Geliat Ekspor Rotan Cirebon di Tengah Naiknya Dollar

Jumat 17-08-2018,03:00 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON-Ekspor rotan di tengah naiknya kurs dollar AS, menjadi berkah tersendiri. Akan banyak keuntungan tambahan. Meski begitu, tidak sedikit tantangan yang kini dihadapi para pengusaha rotan. Bicara mengenai dollar naik, Pemilik CV Anggun Rotan, Eddy Sugiarto mengatakan bahwa itu hal yang biasa. Sebagai eksportir, ada keuntungan tambahan dari selisih ini. Tapi perlu diingat, bahwa beberapa komponen yang diperlukan industri mebel rotan juga masih bergantung pada pergerakan naik turunnya dollar. Karena, ada sebagian yang mengandung komponen impor. \"Untuk eksportir itu yang terpenting dalam hal kurs dollar itu adalah kondisi kurs yang stabil, bukan naik turun,\" tuturnya kepada RadarCirebon. Apabila kondisi dollar stabil, eksportir bisa memiliki kepastian harga dalam penghitungan produksi dan lain sebagainya. \"Karena seperti yang saya sebutkan, masih ada beberapa komponen yang didapat dari impor,\" ujarnya. Eddy tak memungkiri, secara perlahan, industri rotan memang menunjukkan kenaikan. Termasuk saat ini ketika dollar mengalami kenaikan. Karena pada dasarnya, semua produk furnitur rotan disukai buyer. Apalagi sekarang tren penggunaan material yang ramah lingkungan dan berkelanjutan menjadi poin utama perhatian para buyer. Rotan pula yang merupakan bahan baku ramah lingkungan dan berkelanjutan. \"Sekarang trennya ke rotan alami, walau memang masih ada pasar untuk rotan sintetis. Tapi perhatian dunia akan bahan baku ramah lingkungan sangat besar,\" ujarnya. Untuk saat ini, Cirebon adalah eksportir mebel rotan terbesar dunia. Berbagai harga jual tersedia tergantung dari kualitas. Mulai dari kualitas biasa sampai yang kualitas tinggi ada. Dengan pasar Amerika yang masih terbesar, disusul Eropa, ada sebagian Timur Tengah, Afrika, Australia, dan Asia. \"Kalau saya pribadi masih perusahaan skala kecil menengah, kemampuan kami paling di sekitaran 5 hingga 10 kontainer sebulan untuk diekspor,\" ungkapnya. Hal senada disampaikan Pemilik CV Vima, Indra. Ia tak menampik jika dirinya senang dollar naik. Secara nilai, ada tambahan nilai untuk para pengekspor. \"Ada selisih kurs dari hitungan pokoknya,\" katanya. Tetapi, ada hal yang perlu diingat. Bahwa sebaiknya kurs stabil. Daripada melonjak seperti ini. Sebab ada komponen-komponen di dalam ekspor yang juga menggunakan produk impor, sehingga akan berpengaruh terhadap dollar. \"Misalnya cat, bahan bakunya kan dari luar, nah itu kalau dollar naik otomatis pengaruh ke pengeluaran kita. Maka sebaiknya stabil, kalau kondisi kaya sekarang, banyak buyer juga yang pintar, mereka tahu dollar lagi naik, akhirnya nego, minta banyak diskon ke kita,\" bebernya. Apalagi di tengah kondisi persaingan bebas saat ini. Seperti negara Vietnam dan Tiongkok yang ikut menjual rotan. \"Harga memang bukan segalanya tapi kualitas yang nentukan. Makanya, banyak juga buyer yang suka rotan alami akhirnya tetap kembali lagi ke Indonesia karena Indonesia masih pegang kualitas sebagian besar,\" katanya. Yang terpenting adalah, kata Indra, pemerintah mampu berjuang mencegah ekspor bahan baku rotan. Pemerintah harus sadar bahwa rotan itu eksklusif. \"Hanya rotan Indonesia yang terbaik yang bisa dibikin furniture. Jangan sampai satu batang rotan keluar ke luar negeri dalam bentuk bahan baku. Haram hukumnya. Jadi, ketika Vietnam dan Tiongkok tidak punya bahan baku, maka buyer akan kembali nyari rotan ke Indonesia,\" pungkasnya. Terpisah, Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Kabupaten Cirebon mencatat, nilai ekspor produk rotan setiap tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan data realisasi ekspor tahun 2016, volume kontainer komoditi mebel rotan 11.246. Sedangkan di tahun 2017 ada 7.445 kontainer. Kabid Perdagangan Disdagin Kabupaten Cirebon Dadang Heriyadi mengatakan, meski volume kontainer itu berbeda dari tahun 2016 ke 2017, tapi harga komoditi rotan setiap tahun mengalami peningkatan. \"Nilainya beda. Ekspor itu kan justru menguntungkan pengusaha rotan, karena dari nilai rupiah disulap menjadi dollar,\" ujar Dadang kepada RadarCirebon, saat ditemui di ruang  kerjanya. Dia menyampaikan, realisasi ekspor rotan ke negara Asia, Amerika, Eropa, Australia di tahun 2016 adalah 110.876.392,67 dollar AS. Kemudian di tahun 2017 meningkat menjadi 219.447.432,83 dollar AS. Sedangkan, di tahun 2018 pihaknya belum bisa merekap seluruh nilai dollar. Sebab, rekapitulasi dilakukan setiap setahun sekali. \"Kalau tahun 2018, data kita masih perbulan, itupun per PT maupun CV. Jadi, belum bisa diakumulasikan. Meski demikian, nilai ekpor dipastikan meningkat pesat. Walaupun di akhir tahun 2017 lalu, para pengusaha mengeluh kesulitan bahan baku. Tapi, sekarang sudah tidak lagi, dan ekspor pun berjalan lancar,\" terangnya. Dia menjelaskan, nilai tersebut hanya satu komoditi. Sedangkan jenis komoditi ekspor dari Kabupaten Cirebon ada 48 jenis, yang salah satunya adalah mebel rotan atau rattan furniture. Jika diakumulasikan dari 48 jenis komoditi, nilai ekspor di tahun 2016 mencapai 375.051.305,00 dollar AS. Dan di tahun 2017, nilainya mencapai 427.644.574,78 dollar AS. Menurut dia, kesulitan bahan baku kala itu membuat para pelaku usaha berputar otak untuk memenuhi kebutuhan ekspor ke Negara-negera luar. Salah satunya, menggunakan bahan baku sintetis. Padahal, bahan baku sintetis itu sendiri impor dari Tiongkok. “Selama ini bahan baku kayu rotan diambil dari Kalimantan dan Sulawesi,” paparnya. Dia mengungkapkan, bahan baku dari Sulawesi dan Kalimantan itu per kilonya hanya Rp2 ribu. Tapi, setelah di Cirebon harganya mencapai Rp20 ribu per kilo. Memang biaya transportasi dan banyak tangan yang membuat harga bahan baku melambung tinggi. “Dengan harga Rp2 ribu di Kalimantan dan Sulawesi, sebetulnya membuat kita ketar-ketir, khawatir ketika keran ekspor rotan dibuka, bahan baku akan dilempar ke luar negeri semua. Sebab, harganya tinggi dibandingkan dalam negeri. Ini yang membuat kita risau, khawatir akan ada penyelundupan bahan baku,” tandasnya. (nda/sam)

Tags :
Kategori :

Terkait