Gunakan Teknologi Ulir Filter, Sanusi Pelopori Produksi Garam di Pegunungan

Jumat 11-05-2018,16:00 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON-Peribahasa klasik, asam di gunung garam di laut, akhirnya patah di Cirebon. Itu setelah sejumlah pemulia air laut tersebut, berhasil memproduksi garam menggunakan teknologi ulir filter (TUF) di Desa Ciawigajah Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon. Adalah Sanusi, yang menjabat sebagai Biro Pengembangan Usaha Maritim dan Sumber Daya Kelautan yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) Kabupaten Cirebon, menjadi inisiator pengembangan tersebut. Ia merekrut beberapa anak muda untuk ikut mengembangkan garam yang biasanya diproduksi di wilayah pesisir, untuk dikembangkan dan dimuliakan di pegunungan. “Sebenarnya produk utama kita bukan pada garamnya, melainkan produk di luar garam. Yang ada pada saat proses pembuatan garam, itu kita pasok untuk kebutuhan farmasi dan industri,” ujar H Sanusi kepada Radar Cirebon. Menurutnya, produk dari proses pembuatan garam yang saat ini sangat mahal harganya adalah air bitten atau air garam dengan kandungan kurang lebih 25 baume. Air itu muncul ketika proses pembuatan garam sudah memasuki hari ke-10. “Untuk farmasi dan kosmetik sangat dicari air bitten ini. Harganya pun mahal. Terlebih, saat ini belum banyak yang menekuni. Dalam proses pembuatan air bitten pun akan ada bonus, karena dalam waktu bersamaan dengan air bitten muncul, maka akan ada garam yang terbentuk dari proses tersebut,” imbuhnya. H Sanusi dalam pelaksanaan program ini bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Ciawi Gajah. Pihak Bumdes menyiapkan tujuh petak lahan untuk memproduksi garam, yakni empat petak ukuran 12x7 meter dan tiga petak ukuran 7x4 meter. Untuk menghindari terpapar air hujan, bagian atas tambak dipasang plastik UV. Sedangkan alas tambaknya menggunakan plastik LDPE atau geomembrane. “Karena kalau menggunakan terpal, garam bisa terpapar dengan pewarna dari terpal itu,” jelas Ketua Biro Pengembangan Usaha Maritim HPN itu. Usai instalasi tempat, tim gabungan dari BUMDes Ciawi dan HPN Cirebon mendatangkan air laut dari laut wilayah Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, menggunakan toren/penampungan air yang diangkut di mobil bak. “Kebutuhan air laut ini cukup tinggi. Untuk 3 petak tambak ukuran 7x4 meter saya membutuhkan antara 3.600-4.000 liter air laut,” jelas Sanusi. Dari toren, air laut ini dialirkan ke tambak melalui filter paralon yang di dalamnya terdiri dari lapisan ijuk, kerikil, arang batok kelapa, dan abu sekam, hingga tingkat kekeruhannya mencapai 1 persen. Ketinggian air di tambak tidak lebih 5 sentimeter. Dalam tempo 10-15 hari, dari 3 lahan tambak seluas 7x4 sentimeter diharapkan menghasilkan 5 kwintal garam dengan kadar NaCl 95-97 persen dan 2 meter kubik bitten (air kandungan garam). Kristal garam produksi Bumdes ini diolah menjadi garam kesehatan untuk Spa dan terapi. “Adapun turunan air bitten ini diolah lagi menjadi magnesium dan soda api,” beber Sanusi. Pembuatan garam sendiri menurut Sanusi, bisa dilakukan di mana pun, asalkan bahan bakunya adalah air laut. Masalahnya, orang berpikir pembuatan garam akan sia-sia lantaran harga kristal asin itu sangat murah, hanya 500 sampai 1.000 per kilogram. Dengan harga itu, biaya produksi mengangkut air laut dari wilayah pesisir, tentu lebih besar dari potensi harga jual. Melalui HPN, Biro Pengembangan Usaha Maritim dan Sumberdaya Kelautan mengedukasi masyarakat bahwa garam yang diproduksi adalah garam kualitas industri dan farmasi yang harganya jauh lebih mahal dan berlipat-lipat dari harga garam pada umumnya. Sementara itu, Peneliti dari Badan Riset dan Sumber Daya Manusia  Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rikha Bramawanto mengaku sangat mengapresiasi apa yang sudah dilakukan HPN dan BUMDes Ciawigajah. Meskipun apa yang dibuat saat ini bukan menjadi inovasi terbaru, tetapi gagasan dilakukannya di daerah dataran tinggi menjadi pembeda dengan apa yang sudah pernah dilakukan oleh kalangan lainnya. “Ini merupakan inovasi. Beliau sudah berhasil, meskipun masih tahap awal, bahwa membuat garam tidak hanya di laut, tapi juga bisa dilakukan di gunung. Sebenarnya cara yang digunakan seperti ini sudah umum dan sudah banyak, terutama untuk wilayah pesisir di Lamongan dan Sumenep. Hanya saja untuk di wilayah pegunungan, ini baru dilakukan di sini. Karena mayoritas berpikir akan sangat mahal biaya yang dikeluarkan jika proses pembuatannya dilakukan di lokasi yang sangat jauh dengan laut,” ungkapnya. (dri)

Tags :
Kategori :

Terkait