JIKA ada yang mengklaim dirinya sebagai kedai kopi pertama di Cirebon, maka sesungguhnya ia lahir 136 tahun setelah Warung Tinggi Tek Sun Ho yang didirikan Liaw Tek Soen di Hayam Wuruk Jakarta (Coffeeland Indonesia). Sebuah jarak yang terlalu panjang bila hendak dibandingkan, sebuah peradaban yang terlalu rumit untuk dipertemukan. Bila masyarakat Minangkabau memiliki tradisi lisan kaba babarito (mengungkap sebuah pesan dari mulut ke mulut) melalui kebiasaan maota di lapau (mengobrol di lepau, rumah makan) yang merupakan salah satu cara bagi laki-laki di Minangkabau untuk berkomunikasi dan bersosialisasi, apakah keberdirian kedai kopi di seluruh penjuru negeri mewarisi spirit yang hampir sama? Sebuah ruang yang di dalamnya berlangsung transformasi nilai antarsesama penikmat kopi? Kalau menggunakan ukuran sebagaimana lazimnya platform bisnis jasa, pertanyaan saya di atas akan sangat mudah dijawab. Dan, tulisan ini juga akan berakhir sampai di sini. Itu artinya, logika kapital dengan nalar sosial bukanlah pasangan ideal. Terlalu banyak yang harus dikorbankan jika tetap dipaksa untuk dikawinkan. Lantas, samasekali tidak ada celahkah untuk membuatnya sekadar berdampingan? Misalnya saja, ada ruang kecil yang sengaja diciptakan untuk memadupadankan cita-cita sosial tanpa harus menggerus kepentingan bisnis? Apakah keinginan di atas muluk-muluk dan tidak rasional? Sekadar menyebut nama, lebih dari dua puluh tahun lalu, Kedai Kebun di Jalan Tirtodipuran Yogyakarta menyodorkan konsep tempat ngopi untuk diskusi dan pertunjukan. Secara berkala, Kedai Kebun mengagendakan tema seputar sastra, musik, seni rupa, teater, dan perbincangan kebudayaan dengan sejumlah tokoh yang kompeten di bidangnya. Restoran Kedai Kebun adalah beranda Kedai Kebun Forum Art Space. Maka, jelaslah, tempat ini berupaya menjadikan logika bisnis untuk membiayai cita-cita dan nalar kebudayaan di ruang bagian belakang. Kedai Kebun menjadi penanda bergesernya pertemuan, perbincangan, dan aktivitas kebudayaan dari ruang yang kaku dan formalistik semacam gedung kesenian atau taman budaya, kepada ruang kecil yang lebih comfortable. Sampai kemudian, gagasan ini secara massif diadopsi oleh para pelaku kebudayaan dan pemilik modal lain dengan ragam bentuk, cara, dan agenda yang dilangsungkan di dalamnya. PERUBAHAN GAYA HIDUP Sedikit kilas balik, sebelum lima tahun terakhir, yang disebut tempat nongkrong (sekadar menyebut nama) semacam KFC, McD, Pizza Hut, atau kafe-kafe yang diperuntukkan bagi yang sekadar ingin menikmati hidangan instan dan cepat saji. Tempat-tempat itu, hampir seluruhnya dibangun oleh logika kapital dan atau korporasi. Segmentasi pasar disusun berdasarkan selera global. Secara sistematis, lidah masyarakat kita dipaksa untuk memamah hidangan beraroma asing. Kecenderungan gaya hidup masyarakat pun drastis bergeser menjadi konsumtif. Fakta perilaku yang tidak cukup jelas akar tradisinya. Reza A A Wattimena menulis, perilaku konsumtif adalah gejala umum di kalangan masyarakat sekarang ini. Orang membeli barang yang tak sungguh ia butuhkan, melainkan karena sekadar ikut trend, atau untuk memperoleh pengakuan sosial yang sifatnya sementara dan rapuh. Kepercayaan dirinya pun diukur dari sejauh mana ia mampu membeli barang-barang yang ada. Aku membeli, maka aku ada, begitulah semboyan mereka. Ada juga yang membeli untuk mengisi kekosongan hatinya. Ia berpikir, kesepian bisa terusir dengan membeli barang-barang baru. Tentu saja, ini adalah kesalahan berpikir. Membeli barang-barang untuk mengisi kekosongan hati justru akan menciptakan kekosongan yang lebih dalam, ditambah dengan habisnya uang. Mungkin, dahulu, tempat-tempat semacam itu menjadi prestasi dan prestise tersendiri disebabkan sulitnya akses transportasi dan masih jarangnya media informasi yang dapat menjembatani percepatan pengetahuan. Karenanya, hanya sebagian kecil masyarakat saja yang dengan mudah bisa menikmatinya. Tetapi, hari ini, batas-batas itu tidak berlaku lagi. Bahkan, jarak dan waktu bisa dilipat sesuai selera. Segaris dengan itu, perilaku juga turut berubah. Kecenderungan terakhir yang paling mudah dibaca dan tujuan mengonsumsi sesuatu adalah untuk memenuhi hasrat (passion) sesaat dan terbelinya suasana tempat. Tidak banyak yang peduli rasa dan harga, asal dua kategori itu terpenuhi. Tapi, benarkah seluruhnya hanya mengejar itu? Tumbuh cepatnya kedai-kedai kopi di Cirebon seolah memberi jawaban atas ruang-ruang alternatif yang dibutuhkan oleh masyarakat bukan peminat gaya hidup di atas. Mulai dari kedai yang mengusung konsep franchise di pusat perbelanjaan dengan harga sewa booth yang tidak bisa dikatakan murah sampai kedai yang menjajakan produk merek lokal menggunakan gerobak dengan lapak serba sempit. PENGUATAN NALAR KONSUMEN Ngopi kemudian menjadi gaya hidup baru dan addict. Kedai-kedai menawarkan menu dan membentuk selera. Ruang-ruang yang diandaikan sebagai alternatif untuk menjembatani keakraban dan rasa nyaman, kian tak terbendung. Nama-nama dan jenis kopi lokal seketika popular. Ada Gayo, Papua, Malabar, Manglayang, Puntang, Sindoro Wine, Gunung Halu, menjadi unggulan dan suguhan favorit. Publik seperti eksodus dan menemukan tautannya. Kebiasaan menikmati kopi sachet beralih ke kopi racik. Pengamatan kecil penulis terhadap kehidupan sebagian kedai kopi di Cirebon, konsumen terbanyak didominasi kalangan mahasiswa. Dari pemburu WiFi untuk bermain Mobile Legend hingga pencari referensi online untuk tugas makalah. Sedikit di antaranya juga menyelenggarakan diskusi publik. Namun, secara umum, transformasi pengetahuan mengenai seluk-beluk kopi bagi konsumen belum menjadi motivasi dan kesadaran sebagian besar pemilik kedai. Memang, semua butuh proses. Tapi setidaknya, motivasi dan kesadaran itu bisa ditunjukkan dengan cara memilih barista yang benar-benar paham dunia kopi. Ia juga tidak segan untuk berbagi pengetahuan dengan konsumen secara intens. Agar penjual kopi tidak sebatas mendagangkan produk dan konsumen berakhir hanya sebagai objek penikmat. Belum lagi, sikap waspada terhadap kemungkinan barista atau pemilik kedai yang nakal, menyuguhkan hidangan berkualitas buruk dengan harga setara kualitas terbaik. Bukan tanpa alasan, cara ini ditempuh sekaligus untuk lebih mendekatkan potensi kopi lokal di hadapan masyarakatnya sendiri. Penghargaan konsumen terhadap kekayaan alamnya diharapkan tumbuh melalui cara-cara edukatif dan sederhana. Tidak perlu berlebihan dengan membuat kursus atau agenda sejenis. Relasi mutual idealnya menjadi agenda prinsip bagi setiap pemilik kedai kopi. Platform bisnis jalan beriring bersama penguatan nalar konsumen. Pertanyaan berikutnya, adakah upaya lebih jauh terkait penguatan nalar konsumen yang tidak sekadar transformasi pengetahuan dunia kopi? Misalnya saja, ruang-ruang terbuka itu juga dimanfaatkan untuk menjadi sarana bertemunya peristiwa dialektika. Mengingat konsumen yang didominasi mahasiswa, sangat memungkinkan untuk membangun poros-poros ilmiah yang membincangkan banyak tema dan persoalan. Bisa dengan memfasilitasi forum-forum diskusi yang dirancang secara sungguh-sungguh sebagai bagian penting dari cara berpikir kritis pemilik kedai itu sendiri. Memang, beberapa kedai kopi tersiar menyelenggarakan event diskusi publik dan pertunjukan-pertunjukan. Tetapi, saya membaca, seluruh peristiwa itu tidak berangkat dari inisiatif atau pikiran pemilik kedai. Inilah yang, saya pikir, dapat menjadi pengecualian sikap dan karakter sebuah kedai kopi di antara sebagian besar kedai lain yang hanya mengedepankan logika untung rugi. Kedai kopi juga berperan sebagai medium berlangsungnya gerakan intelektual, sosial, kebudayaan, secara terstruktur dan sistematis. Menjadi ruang santai, ekspresi, juga penggerak konstruksi pikir yang progresif. Maka, mungkinkah kedai-kedai kopi di Cirebon dapat mengadopsi gagasan dan tradisi lepau sesuai konteks yang ada? Ataukah, memilih untuk mengambil inspirasi dari segala kebaikan yang dijalan-pertahankan Kedai Kebun? (*) *Oleh: Edeng Syamsul Maarif. Penulis adalah pegiat Ngopi Rabu Malam komunitas sastra Lingkar Jenar pencinta Kopi Mubtada
Kedai Kopi dan Penguatan Nalar Konsumen
Sabtu 30-06-2018,14:04 WIB
Editor : Husain Ali
Kategori :