Beban Itu Hilang, Kini Salat Lima Waktu Tak Pernah Putus

Sabtu 26-05-2018,08:08 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Ada yang berbeda saat Samanta Hadi Zein masuk Lapas Klas I Cirebon. Ini kali pertama dia merasakan Ramadan di Cirebon. Sembilan bulan lalu dia pindah dari Lapas Bulak Kapal Bekasi. JAMAL SUTEJA, Cirebon SENYUM mengembang di bibir Samanta Hadi Zein. Pria 62 tahun itu sudah terlihat tegar. Tak ada beban lagi. Suasana kebatinan saat ini ikut memengaruhi raut mukanya. Peristiwa tahun 2015, tepatnya menjelang Ramadan, sudah berangsur diterima dengan hati terbuka. Dia ditahan di Polda Metro Jaya atas perkara UU 8/2010 mengenai tindak pidana pencucian uang. Dia divonis hakim 12 tahun penjara. Saat awal menjalani vonis hukuman itu, berbagai cara dia lakukan. Mulai dari banding hingga kasasi. Namun tetap tidak membuahkan hasil. \"Ada aliran dana haram yang masuk ke perusahaan saya. Saya tidak merasa, karena ada harta saya, tapi setelah ada rekening saya diblokir, harta saya disita. Saya mulai merasa gundah. Kalau dibandingkan uang yang saya terima dengan uang yang disita itu jauh lebih banyak yang disita. Sehingga saat itu saya berusaha melakukan banding dan kasasi,\" ujarnya saat berbincang dengan Radar Cirebon, kemarin. Semenjak kasasinya ditolak, lalu dipindahkan dari Lapas Bulak Kapal ke Lapas Cirebon, sembilan bulan yang lalu, dia mengalami depresi berat. Merasa masa depannya sudah hancur. Perusahaan kontraktor yang dirintis dari awal selesai kuliah sudah bangkrut. \"Awal saat saya dioper ke sini (Lapas Cirebon) saya merasa sudah babak belur kok masih dizalimi lagi dipindahkan ke lapas yang jauh sama keluarga. Semua keluarga saya di Jakarta,\" jelasnya. Namun nasib buruk, tak selamanya buruk. Sebab di Lapas Klas I Cirebon itu dia mulai menemukan cahaya hidayah. Saat pertama kali masuk dia dipertemukan dengan Sri Sasongko, yang mulai bisa mengembalikan kondisi mental, fisik, dan pemikirannya. \"Secara spiritual saya kembali. Yang dulunya tidak bergairah lagi, alhamdulillah sekarang saya menerima atas takdir Allah. Ini (nasib buruk, red) bentuk cinta kasih Allah terhadap saya dan keluarga,\" jelasnya. Masih beruntung, dirinya masih dipercaya oleh Allah memiliki istri dan keluarga yang masih mendukungnya. Keluarganya sebulan sekali besuk ke Cirebon. Samanta kini bergabung dengan tim psikoterapi. Ada kepercayaan dirinya yang kembali tumbuh. Paling tidak dirinya bisa bermanfaat lagi buat orang lain. \"Saya merasa ada kepercayaan diri saya tumbuh di situ,\" katanya. Pengalaman yang dialami itu dengan mengikuti psikoterapi saat pertama kali masuk. Mampu mengembalikan hidup dari yang dulu terpuruk, hingga mengangangkat mentalnya.  Begitu juga dengan spiritualnya. \"Saat berada di luar lapas, ibadah saya yang mungkin dulu di luar berantakan, di sini alhamdulillah tidak pernah tertinggal salat lima waktu. Dulu salat hanya menggugurkan kewajiiban, di sini seperti sebuah kebutuhan,\" ujarnya. Hal ini berangkat dari psikoterapi yang diberikan. Dia masuk ke lapas karena masih berpikir tidak rasional. Dia mulai menyadari kesalahannya. Kondisi dirinya masa lalu, terlalu percaya diri dengan kesuksesanya. Dia memiliki status sosial, materi yang banyak, juga ilmu yang dimiliki. Namun dirinya melupakan peran Allah. \"Waktu dulu saya melupakan peran Allah,\" jelasnya. Hingga akhirnya dia mulai bisa memaafkan orang yang menzalimi dirinya. Kini dia justru malah berterimakasih kepada orang yang memasukkan dirinya ke lapas. Karena membuat hidupnya lebih baik di mata Allah. Ternyata Allah memberikan pesan cinta di sini, yang jauh lebih indah. Kebahagiaan yang didapatkan di lapas, bukan dengan harta melimpah, rumah mewah, pergaulan dan status sosial yang tinggi. \"Itu tidak ada apa-apanya. Dengan menerima pemberian Allah, hati kita sudah merasa cukup,\" ucapnya. Saat menjalani psikoterapi itu dia tergugah dengan materi Menyadari Kesalahan. Dengan materi terapi itu, dirinya bisa berpikir rasional. Dia mulai menanamkan kepercayaan dalam hatinya. Tidak ada kejadian sekecil apa pun tanpa seizin Allah. Semua sudah ditakdirkan, hingga perlahan semua diterima dengan hati lapang. \"Saya tentu ucapkan terima kasih kepada anak dan istri yang dulu hidup mewah serba ada. Dengan saya di penjara, anak saya jadi lebih mandiri, punya wawasan untuk membantu orang tua, kakak, dan adiknya. Kalau saya tidak di lapas, mungkin tidak seperti itu, mungkin masih meminta sama ayahnnya,\" kata pria yang memiliki 8 anak dan satu cucu itu. Dia benar-benar merasakan cahaya hidayah di dalam hati. Di lapas, ketika dia mendengar azan, dia langsung mendirikan salat. Saat malam dia tahajud. Hingga tidak terasa air matanya mengalir. \"Dulu boro-boro salat bisa nangis. Karena dikejar waktu, dikejar target pekerjaan kita. Saya merasa ini sekolah yang sangat mahal sekali,\" katanya. Sudah tiga tahun ini dirinya tidak merasakan kehangatan di tengah keluarga. Hal itupun yang sama dirasakan oleh keluarganya di rumah yang kehilangan sosok kepala keluarga. Sehingga, saat keluarganya menjenguk, dia dengan nada tegas, mengatakan agar jangan takut dengan masalah ekonomi. \"Saat ini ayah sedang berbisnis dengan Allah. Jadi Allah tidak akan ingkar janji,\" tukasnya. Hingga saat ini, anaknya yang ketiga sudah mulai masuk kuliah. Entah dari mana biayanya. Namun dia percaya Allah yang memberikannya jalan. \"Kalau dipikir bagaimana ayahnya di penjara, punya anak delapan, bisa sekolah makan dari mana. Saya yakin semua itu dari Allah,\" terangnya. Lewat terapi, Samanta kini merasakan sesuatu yang berbeda. Dirinya pun ikut bergabung menjadi tim sebagai konselor membawakan materi menyadari kesalahan dan rasional emosi terapi. \"Jadi kadang juga saya ditugaskan untuk mengisi materi SEFT II. Kita sebagai tim saling mendukung. Semua itu satu kesatuan. Yang pada intinya begitu keluar, mental dan spriritual kita jadi lebih baik,\" tuntasnya. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait