Kenapa Jatuhnya Lion Air JT610 Membingungkan Pakar Penerbangan?

Jumat 02-11-2018,01:13 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 membuat para pakar bertanya-tanya, apa sebabnya? Kecelakaan pesawat yang membawa 189 itu juga menambah catatan buruk penerbangan Indonesia. Maskapai Lion Air secara khusus, memang memiliki rekor yang buruk dalam catatan penerbangannya. Cuaca di atas ibukota Indonesia, Jakarta, saat itu cerah dengan sedikit angin. Pesawat itu adalah pesawat Boeing yang baru pertama kali terbang pada bulan Agustus 2018. Namun tak lama setelah pukul 6.30 pagi hari Senin (29/10), setelah lepas landas dengan tersendat yang tidak dapat dijelaskan, Lion Air JT 610 jatuh ke Laut Jawa beserta 189 penumpang di dalamnya. Tidak ada korban selamat yang ditemukan. Urutan yang tepat dari rangkaian peristiwa yang menambah daftar bencana penerbangan di Indonesia tersebut masih belum jelas, dan hanya dapat diketahui begitu perekam data penerbangan dipulihkan dari perairan timur laut Jakarta. Tapi kecelakaan itu terjadi di hari terang dengan cuaca cerah, dan melibatkan pesawat baru. Jadi para ahli mencari tahu untuk melihat apakah masalah mendasar, baik mekanis atau manusia atau keduanya, mungkin telah menyebabkan kecelakaan. “Ini tidak tampak seperti kecelakaan yang lebih normal yang disebabkan oleh sesuatu seperti cuaca atau kondisi pesawat lama,” kata Gerry Soejatman, seorang pakar penerbangan Indonesia. “Hal itu yang membuat kami khawatir.” Salah satu teori ialah bahwa pilot menerima pembacaan ketinggian atau kecepatan yang tidak akurat dari probe yang ditempel di bagian luar pesawat, bagian dari seperangkat instrumen yang sensitif yang disebut sistem pilot-static. Masalah dengan instrumen ini dianggap telah berkontribusi pada kecelakaan penerbangan lain. Masalah semacam itu mungkin menjadi masalah pada malam hari sebelum kecelakaan itu, ketika pesawat Lion Air yang sama mengalami masalah saat terbang ke Jakarta dari Pulau Bali. Keakuratan probe dapat terpengaruh jika mereka membeku, lembab, atau akibat adanya serangga. Pada hari Selasa (30/10) sore, para pejabat transportasi Indonesia mengakui bahwa mereka tidak berbicara dengan awak darat tentang pesawat dan masalah yang dialami setelah meninggalkan Bali. “Kami belum mempertanyakan insinyur atau teknisi dari penerbangan hari Minggu (28/10) karena kami memiliki sumber daya manusia yang sangat terbatas,” kata Ony Soerjo Wibowo, penyelidik keselamatan udara untuk Komite Keselamatan Transportasi Indonesia, yang memimpin dalam penyelidikan kecelakaan Lion Air JT 610. Mungkin juga, kata para ahli, bahwa jenis pesawat yang terlibat dalam kecelakaan itu, Boeing 737 Max 8, yang memasuki layanan komersial hanya sekitar satu setengah tahun yang lalu, mungkin memiliki cacat lain yang belum termanifestasi dalam armada lain sebelumnya karena pesawat ini sangat baru. Namun, para pilot dan analis penerbangan memperingatkan bahwa mereka tidak pernah mendengar pembicaraan tentang masalah seperti itu yang melanda pesawat Max 8 lainnya. Jadi bisakah hal ini menjadi contoh lain dari standar keamanan dan pemeliharaan yang lemah di Indonesia? Lion Air memiliki catatan keamanan udara yang bermasalah, dengan setidaknya 15 insiden besar. Banyaknya masalah perusahaan mencerminkan lonjakan kecelakaan yang melanda seluruh industri penerbangan Indonesia, yang menyebabkan negara-negara Barat melarang maskapai penerbangan Indonesia. Pilot-pilot yang bekerja untuk Lion Air dan maskapai pesaingnya di Indonesia mengatakan pelatihan untuk awak pesawat dan di darat terkadang tidak mengikuti perkembangan terbaru dalam pesawat baru. Dan pakar penerbangan telah mengajukan pertanyaan tentang apakah pilot seperti Bhavye Suneja, kapten Lion Air JT 610, telah mendapatkan pelatihan yang memadai dalam menerbangkan pesawat selama kondisi darurat atau dalam menangani teknologi baru seperti di Max 8. Pesawat 737 Max adalah seri yang paling cepat terjual sepanjang sejarah, kata perusahaannya, dengan hampir 4.700 pesanan di seluruh dunia. Pihak berwenang transportasi di Indonesia mengatakan mereka telah memerintahkan pemeriksaan semua pesawat jet Max 8 yang dioperasikan oleh maskapai domestik. Pada hari Selasa (30/10), Ony, penyelidik keselamatan Indonesia, mengatakan prioritas utamanya adalah menemukan yang disebut dengan kotak hitam, perekam data penerbangan dan perekam suara kokpit, yang mungkin menawarkan informasi penting tentang apa yang terjadi di menit-menit terakhir penerbangan. Para penyelam di lokasi kejatuhan pesawat juga melanjutkan tugas suram untuk mengevakuasi puluhan sisa-sisa jenazah korban, termasuk seorang bayi yang berada dalam penerbangan. Sebuah tim pemerintah Amerika Serikat dan para penyelidik Boeing akan tiba di Indonesia pada hari Rabu (31/10) malam untuk membantu komite keselamatan Indonesia dalam penyelidikan, menurut pihak berwenang Indonesia. Kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 terjadi beberapa menit setelah pesawat lepas landas dari Jakarta pada jam 6:21 pagi hari Senin (291/0), menuju kota kecil Pangkal Pinang di Pulau Sumatra. Sesaat sebelum pesawat itu jatuh, awak pesawat meminta izin untuk kembali ke bandara semula. Penerbangan yang dikapteni pilot Suneja, seorang warga negara India berusia 31 tahun yang telah bekerja untuk Lion Air selama tujuh tahun, kemudian jatuh lebih dari 500 kaki, membelok ke kiri dan melanjutkan naik hingga terbanting ke Laut Jawa sekitar 13 menit kemudian. Jalur penerbangan yang tidak menentu itu tampaknya mencerminkan masalah yang dialami pesawat pada hari Minggu (28/10) malam ketika terbang dari Bali, dan hal itu telah menarik perhatian kepada sistem pitot-static. Malfungsi dalam sistem itu diyakini telah berkontribusi terhadap hilangnya pesawat Air France 447 di atas Samudra Atlantik dari Brazil pada tahun 2009. Bulan Juli 2018, sebuah penerbangan Malaysia Airlines lepas landas dari Brisbane, Australia, dengan selubung masih ditempelkan ke tiga tabung pitot, menyebabkan indikasi kecepatan udara yang tidak akurat. Pesawat terpaksa untuk kembali ke Brisbane tetapi dapat mendarat dengan selamat. Direktur utama Lion Air Edward Sirait menegaskan pada hari Senin (29/10) bahwa pesawat itu mengalami semacam masalah teknis selama penerbangan pada hari Minggu (28/10), tetapi dia tidak mengatakan apa masalah sebenarnya. “Masalah dalam penerbangan bukan hal yang jarang terjadi,” kata juru bicara Lion Air Danang Mandala Prihantoro pada hari Selasa (30/10). “Kami selalu merawat pesawat dan menyelesaikan masalah sesuai prosedur, terutama jika masalah itu tentang keselamatan pesawat.” Namun apabila pesawat memiliki masalah dengan kecepatan yang tidak akurat atau pengukuran ketinggian di sisi kapten, yang tampaknya ditunjukkan dalam log pemeliharaan yang dilihat oleh pakar penerbangan Indonesia, prosedur normal akan kembali ke bandara dari mana ia berangkat untuk pemecahan masalah segera, kata analis penerbangan. Hal itulah yang dilakukan penerbangan Malaysia Airlines pada bulan Juli 2018. Sebaliknya, penerbangan Lion Air JT 610 tetap berlanjut ke Jakarta pada hari Minggu (28/10). Alasan pesawat itu tetap melanjutkan penerbangan adalah salah satu dari banyak misteri seputar kecelakaan itu. “Saya berasumsi bahwa Lion Air telah melakukan semua yang seharusnya dilakukan untuk memastikan pesawat terjaga dengan baik sebelum mengizinkannya terbang pada hari Senin (29/10),” kata Alvin Lie, seorang analis penerbangan Indonesia. “Jika mereka tidak melakukan itu, hal itu menunjukkan kesalahan dalam pengelolaan.” Lion Air, operator bendera Lion Air Group, mulai beroperasi pada tahun 2000 di Indonesia, sebuah negara dengan lebih dari 13.000 pulau tersebar di Khatulistiwa.(*)

 
 
Tags :
Kategori :

Terkait