Airi Lahan Sawah, Petani Majalengka Habiskan 20 Liter Pertalite Per Hari

Jumat 05-10-2018,23:31 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

MAJALENGKA  - Tidak sedikit para petani Majalengka memilih menanam padi di musim tanam ketiga tahun ini. Seperti halnya petani di wilayah Desa Sepat, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka. Lantaran ketersediaan air yang tidak mencukupi untuk sawah mereka, para petani di desa tersebut kembali memanfaatkan mesin pompa air. Terlebih pasokan air dari hulu sungai harus menunggu giliran. Salah seorang petani di wilayah Sepat, Marita (59) mengatakan, musim kemarau kali ini dirinya sengaja menanam padi. Alasannya, ketersediaan air dari sungai di wilayah Leuwimunding masih cukup bagus. Namun menurutnya, harus bekerja ekstra untuk bercocok tanam padi. Karena lahan seluas 3/4 hektare yang dimilikinya pada panen masa tanam sebelumnya kurang begitu maksimal, sehingga mencoba peruntungan. \"Kita berharap peruntungan di musim ketiga yang biasa ditanam palawija sekarang padi. Tetapi risiko yang dihadapi sudah mulai tampak. Seperti sulitnya mendapatkan pasokan air dan harus mengandalkan mesin pompa. Kondisi ini sedikit membuat saya kerepotan karena ketersediaan air sangat sulit didapat,\" tuturnya, Kamis (4/10). Menurut Marita, pasokan air yang datang dari hulu sungai dimanfaatkan para petani setempat dengan menggunakan pompa penyedot. Minimnya sarana drainase menjadi penyebab petani sebagian menggunakan alat tersebut. Modal yang dikeluarkan petani pun sangat tinggi karena harus membeli pertalite dengan jumlah takaran cukup banyak. Dia mengakui, dari luas areal pertanian miliknya saja bisa menghabiskan 20 liter dalam sehari semalam. Jika dikalkulasi, biaya yang dikeluarkan dirinya pada musim kemarau beberapa minggu saja sudah menelan angka Rp 5 juta. \"Biaya segitu berikut biaya perawatan seperti pupuk sampai dengan modal untuk pompa penyedot air yang sehari semalam menghabiskan 20 liter pertalite. Itu belum tentu bisa balik modal saat panen mendatang karena pertumbuhan padi tidak normal akibat kurangnya ketersediaan air,\" ujarnya. Diungkapkan, padi yang tumbuhnya normal biasanya bisa mendapatkan hasil cukup maksimal. Berbeda sekarang, saat usia padi sudah sekitar satu bulan itu hanya mampu tumbuh beberapa sentimeter saja. Padi miliknya satu bulan mendatang berisi buliran dan perlu air yang cukup banyak. Petani lainnya, Amin (46) menambahkan, untuk satu hektare lahan sawah kalau di MT I dan MT II, biayanya cukup dengan Rp 2 juta. Namun di musim ini biayanya bisa lebih bahkan bisa dua kali lipat. \"Musim ngapat biaya untuk menanam padi sangat mahal tidak sebanding dengan penghasilan. Tetapi mau apa lagi, kalau tidak melakukan ngapat petani di sini mau kerja apa,\" imbuhnya. Namun di balik tingginya pengeluaran biaya, masih ada harapan yang dimiliki petani yakni manakala panen tiba harga gabahnya dipastikan cukup mahal. \"Biasanya harga gabah kering hasil panen ngapat sangat tinggi. Bisa mencapai Rp 650 ribu per kuintalnya. Sangat jauh dengan harga gabah kering hasil panen rendeng yang hanya berkisar Rp 450 ribu per kuintalnya,\" paparnya. (ono)

Tags :
Kategori :

Terkait