Kicauan media sosial Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto menjadi sorotan publik beberapa waktu belakangan. Pasalnya, dalam akun Twitter pribadinya, putri Presiden kedua RI, mendiang Soeharto, itu melontarkan kalimat yang menyinggung orde baru, era kepemimpinan ayahnya. “Sudah cukup… Sudah saatnya Indonesia kembali seperti waktu era kepemimpinan Bapak Soeharto yang sukses dengan swasembada pangan, mendapatkan penghargaan internasional dan dikenal dunia,” demikian kicauan Titiek lewat akun media sosial Twitter @TitiekSoeharto yang diunggah pada Rabu, 14 November lalu. https://twitter.com/TitiekSoeharto/status/1062590488820109312?s=19 Sebuah bangsa mengingat. Sebuah bangsa juga melupakan. Semua bangsa tak mungkin hadir tanpa mitos dan memori historis bersama, persaingan politik dalam sebuah bangsa adalah persaingan memori dan mitos mana yang perlu diingat dan, kalau bisa, diwujudkan kembali. Soeharto meninggal pada 2008, sepuluh tahun setelah menyatakan berhenti dari jabatan presiden yang telah dipegangnya selama 32 tahun. Jasadnya di Astana Giri Bangun, Solo, Jawa Tengah. Setahun setelah ia mangkat, sebuah perdebatan muncul: pantaskah presiden kedua Indonesia itu dianugerahi gelar pahlawan nasional? Ada yang mengingat Soeharto sebagai tiran. Ada pula yang menganggap Soeharto pantas diberi gelar pahlawan karena jasanya sebagai \"bapak pembangunan\". Hingga kini, perdebatan tersebut belum berujung simpulan. Toh, meski Soeharto tak lagi hadir secara fisik di dunia ini, sejumlah gagasannya tetap hidup. Selama dua puluh tahun sejak Soeharto lengser, setidaknya dua partai mengaku sebagai pewarisnya. Partai Berkarya didirikan pada 2016, sewindu setelah Soeharto meninggal. Hutomo Mandala Putra, anak kelima Soeharto yang akrab disapa Tommy, menjadi salah satu pendiri partai berlambang beringin tersebut dan kini didapuk sebagai ketua umumnya.Tommy mengatakan Partai Berkarya ingin memperbaiki keadaan Indonesia setelah melalui 20 tahun reformasi. Menurutnya, pemerintah Indonesia sekarang punya utang yang begitu besar, sementara peningkatan kesejahteraan rakyat jalan di tempat. Masyarakat, menurut Tommy, kini merindukan keadaan semasa Presiden Soeharto. \"Keadaan nasionalnya. Ekonomi yang bertumbuh begitu baik. Cari pekerjaan mudah. Terus, harga-harga barang lebih terjangkau,\" sebut Tommy. Nostalgia \"rindu Soeharto\" semacam itu bukan fenomena baru. Ia sempat menjadi perbincangan jelang Pemilu 2004, enam tahun setelah Soeharto lengser. Dirk Tomsa menelaah dalam Party Politics and Democratization in Indonesia bahwa fenomena yang kemudian dikenal dengan nama \"Sindrom Amat Rindu Soeharto\" pada 2004 tersebut muncul akibat ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah pasca-Orde Baru. Tomsa menuliskan sebagian besar orang Indonesia jelang Pemilu 2004 memandang Megawati dan Gus Dur tidak berhasil menumbuhkan perekonomian. Di era keduanya menjabat presiden, korupsi semakin terdesentralisasi ke daerah-daerah. Sementara kekerasan etno-religius dan separatis pun terjadi, seperti tragedi Sampang, Gerakan Aceh Merdeka, atau Bom Bali I dan II. Beranjak dari anggapan tersebut dan fenomena rindu Soeharto, tampaknya nostalgia kini maknanya berubah. Ia bukan penyakit, tetapi obat yang mampu \"menyembuhkan\" permasalahan sosial dan politik. Bertahun-tahun setelah Soeharto lengser, sebagian besar masyarakat Indonesia menilai The Smiling General sebagai presiden paling berhasil. Hasil survei Indo Barometer pada 15-22 April 2018 menyebutkan sebanyak 32,9 persen responden menilai Soeharto sebagai presiden paling berhasil. Persentase yang diperoleh Soeharto itu bahkan jauh lebih besar daripada yang didapat para presiden setelahnya. Tentu, PKPB, Berkarya, dan segenap perindu Soeharto tidak memonopoli jualan nostalgia dalam ranah politik di Indonesia. Sementara, di hadapan ribuan emak-emak dari 20 lebih lintas ormas relawan se-Jawa Barat dan Siti Hediati Haryadi (Titiek Soeharto). dr. H.M. Edial Sanif, Sp.JP, dalam sambutan acara tersebut mengungkapkan rakyat memang rindu kembali masa-masa jaman almarhum Pak Soeharto. “Sekarang ini yang harus dibangun adalah infrastuktur otak dan hati, sehingga jika sudah klop dan sinkron, tentu negara akan kembali makmur. Saya ingin berubah, dan saya pilih Prabowo Sandi untuk perubahan negara yang lebih baik lagi,” ujarnya. (*)
Ketika Cirebon Berkarya Rindu Soeharto
Minggu 25-11-2018,23:06 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :