Tiap Kali Ingat Keluarga, Selalu Praktikkan Terapi SEFT

Jumat 25-05-2018,07:07 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Ramadan. Ada rasa rindu untuk berkumpul dengan keluarga di rumah. Tapi ada jarak yang menghalangi. Itu pula yang dirasakan Budiman. Warga binaan Lapas Klas I Cirebon. Sekitar 5 tahun lebih tak merasakan kehangatan Ramadan bersama kelurga. JAMAL SUTEJA, Cirebon PRIA 44 tahun itu narapidana (napi) dengan vonis seumur hidup. Kasus pembunuhanan berencana yang mengantarnya menjadi warga binaan lapas. Dia masuk Cirebon akhir tahun 2013. Awalnya ditahan di Rutan Sukabumi. Perjalanan hidupnya- sebelum masuk ke Lapas Klas I Cirebon- menguras emosi. Ada proses yang dijalaninya. Mulai dari kejadian pembunuhan, proses penangkapan, masa sidang, hingga masuk rutan. Tak semua orang merasakan itu. Baginya, proses tersebut membuat dampak tidak baik terhadap mentalnya. “Saya yakin, pada dasarnya tidak ada satupun orang yang ingin masuk penjara,\" katanya kepada Radar Cirebon, kemarin. Namun dirinya juga yakin semua orang tidak bisa menolak ketetapan. Untuk bisa menerima takdir buruk dan baik sekalipun. Hal itu memerlukan waktu. Apalagi harus menjalani hukuman di balik penjara. Tentunya, membutuhkan bimbingan dan pendekatan khusus dari petugas lapas. “Saya bersyukur. Awalnya saya tidak mau dioper ke Lapas Klas I Cirebon. Karena sudah merasa nyaman di Rutan Sukabumi. Walaupun nyamannya itu hanya mengikuti proses penyesuaian baru. Apalagi Lapas Klas I Cirebon dikenal serem,\" ujarnya. Dinamika mentalnya saat itu tergoncang. Saat tertangkap polisi, dia melihat masa depannya sudah tak ada harapan. Apalagi dia memiliki keluarga. Anak dan istri. Goncangan itu bertambah. Saat dirinya ditangkap, rumahnya ikut juga dibakar. Hingga istri dan anaknya keluar dari rumah menggunakan pakaian yang menempel di badan saja. \"Bisa dibayangkan seperti itu. Mental saya kacau balau,\" ulasnya. Hingga dirinya berpikir waktu itu tidak ada harapan hidup ke depan. Saking putus asanya melihat seperti itu. Belum lagi beban keluarga. \"Semua numpuk di pikiran saya,\" bebernya. Waktu pun terus berjalan. Mulai dari polres, sampai berjalan sidang. Sampai akhirnya divonis seumur hidup. Saat dijatuhi vonsi itu, dia menerima karena sudah salah. Namun dari segi mental waktu itu ada beban keluarga. Punya istri dan anak. Budiman mulai berpikir kalau dirinya masih di dalam penjara bagaimana menghidupi mereka. Apalagi masih memiliki rasa dendam, benci, dan marah sama orang yang membakar rumahnya. Kemudian dia harus menjalani hukuman seumur hidup. Padahal dirinya bukan pelaku utama. “Ada rasa benci, yang akhirnya masuk ke dalam, mereka tidak bertanggung jawab apa-apa. Akumulasi emosi itu tidak terbendung,\" ceritanya. Setelah divonis, tidak ada pilihan lain untuk menerima. Meskipun emosi masih ada di dalam dadanya. Maka dari itu, dia berupaya menghilangkan itu dengan pendekatan spiritual. Namun ternyata masih ada rasa emosi muncul tiba-tiba. Pendekatan spiritual saja tidak cukup. \"Saya masih punya rasa benci dan suudzon kepada manusia. Kalau dari segi ganjalan psikis masih ada halangan. Itu tidak mudah menghilangkannya,\" katanya. Kadang akhirnya seiring perjalanan waktu berkurang, tapi belum hilang. Saat waktu pindah ke Lapas Klas I Cirebon, emosi negatif itu masih ada. Seketika ada masalah sedikit, pasti muncul. \"Tapi saya bersyukur pertama datang ke sini. Saya ikut program administrasi orientasi (AO) yang waktunya sekitar 40 hari. Dari sana saya mulai dapat mengendalikan emosi dan menerima semuanya,\" jelasnya. Pembinaan itu dibagi tiga bagian. Pertama pembinaan fisik. Dia harus mengikuti olahraga dan latihan baris berbaris. Kemudian pembinaan mental. Masuk ke ruang psikoterapi mulai jam 09.00 sampai 23.00. Itu dilakukan setiap hari selama satu bulan. \"Saya ikut pembinaan kerohanian. Dari tiga tadi, yang saya rasakan manfaatnya setelah masuk pembinaan psikoterapi,\" jelasnya. Saat ikut psikoterapi, pertama kali dilakukan assesment, penilaian untuk mengetahui dinamika mental. Dengan ikut tes depresi dan tes traumatik. Hasil tes itu, Budiman masuk tingkatan sedang. Setelah tahu hasil itu, dirinya diberikan materi-materi, bukan hanya edukasi. \"Di sini pertama kali saya dapatkan terapi,\" ucapnya. Terapi itu Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). Terapi pelepasan emosi. Caranya dengan menuliskan emosi negatif. Dia tumpahkan semua emosi negatif dengan menulis di secarik kertas. \"Saya marah kepada si A, karena apa. Sampai ke hakim, merasa tidak adil,\" katanya. Dari terapi itu, dia juga diajak berpikir rasional. Dia menjadi paham menyimpan emosi negatif itu tidak ada manfaatnya. Dia merasa gelisah. Susah tidur. Tidak tenang. “Bahkan banyak orang yang mirip dengan orang yang saya benci, langsung spontan emosi muncul,” kata Budiman. Teknik pembebasan emosi ini juga ada tiga langkah yang dilakukan dengan set up dengan cara menotok titik meridian sarafnya, sambil melakukan afirmasi. Di luar dugaan yang hampir dua tahun menyimpan emosi itu, sulit untuk dihilangkan. Melalui metode ini, kata dia, semua hilang. Tak dapat dipungkiri, berkat keluarga juga akhirnya kini bisa menerima. \"Alhamdulillan istri sampai detik ini masih bertahan dan mau menunggu. Ke sini sering. Keluarga ibu, anak, semua mendukung. Saat mereka ke sini saya senyum. Saya tidak menunjukkan rasa sedih lagi,\" ujarnya. Metode inilah yang kerap digunakannya jika dirinya juga ingat masa-masa berkumpul saat Ramadan. Sesuatu yang tidak dirasakannya sudah lama. \"Ya kalau saya ingat keluarga, saya langsung praktikkan,\" ujarnya. Selain bisa membuang emosi negatif, dari segi fisik, berat badannya juga bertambah. Saat ditahan di Rutan Sukabumi, berat badannya 65 kg. Selama di Cirebon berat badannya menjadi 75 kg. Padahal makanannya sama. \"Ya setelah saya menerapkan terapi itu semuanya, kenyataan tidur saya tenang. Pikiran saya jernih dan merasakan ada bahagia dan harapan lagi,\" jelasnya. Proses perubahan itu tidak serta merta. Kepala Lapas Klas I Cirebon Heni Yuwono mengatakan pembinaan napi di lapas itu ada dua jenis pembinaan kepribadian dan keterampilan. Tapi yang cukup berhasil dan bisa mereka rangkul warga binaan adalah program meditasi dan psikoterapi yang diberikan kepada setiap napi yang baru masuk. \"Mereka di luar pikirannya melayang tidak karuan. Merasa salah dan orang terhina. Di sini, setiap masuk wajib mengikuti terapi psikologi. Dari situ kita lakukan meditasi. Bimbingan psikologis. Untuk membangkitkan rasa percaya diri bahwa semua orang pernah berbuat salah. Merenung sampai menagis dan menyadariuntuk menebus kesalahan,\" jelasnya. Setelah dibimbing secara psikologi, selama satu bulan, kemudian pembinaan dilanjutkan dengan bimbingan kerohanian. Ini fungsinya untuk memantapkan jiwa para napi. Setelah memiliki jiwa yang mantap, ditumbuhkan harapannya. \"Agar mereka punya hope. Kita latih juga keterampilan untuk bekal mereka agar siap kembali lagi ke masyarakat,\" ujar Heni. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait