Uighur atau bisa juga Uygur atau Uyghur merupakan orang berbahasa Turki di pedalaman Asia. Kaum Uighur sebagian besar di Cina barat laut, di Wilayah di Xinjiang. Etnis Uighur di Cina diperkirakan mencapai sekitar 10.000.000 orang dan setidaknya terdapat 300.000 di Uzbekistan, Kazakhstan, dan Kyrgyzstan. Orang Uighur termasuk suku tertua yang berbahasa Turki di Asia Tengah. Mereka disebutkan dalam catatan Cina dari abad ke-3. Mereka mulai dikenal pada abad ke-8, ketika mendirikan kerajaan di sepanjang Sungai Orhon yang kini merupakan Mongolia. Kota-kota utama Uighur adalah Urumqi, ibu kota Xinjiang, dan Kashgar (Kashi), pusat perdagangan kuno di Jalur Sutra bersejarah dekat perbatasan antara Rusia dan Cina. Kaum Uighur tidak memiliki kesatuan politik dalam beberapa abad terakhir, kecuali memasuki abad ke-19 ketika mereka memberontak melawan Beijing. Organisasi sosial mereka berpusat di desa. Orang Uighur Xinjiang adalah Muslim Sunni. Kekerasan mulai terjadi dan salah satu yang terbesar pada Juli 2009. Dalam insiden di Urumqi, tercatat 200 orang kebanyakan dari etnis Han terbunuh dan sekitar 1.700 terluka. Pemerintah Cina mencurigai uighur terkait kejadian itu. Beijing juga mengungkapkan Uighur sebagai pembangkang dan separatus. Kaum muslim Uighur direpresi pemerintah Cina. Mereka dianggap penyakit dan dimasukkan ke kamp interniran. Di Xinjiang, Cina, ada beberapa ungkapan khusus yang dipakai untuk menggambarkan situasi minoritas muslim di Uighur. Kata yoq, misalnya, digunakan untuk menyebut “hilang”. Lalu, adem yoq diartikan dengan “semua orang menghilang”. Sementara weziyet yaxshi emes merujuk pada “kondisi sedang tidak baik”. Ungkapan-ungkapan tersebut merangkum penindasan pemerintah Cina terhadap muslim Uighur. Agustus silam, sebagaimana diwartakan BBC, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial melaporkan bahwa pemerintah Cina telah menahan sekitar satu juta orang dari komunitas Uighur dalam tempat \"serupa kamp interniran berukuran besar\". Laporan komite ini didukung oleh hasil investigasi LSM HAM Amnesty International dan Human Rights Watch. Muslim Uighur, catat Amnesty International dan Human Rights Watch, dipaksa bersumpah setia kepada Presiden Xi Jinping, ditahan tanpa batas waktu yang jelas, diperlakukan layaknya sumber penyakit, sampai didorong menyerukan slogan-slogan Partai Komunis. Selain itu, pemerintah Cina juga mengawasi gerak-gerik masyarakat Uighur secara ketat lewat pemantauan kartu identitas, pos pemeriksaan, identifikasi wajah, serta pengumpulan DNA dari jutaan warga. Pemenjaraan itu tak jarang berujung pada penyiksaan, kelaparan, dan kematian. Baca: BRIGADE 212 Sayap Juang Persaudaraan Alumni 212 Bela Muslim Uighur Demonstrasi di Kedubes China
Pada awal 1990-an, zona ekonomi khusus diberlakukan di Xinjiang. Beijing mensubsidi petani kapas lokal dan merombak sistem perpajakannya. Masih dalam periode yang sama, pemerintah pusat mengucurkan modal untuk proyek-proyek infrastruktur, misalnya dengan membangun Tarim Desert Highway dan jalur kereta ke Xinjiang barat.
Tingginya arus pembangunan memicu arus kedatangan pekerja migran ke Xinjiang, khususnya etnis Han, yang tak lain adalah suku terbesar di Cina. Walhasil, populasi Han di Xinjiang meningkat secara dramatis; dari yang semula hanya 6,7% (220.000) pada 1949, melonjak jadi 40% (8,4 juta) pada 2008.
Dampak jangka panjang dari migrasi suku Han adalah gesekan sosial. Akses masyarakat Uighur ke air bersih dan tanah kian terbatas. Kesenjangan ekonomi meningkat akibat praktik perekrutan pekerja yang diskriminatif. Etnis Han makin kaya, sedangkan orang Uighur kian miskin di tanah leluhurnya sendiri.
Gesekan di Xinjiang makin diperburuk oleh kebijakan Beijing selama beberapa tahun belakangan. Masih menurut Council on Foreign Relations, Beijing melarang masyarakat Uighur menjalankan puasa Ramadan atau mengenakan cadar. Lalu, atas nama pembangunan infrastruktur, pemerintah Cina juga tak ragu meruntuhkan bangunan kuno di Kashgar.
Pada 2009, etnis Uighur dan Han terlibat bentrokan besar setelah tewasnya dua pekerja Uighur di Guangdong. Akibat bentrokan ini, 197 orang tewas, lebih dari 1.600 orang terluka, dan 718 orang ditahan.
Situasi bertambah buruk dengan kemunculan gerakan separatis seperti East Turkestan Islamic Movement (ETIM) yang sudah eksis sejak 1990an. Oleh Beijing, ETIM dikategorikan sebagai teroris dan diklaim berafiliasi dengan Al Qaeda sehingga layak diperangi.
Pasca-911, seiring masifnya “Perang Melawan Teror”-nya Bush, Beijing mulai meningkatkan kewaspadaan di Xinjiang. Mereka menangkapi pihak-pihak yang diduga terlibat “kegiatan keagamaan ilegal,” membungkam para ulama di Kashgar yang dicap menyuarakan pesan-pesan ekstremis, hingga tak ragu menutup masjid di Karakash, demikian tulis Dana Carver Boehm dalam \"China \'s Failed War on Terror: Fanning the Flames of Uighur Separatist Violence\" (2009, PDF) yang terbit di Berkeley Journal of Middle Eastern & Islamic Law.
Masalahnya, tangan besi Beijing seringkali menyasar warga sipil yang sama sekali tak bersalah.
Di sisi lain, ada juga sebagian masyarakat Uighur yang nampaknya mendukung upaya Beijing untuk menanggulangi gejolak di Xinjiang. Laporan panjang Gene A. Bunin di Guardian yang berjudul \"‘We’re A People Destroyed’: Why Uighur Muslims Across China Are Living in Fear” (2018) memperlihatkan bahwa indikator dukungan itu nampak pada maraknya bendera komunis hingga sejumlah penduduk yang mengamini Beijing “sudah berusaha dengan baik mewujudkan harmonisasi etnis di Xinjiang”.
Tapi, lanjut Bunin, tak selamanya hal-hal semacam itu bisa ditafsirkan sebagai dukungan. \"Seperti halnya sensor di Cina pada umumnya, [dukungan] semacam itu adalah kombinasi dari dua hal: antisipasi dan paksaan,\" imbuhnya.
Masalah di Uighur tak akan separah hari ini jika kebijakan-kebijakan Beijing lebih akomodatif terhadap ekspresi kultural masyarakat Uighur. Semakin direpresi, semakin kuat pula ketidakpuasan penduduk Uighur. Namun, bisakah pendekatan seperti itu diambil, mengingat permasalahannya berakar pada ekonomi dan upaya keras Beijing mengejar status superpower ekonomi dunia dengan milyaran dolar proyek infrastruktur? (*)