golput ke dalam empat kategori. Pertama, golput teknis yakni dikarenakan sifat teknis berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau salah mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tak sah atau tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan teknis pendataan penyelenggara pemilu. Dalam konteks ini, jelas akan berpengaruh terhadap partisipasi. Karena pemilih sudah masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) namun tidak bisa menggunakan haknya. Entah karena meninggal dunia, sakit maupun hal teknis lainnya. Kedua, golput politis. Yaitu untuk masyarakat yang tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau pesimistis bahwa pemilu/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Nah, ini menjadi problem kita bersama terutama parpol. Mampukah parpol menjawab ekspektasi masyarakat? Sehingga mereka yang sudah masuk dalam DPT bisa menyalurkan pilihan politiknya. Tentu saja dibutuhkan kerja keras dan strategi khusus. Dan itu saya rasa menjadi domain timses masing-masing paslon untuk meyakinkan kepada publik yang masih skeptis dan bahkan apatis. Ketiga, golput teknis-politis. Yakni mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ini menjadi perhatian serius semua pihak, termasuk KPU. Terlebih saat ini masih dalam tahapan pemutakhiran dan penetapan data pemilih yang dimulai sejak 20 Januari sampai 19 April 2018. Saat coklit berlangsung, muncul persoalan di lapangan. Yakni, ada warga yang masuk dalam DP4. Namun saat di-coklit, yang bersangkutan berada di luar negeri (TKI) maupun ke luar kota (urban). Regulasinya, nama yang bersangkutan tetap dicentang alias sebagai pemilih cocok. Meskipun pada hari H, yang bersangkutan dipastikan tidak bisa hadir. Bisa dibayangkan jika penyebaran “kasus” tersebut merata di daerah yang menjadi kantong TKI dan kaum urban. Tentu saja, akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi. Karena pembandingnya tetap (lebih besar), sedangkan yang datang berkurang (lebih kecil). Ini menurut hemat penulis, adalah persoalan yang harus segera dicari solusinya oleh penyelanggara. Butuh “ijtihad hukum” baru. Selagi belum menjadi DPT. Jadi belum terlambat. Keempat golput ideologis. Yakni tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan nilai-nilai agama atau alasan politik-ideologi lain. Pada ranah ini, semua stakeholder termasuk tokoh agama, ormas, parpol dan media harus bahu membahu memberikan pendidikan politik. Pada perspektif media, bisa menjalankan fungsinya sebagaimana amanat Undang-Undang Pers No 4 tahun 1999 yakni fungsi informasi dan edukasi. Baik melalui sebuah produk jurnalistik (berita) maupun iklan layanan masyarakat. Dengan konten mengampanyekan antigolput, tolak money politic, urgensinya menggunakan hak pilih dalam konteks membangun sistem demokrasi. Ini juga selaras dengan jurnalisme yang mengadopsi jurnalisme profetik (prophetic journalisme). Yakni tabligh, (menyampaikan/informatif), fathonah (edukatif/mencerdaskan), sidiq (faktual), amanah (aktual). Tentu saja untuk mengubah paradigma masyarakat atas butuh waktu yang tidak singkat. Perlu sinergi dan kolabarasi antarelemen. ** KPU Kabupaten Cirebon sendiri terus berikhtiar maksimal agar tingkat partisipasi masyarakat pada pilkada serentak tahun ini meningkat. Indikatornya dengan terus melakukan sosialisasi baik iklan di media massa maupun aktif publikasi di dunia maya. Ditambah pula dengan hadirnya agen sosialisasi yang masing-masing dua personel di tingkat kecamatan. Jika ada 40 kecamatan, maka se-Kabupaten Cirebon ada 80 agen sosialisasi. Yang tugasnya melakukan sosialisasi pilkada. Tentu agen juga terus berkoordinasi dan bersinergi struktur KPU di tingkat kecamatan (PPK). Tak sampai di situ. Bentuk ikhtiar maksimal itu dibarengi juga dengan menggandeng civil society untuk bersama-sama melakukan sosialisasi. Bahkan, di tingkat PPK harus punya model desain sosialisasi yang bersandar pada analisis masalah. Dan berbasis pada geografis, budaya, tingkat pendidikan masyarakat desa. Ini akan diaplikasikan pada tahapan kampanye yang dimulai sejak 15 Februari sampai 23 Juni nanti. Jika ditilik dalam teori Marketing Mix (bauran pemasaran) ala Philip Kotler, apa yang dilakukan KPU adalah bagian dari P4 (Product, Promotion, Pricing dan Placement). Sosialisasi di sini adalah bagian dari promotion (promosi). Apa yang dipromosikan? Ya tentu saja product (produk). Yakni memasarkan gelaran pilkada serentak yang didalamnya ada pasangan calon (paslon), waktu pencoblosan, pendataan pemilih dan seterusnya. Pricing dalam konteks di sini adalah logistik, anggaran (dana). Sejumlah logistik terkait pilkada terus didatangkan. Misalnya alat peraga kampanye (APK). Mulai dari spanduk, umbul sudah disiapkan KPU. Berikutnya adalah placement. Dalam pilkada, placement dimaknai Tempat Pemungutan Suara (TPS). Total ada 3.650 TPS se-Kabupaten Cirebon. Nah, lokasi TPS ini harus mudah dijangkau. Layout/tata letaknya juga lebih manusiawi. Dan petugasnya (KPPS) ramah. Sehingga pemilih tertarik untuk datang ke TPS. Namun, apalah arti semua sosialisasi yang dilakukan KPU secara massif, jika elemen terkait pilkada masih acuh dan cuek bebek. Jelas butuh peran serta pemda, parpol, paslon, ormas, tokoh agama, media untuk merealisasikan target partisipasi masyarakat pada Pilkada serentak yang dicanangkan KPU Kabupaten Cirebon menjadi 70 persen. Masih ada waktu 4 bulan lagi menuju 27 Juni 2018. So, ayo sareng-sareng sosialisasi sesuai tupoksi dan regulasi. (*) *) Opini ditulis Apendi, jurnalis yang tinggal di Kecamatan Tengahtani

Tags :
Kategori :

Terkait