Dari Jondol Kisah Peteng Petrus Era 1980-an

Rabu 05-09-2018,10:14 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Saat peristiwa dengan nama Petrus juga didengar warga Cirebon, sebut saja Rosidi, ia mengaku perlu hidup 25 tahun untuk sekadar mendengar riwayat peristiwa itu. Malam itu, ia bersama anak-anak muda berkumpul di jondol,  semacam balai persegi yang ditopang empat buah tiang dari kayu dolog atau bisa juga bambu besar. Jondol dibuat seperti rumah panggung dengan dindingnya tertutup setengah dan di salah satu dindingnya terbuka, dimaksudkan untuk pintu. Kadang, keempat sisi jondol dibuat terbuka semua, agar siapapun bisa leluasa masuk. Sementara lantainya terbuat dari bilah bambu ataupun papan kayu. Tema obrolan di jondol pun tidak pernah dikomando dan meluncur sendiri tanpa ada yang mengetahui dari mana ujung pangkalnya? Tak jelaslah siapa moderator, narasumber dan mana panelisnya. Barangkali jondol,  adalah salah satu tradisi lisan masyarakat Cirebon. Saat itu, salah seorang pria berusia 67 tahun, Sukarya, menceritakan kengerian peristiwa Petrus, begitu dia menyebutnya. “Dulu, waktu tahun 80-an, semua orang yang bertato ditembak di tempat. Mayat-mayat mereka dimasukkan ke dalam karung dan dipertontonkan di depan umum,” katanya, khas orang bercerita. Sukarya, pria yang sudah punya dua orang cucu itu bercerita kembali, seakan membuka luka lama masyarakat terhadap peristiwa yang membuat bulu kuduknya merinding itu. Dia menegaskan bahwa Petrus adalah nama seorang jenderal ABRI yang anak perempuannya diperkosa dan tewas di terminal di Jakarta. Anak perempuan Si Petrus itu, menurutnya, diperkosa oleh preman-preman terminal yang bertato. Sejak peristiwa tersebut, Petrus pun memerintahkan anak buahnya dari Sabang sampai Marauke untuk memberi pelajaran kepada para preman bertato. “Pokoknya yang punya tato dia langsung ditembak. Tak pandang itu sebenarnya preman apa bukan? Kasian juga saat itu banyak anak-anak muda yang gaya-gayaan memakai tato, padahal dia bukan preman,” lanjut Sukarya kepada Rosidi. Cerita Sukarya mengingatkan suatu malam di bulan Juli 1983, mobil Toyota Hardtop yang dikemudikan Bathi Mulyono baru saja melintasi jalan Kawi, Semarang ketika dua motor menyalip kencang dan “dor..dor..” suara pistol menyalak. Dua peluru menembus mobil. Nasib naas masih jauh dari hidupnya. Bathi menginjak pedal gas dan melesat menembus kegelapan malam. Sang penembak pun kabur entah ke mana. Bathi Mulyono bukan sembarang preman. Dia ketua Yayasan Fajar Menyingsing, organisasi massa yang menghimpun ribuan residivis dan pemuda di daerah Jawa Tengah. Organisasinya  itu dibekingi oleh Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto dan pengusaha Soetikno Widjojo. Dengan “restu” elite penguasa daerah, Bathi menjalankan bisnisnya mulai dari jasa broker sampai dengan lahan parkir di wilayah Jawa Tengah. Bathi dan kawan-kawannya salah satu kelompok yang digunakan oleh Golkar dalam kampanye Pemilu 1982. Tugasnya memprovokasi massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sedang berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Insiden itu  dikenal sebagai  peristiwa Lapangan Banteng. Sejumlah korban berjatuhan. Beberapa orang ditangkap atas tuduhan mengacau. “Saya memakai jaket kuning, dalamnya kaos hijau,” kenang Bathi Mulyono. Tapi Bathi dan kawan-kawan tak tersentuh. Ali Moertopo dituduh berada di belakang peristiwa itu dan tak beberapa lama kemudian Soeharto “membuangnya”. Ian Wilson dalam tulisannya “The Rise and Fall of Political Gangster”  pada buku Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society diungkapkan jika keterlibatan preman di dunia politik berakar jauh dalam sejarah. Jenderal Nasution pun pernah menggunakan jasa mereka untuk menekan Presiden Sukarno membubarkan parlemen. Sementara itu Robert Cribb menyuguhkan fakta tentang keterlibatan bandit dalam politik dimulai sejak zaman revolusi kemerdekaan. Pada zaman Petrus, ternyata afinitas politik belum tentu bisa menjamin keselamatan seorang preman. Tokoh sekaliber Bathi pun tetap jadi incaran eksekutor. Sejumlah pentolan organisasi preman pun dicokok dan dihabisi nyawanya tanpa pernah ada yang tahu keberadaan mayatnya. Tokoh-tokoh Prem’s yang juga jaringan Fajar Menyingsing telah lebih dulu dihabisi, antara lain Eddy Menpor dan Agus TGW. Mayat mereka tak pernah ditemukan dan keluarga yang ditinggalkan pun tak tahu harus mencari dan mengadu kepada siapa. Pada 10 Juli 1983 halaman Minggu koran Merdeka secara khusus memberitakan tentang derita yang dialami oleh istri kedua pentolan preman Jakarta itu. Berita di koran-koran yang terbit pada masa itu pun hampir seluruhnya menampilkan penemuan mayat-mayat bertato dengan dada atau kepala berlubang ditembus peluru. Dalam sehari, di berbagai kota, hampir dapat dipastikan ada mayat-mayat dalam keadaan tangan terikat atau dimasukan ke dalam karung yang digeletakkan begitu saja di emperan toko, bantaran kali, dan di semak-semak . Berdasarkan pemberitaan media massa yang terbit pada saat itu, sejak awal Januari 1983 Kodam Jaya telah memulai operasi pemberantasan kejahatan dengan nama “Operasi Celurit”. Dalam operasi itu, Kodam Jaya berada langsung di bawah komando Pangkopkamtib Sudomo. Menurut keterangan Soedomo pada Sinar Harapan, 27 Juli 1983 operasi itu tidak hanya ditujukan untuk menindak pelaku kejahatan, melainkan juga untuk menginventarisasi nama-nama pelakunya. Sejak saat itu, persoalan Petrus yang semula dilakukan secara rahasia lambat laun tersebar di masyarakat dan bahkan mendapatkan perhatian dari dunia luar. Sejumlah organisasi, antara lain Amnesti Internasional, menyoal pembunuhan yang sadistis itu. Namun surat Amnesti Internasional dianggap sepi oleh pemerintah. Yoga Sugama menilai pembunuhan terhadap preman “Merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan,” katanya seperti dikutip dari Harian Gala, 25 Juli 1983. LB Moerdani, panglima yang disebut-sebut sebagai salah satu desainer operasi Petrus itu mengatakan kalau peristiwa itu dipicu oleh perang antargenk. Benny berdalih pembunuhan-pembunuhan itu tak melibatkan tangan ABRI. Sementara itu Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, punya dalih lain. Dia menuturkan kalau Petrus ditujukan sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera. Setelah saling-silang pendapat di masyarakat dan tekanan dunia internasional, akhirnya pemerintah Orde Baru menghentikan sama sekali operasi tersebut pada 1985. Sejak dimulai pada pengujung 1982 sampai dengan berakhir ada sekira seribu lebih korban tewas. Berdasarkan data Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), puncak tertinggi korban petrus terjadi pada 1983 dengan jumlah 781 orang tewas. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait