Sebelum 1951, Oei Wie Gwan adalah pemilik pabrik mercon di Rembang. Menurut Amen Budiman dan Ong Hok Ham dalam Rokok Kretek: lintasan sejarah dan artinya bagi pembangunan bangsa dan negara , mercon bikinan Oei dipasarkan dengan merek \"Leo\" dan sangat terkenal di seluruh Jawa. Ia memulai bisnis mercon pada 1930-an. Dalam catatan Jongki Tio di buku Kota Semarang Dalam Kenangan, mercon cap Leo dikirim juga ke luar negeri, bahkan mereknya masih dipakai meski pabriknya sudah tutup. Bisnis mercon tak selamanya benderang seperti percikan kembang api. Jika api salah menyala, pabrik mercon bisa meledak. Ada berita lawas di harian Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 28 Januari 1938 yang menyebut pabrik mercon meledak di Rembang. “Pabrik kembang api Oei Wie Gwan di Rembang terbang ke udara sepuluh menit sebelum jam dua siang. Lima pekerja pabrik tewas seketika, 22 luka berat dan 14 luka ringan. Dari yang terluka berat, sembilan orang tewas di rumah sakit.” Sebagai orang Tionghoa-Indonesia, Oei Wie Gwan terus berbisnis. Mau krisis atau perang, dia harus berbisnis. Perang Pasifik yang disertai pendudukan Jepang pun harus dia lalui. Setelah Indonesia merdeka, Oei memulai langkah penting dalam hidupnya. Dia membeli sebuah pabrik rokok kretek kecil di Kudus pada 1951. Setelah mercon, Oei Wie Gwan mencoba peruntungan di bisnis rokok—tak jauh dari memproduksi barang yang harus dibakar. Pabrik yang dibeli Oei bernama Djarum Gramophon, sesuai lambang usahanya. Namanya kemudian disingkatnya menjadi Djarum. Menurut catatan di situs resmi PT Djarum, pabrik yang terletak di Jalan Bitingan Baru nomor 28 (kini Jalan Ahmad Yani) Kudus itu mulai beroperasi dengan 10 orang pegawai. Pekerjaan mencampur cengkeh dan tembakau juga dilakukan dengan sederhana. Oei berada di sana jika tidak sedang mendistribusikan bahan. Selama bertahun-tahun, kretek Djarum belum sesohor sekarang. Djarum masih merangkak di masa terpuruknya perekonomian Indonesia di era Sukarno. Perusahaan tersebut bahkan sempat mengalami jatuh-bangun. “Pada tahun 1963 terjadilah musibah kebakaran yang hampir menghancurkan perusahaan. Oei Wie Gwan meninggal tak lama setelah itu, tetapi putra-putranya, Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono, berhasil memulihkan keadaan,” tulis Rudi Badil dalam Kretek Jawa. Di tangan dua putra Oei tersebut, usaha rokok keluarga Tionghoa ini pun semakin maju. “Hingga 1970an, lintingan tangan dari kretek adalah industri rumah tangga. Sebagian besar pabrik kretek di Kudus berskala kecil,” tulis Richard Borzuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong\'s Salim Group: The Business Pillar of Suharto\'s Indonesia. Djarum kemudian menjadi salah satu dari Empat Besar di dunia industri. Menurut buku tersebut, taipan Liem Sioe Liong adalah kawan Oei Wie Gwan. Mereka sama-sama pernah cari makan di Kudus. Bedanya, Liem lebih dulu melebarkan sayap hingga ke Jakarta. Sementara Oei lebih banyak di Kudus. Setelah Soeharto naik jadi presiden, dunia bisnis mulai menggeliat di Indonesia. Saat itulah Liem berada di puncak kejayaan. Menurut catatan Mark Hanusz dalam Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia\'s Clove Cigarettes (2000), kakak beradik Hartono membangun bagian penelitian dan pengembangan terkait produk mereka sejak 1970. Mesin-mesin untuk meningkatkan produksi juga diperkenalkan di tahun itu. Sejak 1976, produk kretek filter mereka dirilis ke pasar. Pada 1981, mereka meluncurkan Djarum Super yang kemudian jadi produk andalan. Hasil produksi mereka tak hanya berjaya di pasaran dalam negeri, tapi juga merambah ke luar negeri. Sudah pasti dua putra Oei Wie Gwan makin kaya. Setidaknya, mula-mula mereka tergolong orang terkaya di Kudus. Anak-anak Oei Wie Gwan kemudian tak hanya berbisnis rokok. Langkah mereka di dunia perbankan tentu menjadi perhatian. Di masa-masa setelah krisis moneter di Indonesia, menurut Borzuk dan Chng, Djarum membeli saham Bank Central Asia (BCA) yang sebelumnya dimiliki Liem Sioe Liong. BCA merupakan salah satu bank yang diambil alih pemerintah setelah dihantam krisis. Setelah beberapa tahun \"dirawat\" pemerintah, BCA kemudian dilepas lagi. Djarum memilikinya melalui PT Dwimuria Investama Andalan, dengan saham lebih dari 50 persen. Djarum juga menguasai Global Digital International (GDI), sebuah perusahaan yang memiliki media daring bernama Kumparan. Di bidang perhotelan, menurut Deddy Pakpahan dalam Potret industri properti nasional, 1997-2003, lewat PT Cipta Karya Bumi Indah memiliki saham di Hotel Indonesia Kempinski (Eks Hotel Indonesia). Selain itu, Djarum cukup sukses memasarkan superblok dan pusat grosir WTC Mangga Dua. Hingga saat ini, selain dikenal dengan beasiswanya, Djarum dikenal pula dengan bulu tangkisnya. Anak Oei Wie Gwan sudah aktif memajukan bulu tangkis sejak 1970-an. Liem Swie King, dalam autobiografinya, Panggil Aku King, mengaku, dirinya diajak salah satu anggota keluarga Hartono untuk latihan bulu tangkis di klub Djarum Kudus. Usaha besar yang punya hari jadi mirip Hari Kartini ini terus bertahan hingga sekarang. Pemiliknya, Michael dan Robert bahkan termasuk orang-orang terkaya Indonesia. Tak heran, setelah meraih medali perunggu di cabang bridge pada Asian Games 2018, Michael mengaku uang bonusnya akan \"dikembalikan\" untuk pengembangan olahraga banting kartu itu. (*)
Pada Mulanya Oei Wie Gwan Jualan Mercon Hingga Bambang Hartono Pulihkan Keadaan
Rabu 05-09-2018,12:17 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :