OPM Hampir Membunuh Ayahnya Ani SBY

Selasa 18-12-2018,15:09 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Kristiani Herrawati cemas dan was-was. Ayahnya, Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo, akan menempati pos baru di Irian Barat sebagai Panglima Kodam Cenderawasih. Sarwo memang dipersiapkan untuk misi khusus. Dia harus menjamin penyelenggaraan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua berjalan aman dan berakhir dengan kemenangan di pihak Indonesia. “Orang-orang melukiskan Irian pada saat itu sebagai sebuah tempat yang mengerikan. Alamnya masih perawan dan berbagai pemberontakan sering terjadi,” tutur Kristiani kepada Alberthiene Endah dalam Kepak Sayap Putri Prajurit. Yang dikhawatirkan benar terjadi. Pada awal Mei 1969, Sarwo menumpang pesawat kecil Twin Otter milik maskapai Merpati Nusantara Airlines menuju Enarotali, Kabupaten Paniai. Kepergian Sarwo ke Enarotali sehubungan dengan sosialisasi dan kampanye Pepera. Selain Sarwo, AKP Sukanto (Komandan Resort Kepolisian Nabire) dan Mayor Tb. Hasanudin (Komandan Kodim 1705 Nabire) juga berada dalam pesawat yang sama. Siapa nyana, dalam penerbangan itu, Sarwo hampir kehilangan nyawa. Ketika hendak mendarat, tiba-tiba pesawat digempur tembakan bertubi-tubi dari bawah. Rentetan tembakan menyebabkan tangki bahan bakar bocor. Dari daratan tampak bendera Bintang Kejora milik Organisasi Papua Merdeka (OPM) berkibar. Pesawat akhirnya mendarat darurat di Nabire setelah terbang terseok-seok karena bahan bakar yang menipis. Sarwo Edhie berhasil menyelamatkan diri. Sementara AKP Sukanto menderita luka-luka akibat terkena tembakan di kakinya. “Peristiwa penembakan terhadap pesawat Twin Otter MNA oleh anggota Kepolisian putra daerah yang dihasut oleh OPM itu, di kemudian hari dikenal sebagai Peristiwa Enarotali,” tulis jurnalis Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Peristiwa Enarotali berawal dari rasa kecewa penduduk terhadap pemindahan ibu kota Paniai ke Nabire diikuti dengan pergantian aparat birokrat lokal oleh pendatang. Mereka menghendaki ibu kota kabupaten berada di Enarotali. Mereka juga menolak kehadiran pendatang, termasuk para guru, sukarelawan, dan ABRI yang kemudian menjurus menjadi gerakan antipemerintah. Menurut Hendro yang saat itu meliput operasi militer di Irian Barat, kekecewaan rakyat Enarotali dimanfaatkan oknum separatis untuk memasukkan ideologi OPM kepada penduduk dan anggota polisi putra daerah. Landasan terbang Wagete dan Enarotali dirusak. ABRI setempat terisolasi. Mereka mengancam agar para petugas dan pendatang meninggalkan Wagete sampai akhir April 1969. Aksi ini kemudian memuncak dengan penembakan terhadap pesawat yang ditumpangi Panglima Kodam Sarwo Edhie Wibowo. Dalam keterangannya yang dilansir Kompas 13 Mei, 1969, Sarwo mengatakan tak akan membalas aksi kelompok bersenjata itu. “Pradjurit Indonesia adalah pradjurit Pantjasila, bukan pradjurit pembunuh,” kata Sarwo. Pernyataan Sarwo itu merupakan bantahan terhadap siaran oleh radio dan pers luar negeri yang memberitakan operasi militer TNI. Namun nyatanya, TNI memang menindak tegas para pemberontak di Paniai. Sarwo mengeluarkan perintah tempur kepada anak buahnya dengan melancarkan operasi militer lintas udara. Sebanyak 634 penduduk sipil diindikasikan terbunuh dalam operasi ini. Kebijakan tangan besi sang panglima tampaknya menjadikan Sarwo sebagai sasaran OPM. Menjelang Pepera, pada 24 Juni aparat keamanan menangkap basah seorang warga Belanda anggota Fund for West Irian (FUNDWI) bernama Hans Reiff. Berdasarkan laporan intelijen, Reiff disinyalir ikut berkomplot dengan kelompok OPM yang kerap menggelar rapat gelap di Jayapura. Sebuah dokumen yang ikut disita bersama Reif menguak rencana menyabotase Pepera. Nama Sarwo Edhie ikut terseret. Dokumen yang termuat dalam risalah terbitan Departemen Luar Negeri berjudul “Fakta dan Data Perkembangan Gerakan Separatis OPM sampai akhir 1975” itu menyebutkan Sarwo Edhie sebagai salah satu target penculikan dan pembunuhan bersama Fernando Ortis Sanz, delegasi PBB di Papua (UNTEA). Tak hanya memburu Sarwo, istrinya Sunarti Sri Hardiyah juga ikut ketiban teror. Sebagaimana dikisahkan Kristiani, semasa Sri mendampingi Sarwo bertugas di Irian Barat, pemandangan laki-laki setempat membawa senjata tajam sering terlihat. Sebagian warga Irian yang enggan bersatu dalam NKRI terus-menerus melancarkan serangan pada pasukan TNI dan keluarganya. “Alhamdulilah Papi dan Ibu bisa menjaga keselamatan diri,” ujar Kristiani yang kelak dipersunting istri oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI ke-6. Barangkali karena pengalaman itu pula, SBY cukup tegas terhadap aspirasi rakyat Papua. Selama dua periode pemerintahannya (2004-14), SBY tak pernah mengizinkan rakyat Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait