Sudah bertahun-tahun sejumlah stasiun televisi di Indonesia sering menyiarkan film Home Alone saat libur Natal dan Tahun Baru, terutama edisi pertamanya yang rilis tahun 1990. Wajah Macaulay Culkin, pemeran bocah yang tertinggal keluarganya yang hendak vakansi dalam film itu kiranya sudah sangat akrab di benak pemirsa televisi tanah air.
Beberapa film yang semula tayang di bioskop memang masih menjadi andalan sejumlah stasiun televisi kala libur panjang menjelang. Tahun ini, dalam rangka menghadirkan hiburan jelang pergantian tahun, salah satu televisi swasta menayangkan beberapa film Indonesia bergenre horor.
Salah satu film tersebut adalah Gasing Tengkorak (2017) yang disutradarai oleh Jose Poernomo. Film ini berkisah tentang seorang biduan ternama yang mencoba mencari ketenangan dari hiruk-pikuk popularitas dengan cara mengasingkan diri ke sebuah tempat yang jauh dari ingar-bingar. Namun, justru di tempat barunya itu ia malah mengalami rentetan gangguan gaib dengan kehadiran gasing tengkorak.
Cerita mistik gasing tengkorak atau gasiang tangkurak diambil dari budaya Minangkabau. Gasing tengkorak adalah praktik untuk mengganggu, menganiaya, dan menarik hati orang lain lewat bantuan jin yang pelaksanaannya dilakukan oleh dukun.
Praktik ini sangat terkenal sehingga dikisahkan dalam lagu berbahasa Minangkabau bertajuk Gasiang Tangkurak. Dalam lagu ini yang diceritakan adalah persoalan cinta yang ditolak sehingga orang yang kasihnya bertepuk sebelah tangan menggunakan gasing tengkorak untuk menundukkan hati orang yang dicintainya.
“Indak kayu mak janjang dikapiang/asakan dapek urang den cinto/tolong tangkurak namonyo gasiang/namuah disuruah jo disarayo (Tidak kayu tangga pun dikeping/asalkan dapat orang yang dicinta/tolong tengkorak namanya gasing/mau disuruh dan diperintah)”
Lirik berikutnya menyebutkan gasing ini bertali kain kafan dan diputarkan pada Kamis petang yang segera dijemput malam Jumat. Mantra dinyanyikan, kemenyan dibakar, dan gasing tengkorak berputar diiringi mantra-mantra, bekerja secara gaib agar orang yang dicintai, hatinya menjadi tunduk.
Praktik ini menurut Marzam dalam Basirompak: Sebuah Transformasi Aktivitas Ritual Magis Menuju Seni Pertunjukkan (2002) adalah upacara ritual magis untuk menaklukkan hati seorang perempuan yang telah menghina seorang laki-laki. Balas dendam lintas gender yang mempergilirkan korban. Mula-mula lelaki yang merasa jadi korban karena cintanya ditolak, kemudian lewat ritual ini perempuan menjadi korban karena ia dipaksa secara gaib untuk takluk kepada orang tidak dicintainya.
“Sirompak (rompak) artinya mendobrak, rampok, mengambil dengan paksa batin seseorang sesuai dengan keinginan orang yang melakukannya dengan bantuan kekuatan gaib. Proses ritualnya dilakukan secara diam-diam agar tidak diketahui oleh orang lain. Salah satu media upacaranya adalah saluang sirompak yang difungsikan untuk mengiringi mantra-mantra yang didendangkan,” tulis Ediwar dkk. dalam Musik Tradisional Minangkabau (2017).
Sebelum melakukan upacara, tambah Marzam, orang yang meminta tolong kepada pawang atau dukun untuk melakukan ritual ini terlebih dulu mesti menyiapkan pelbagai sesaji berupa nasi kuning, bareh rondang (beras yang telah direndang), bungo panggia-panggia (bunga untuk memanggil makhluk halus), kemenyan, serta salah satu unsur yang ada pada diri perempuan yang dimaksud seperti rambut, kuku, bagian dari pakaian, foto, dan sebagainya.
“Dengan semua kelengkapan tersebut, pawang sirompak melaksanakan tugasnya,” tulis Marzam.
Seperti dalam lirik lagu Gasiang Tangkurak yang menyebut “Tolong, tolonglah jihin si rajo hawa (Tolong, tolonglah jin raja udara/angin)”, ritual ini menurut Ediwar dkk. dalam Musik Tradisional Minangkabau(2017) memang meminta kepada makhluk halus yang disebut rajo jin, rajo angin, mambang hitam, dan mambang putih untuk mendatangkan kekuatan gaib lewat mantra-mantra yag didendangkan yang disebut dendang sirompak.
Gasing tengkorak lahir dari tradisi lisan Minangkabau berupa mantra. Mantra, menurut Maryelliwati dan Wahyudi Rahmat dalam Sastra Minangkabau dan Penciptaan Sebuah Karya (2016) adalah puisi tertua dalam sastra rakyat Minangkabau.
Dalam tradisi lisan Minangkabau, gasing tengkorak lahir dari kisah masa lalu tentang seorang pemuda bernama Sibabau yang menderita penyakit kulit sehingga diusir penduduk dengan cara diasingkan di sebuah tempat yang bentuknya mirip seperti kandang.
Menurut Fitri Elia dan Imran T. Abdullah dalam “Sirompak: Satu Ragam Mantra dalam Tradisi Lisan Minangkabau” (Jurnal Humanika UGM Vol. 12 No. 2, April 2004), kisah ini terjadi di daerah yang disebut Pakandangan yang terletak di bagian timur Nagari Taeh Bukit, Kecamatan Guguk, Kabupaten 50 Kota.
Sekali waktu, seorang perempuan bernama Puti Losuang Batu menghina Sibabau hingga dia sakit hati. Ia kemudian berdendang sambil sesekali meniup siluang (sejenis seruling yang terbuat dari bambu dengan lima lobang melodi) untuk menghilangkan kesedihannya.
Hal ini, terang Fitri Elia dan Imran T. Abdullah, mengundang perhatian orang-orang yang lewat. Mereka kemudian mendatangi Sibabau untuk mendengarkan dendangnya. Oleh para dukun, dendang ini dijadikan sebagai mantra untuk memanggil makhluk halus yang digunakan untuk sijundai atau guna-guna.
Untuk mencapai tingkatan paling tinggi atau hasil optimal dalam mengguna-guna orang lain, persyaratan yang harus dipenuhinya antara lain gasing tengkorak (sebuah gasing yang terbuat dari tulang tengkorak kepala orang yang mati dibunuh namun sempat melakukan perlawanan sebelum kematiannya), bonang pincono (benang dengan warna tujuh rupa), telur, kemenyan, dan daun sirih.
“Setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi, si dukun menuju tempat-tempat sepi dan jarang dikunjungi oleh karena dianggap keramat,” tulisnya.
Sementara versi lain yang ditulis oleh Ediwar dkk. dalam Musik Tradisional Minangkabau (2017), justru Sibabau yang mendatangi dukun untuk membalaskan dendam sakitnya terhadap Puti Losuang Batu. Lewat ritual yang dilengkapi pelbagai persyaratan, Puti Losuang Batu akhirnya tergila-gila kepada Sibabau yang telah dihinanya.
Kisah cinta ini kemudian dipandang masyarakat sebagai kesenian sakti dan menakutkan. Para pemuda yang merasa terhina oleh gadis-gadis dan cintanya ditolak, kerap datang kepada pawang sirompak untuk membalaskan sakit hatinya dan untuk mewujudkan keinginannya.
“Cara-cara seperti yang dilakukan melalui sirompak itu, lama-kelamaan ditentang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang merusak jiwa manusia dan merusak ketenangan masyarakat. Pemain sirompak disisihkan oleh masyarakat,” tulisnya.
Gasiang Tangkurak bukan satu-satunya lirik lagu daerah yang mengandung unsur mistis dan bertalian dengan guna-guna dalam budaya Minangkabau. Nindie Cecioria mencatat dalam “Unsur-unsur Magis dalam Lirik Lagu Minangkabau” (Jurnal Wacana Etnik Vol. 2 No. 2, Oktober 2011), ada lagu lain yang menceritakan hal yang sama, di antaranya Sampelong, Limau Kiriman Urang, dan Kasiak Tujuh Muaro. (*)