Wardah yang ITB dan ITB serta Dua Boys Wardah

Rabu 21-11-2018,07:12 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

“SAYA ini hanya menanam akarnya,” ujar Bu Nurhayati, pemilik kosmetik Wardah. \"Anak-anak kami yang membesarkannya,\" tambahnya. Bu Nurhayati punya tiga anak. Yang dua, laki-laki. Mengikuti jejaknya: kuliah di ITB. Hanya beda-beda jurusan. Sang ibu kuliah di farmasi. Anak pertama ambil kimia. Anak kedua belajar elektro. Putrinya yang memilih UI: masuk fakultas kedokteran. Pilih menjadi spesialis kulit. Suami Bu Nurhayati sendiri juga lulusan ITB. Kimia. Di ITB lah cinta bersemi. “Kampus kimia dan farmasi kan berdekatan,\" katanya dengan tersenyum. Nurhayati lulus ITB dengan nilai tertinggi: cum laude. Lalu kuliah apoteker. Keinginan awal Nurhayati menjadi dosen. Dia melamar ke ITB. Ditolak. Nurhayati pulang ke Padang. Membawa pertanyaan tak terjawab: mengapa ditolak jadi dosen. Di Padang Nurhayati bekerja di rumah sakit. Pacaran berlanjut. Jarak jauh. Pacarnya bekerja di perusahaan minyak. Setelah menikah Nurhayati ikut suami: pindah ke Jakarta. Bekerja di Wella. Merk kosmetik yang terkenal kala itu. Yang pasar terbesarnya di salon-salon kecantikan. Belum ada mal di zaman itu. Lima tahun Nurhayati bekerja di Wella. Di bagian laboratorium. Yang memeriksa ramuan ramuan kosmetik Wella. Ketika akhirnya punya anak Nurhayati berhenti bekerja. Merawat anak. Lahir pula anak kedua. Dan ketiga. Ketika anak bungsu tidak menyusu lagi Nurhayati mulai berpikir punya usaha. Yang terpikir pertama langsung kosmetik. Sesuai dengan pendidikannya. Sesuai dengan pengalaman kerjanya. Kosmetik pertamanya itu dia beri merk Putri. Tidak laku.  Tidak ada salon yang mau menerimanya. Tetangganya menyarankan ini: kerja samalah dengan pesantren. Kebetulan tetangga itu keluarga pesantren Hidayatullah. Yang punya jejaring pesantren di mana-mana. Kebetulan juga Hidayatullah punya devisi ekonomi. Berbisnis di banyak bidang. Termasuk ritel. Tim ekonomi Hidayatullahlah yang minta merk Putri diubah. Menjadi Wardah. Artinya: mawar. Disertai tulisan Arab yang berbunyi Wardah. Di logonya. Mulailah Wardah dipasarkan di pesantren-pesantren. Tidak laku. “Santri kan tidak pakai kosmetik,” ujar Bu Nurhayati mengenang. “Waktu itu”. Lalu terjadilah reformasi. Tahun 1998. Rupiah anjlok. Kosmetik impor mahal sekali. Banyak sekali PHK. Korbannya orang-orang yang sudah biasa bekerja. Pada pereode PHK itulah mereka kerja apa saja. Banyak yang terjun ke multi level marketing. Bu Nurhayati memanfaatkan peluang itu. Wardah dimultikan. Mulailah Wardah mendapat celah. Produksi pun meningkat. Rumahnya tidak cukup lagi. Dia beli tanah 1,5 ha. Murah. Di pinggiran Tangerang. Dengan dana sendiri. Akan dibangunnya pabrik di situ. Pelan pelan. Dengan dana sendiri. Kebakaran. Rumahnya terbakar. Pabrik belum jadi. Produksi terhenti. Pasar yang mulai terbentuk terancam: tidak ada lagi suplai. Politik berbalik arah. Setelah reformasi itu. Tuntutan keadilan kian nyaring. Pasca reformasi. Termasuk keadilan ekonomi.  Bank mulai menyalurkan kredit untuk usaha kecil. Nurhayati mencobanya. Minta Rp50 juta. Bank memeriksa kemampuan Wardah. Termasuk menghitung masa depannya. Menilai jaminannya: lebih dari cukup. Bank memberinya kredit Rp140 juta. Pabrik pun jadi. Sederhana.  Anaknya lulus ITB. Mau membantu ibunya. Anak kedua juga lulus ITB. Juga mau ikut di perusahaan. Nurhayati membagi tugas: Anak pertama mengembangkan pasar di wilayah barat Indonesia. Anak kedua di wilayah timur.  Urusan produksi cukup ibunya. Menyangkut resep yang belum waktunya dibagi. Ada pelajaran menarik yang diceritakan Bu Nurhayati. Tentang pembagian tugas anaknya itu. Satu pelajaran manajemen yang mahal nilainya. DUA BOYS WARDAH Dua anak lelaki, dua tipe manusia. Sama-sama hebat. Tapi punya kelemahan masing-masing. Bu Nurhayati, ibu mereka, segera ambil kesimpulan: anak sulung dan adiknya itu memang berbeda. Yang kuliah di ITB jurusan kimia itu lebih kreatif. Tapi kurang rapi. Dalam pekerjaannya. Yang kuliah di ITB jurusan elektro itu lebih tertib dalam bekerja. Juga lebih disiplin. Tapi kalah kreatif. Hasilnya sangat beda. Pasar Wardah di Indonesia wilayah barat lebih maju. Karena dipimpin orang yang lebih kreatif. Tapi manajemen di wilayah Indonesia timur lebih rapi. Karena dipimpin oleh anak yang lebih disiplin. Dua duanya diperlukan oleh perusahaan. Pemilik kosmetik Wardah itu segera ambil langkah. Pembagian tugas di antara dua anaknya itu tidak lagi perwilayah. Nurhayati sudah sampai pada kesimpulan: dua anaknya sama-sama bisa diandalkan. Hanya kemampuan mereka yang berbeda. Maka anak yang kreatif itu diberi tugas bidang penasaran. Tidak lagi hanya di wilayah barat. Seluruh Indonesia. Yang manajemennya rapi tadi ditugaskan memimpin produksi. Bu Nurhayati pun memiliki direktur produksi dan pemasaran. Sang ibu tinggal lebih konsentrasi di riset dan pengembangan. Sang suami berhenti bekerja. Memperkuat perusahaan keluarga. Menangani bidang sumber daya manusia. Dengan pembagian tanggung jawab yang baru Wardah kian maju. Sambil menunggu anak ketiganya lulus. Yang lagi mengambil spesialis kulit itu. Yang akan memperkuat bidang riset dan pengembangan. Kebetulan salah satu menantu Bu Nurhayati juga memiliki kelebihan: bidang keuangan. Bisa diberi wewenang di bidang akuntansi. Wardah lantas meraih kemajuan yang luar biasa. Semua pengendalinya muda.  Kerjanya gila. Hanya anak muda yang bisa bikin kemajuan. Statement saya sejak enam tahun lalu itu terbukti lagi di Wardah. “Anak-anak saya itu yang membesarkan Wardah,” kata Bu Nurhayati. Semua seperti kebetulan. Kebetulan Bu Nurhayati tidak diterima menjadi dosen. Kebetulan diterima oleh Wella.  Kebetulan ditugaskan di bagian lab. Kebetulan memilih memelihara anak daripada terus bekerja. Kebetulan anak-anaknya pintar dan bisa dilepas. Kebetulan memilih bisnis kecil-kecilan daripada kembali bekerja di perusahaan orang lain. Kebetulan rumahnya terbakar. Kebetulan tuntutan keadilan berkembang setelah reformasi. Termasuk keadilan ekonomi.  Kebetulan bank mulai memperhatikan usaha kecil. Wardah dapat kredit kecil. Kebetulan anak-anaknya sudah lulus. Saat perusahaan berkembang. Kebetulan anak-anaknya mau ikut perusahaan ibunya. Kebetulan hijaber lagi berkembang.... Kebetulan. Saya setuju bahwa semua itu pertolongan Tuhan. Tapi saya tidak setuju kalau semua itu sekadar kebetulan.  Saya bisa melihat dengan jelas: semua kebetulan itu karena Bu Nurhayati mengusahakannya. Adakah yang lebih kreatif itu dipengaruhi kuliahnya di kimia? Yang memberikan doktrin eksperimen tanpa batas? Bukankah dunia kimia itu dunia kombinasi tanpa batas? Ataukah memang pada dasarnya lebih kreatif? Adakah yang lebih tertib dan disiplin itu karena kuliahnya di elektro? Yang mengajarkan serba disiplin? Agar tidak korslet? Bu Nurhayati tidak mempersoalkan itu. Juga tidak tertarik mencari penyebabnya. Biarlah itu tugas ilmuwan sumber daya manusia. Yang jelas dua-duanya punya keunggulan. Tinggal ketepatan penempatannya. Bu Nurhayati jeli melihat perbedaan kemampuan anaknya. (dahlan iskan/bersambung)

Tags :
Kategori :

Terkait