Begini Cara Membaca Tabloid Kampanye Hitam Menurut Analisis Politik

Minggu 27-01-2019,00:34 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Analispolitik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengatakan, ada beberapa cara untuk membaca kemunculan tabloid dan selebaran gelap di saat semakin dekatnya hari kontestasi Pilpres 2019. Ia menyebutkan, hal itu dapat dianalisis dengan tiga cara pandang, yaitu cara pandang konteks, cara pandang teks, dan cara pandang aktor.

\"Jika menggunakan cara pandang konteks, yaitu konteks kontestasi politik maka tabloid dan selebaran gelap itu adalah cara yang mungkin dilakukan oleh jejaring para kontestan yang mungkin terkoneksi maupun tidak terkoneksi (secara) langsung dengan tim kontestan,\" tulis Ubedilah dalam rilisnya, Sabtu (26/1). Mereka, kata Ubedilah, menggunakan cara tersebut untuk memengaruhi segmen pemilih tertentu yang tidak tersentuh media mainstream maupun media digital. Dengan tujuan memengaruhi sasaran baik untuk meningkatkan elektabilitas, maupun untuk membelah basis pemilih lawan politik. Selain itu, cara pandang konteks juga memungkinkan untuk membaca situasi psikologi politik kontestan. Apakah menunjukan kepanikan atau sekadar melakukan serangan politik. Sebab, kehadiran tabloid dan selebaran gelap ini terjadi jelang kontestasi, maka lebih terbaca sebagai bentuk kepanikan kontestan menghadapi hari-hari jelang pemilihan. Di sisi lain, analisis dengan cara pandang teks adalah adalah perspektif membaca fenomena dengan cara content analysis (analisis isi) dari tabloid dan selebaran gelap tersebut. Jika dianalisis dari teks, maka dapat dibaca bahwa selain mendiskreditkan kontestan, juga secara teks sangat tidak memenuhi standar jurnalistik. \"Tidak ada verifikasi dan konfirmasi terhadap sumber berita, maka tabloid dan selebaran gelap tersebut tidak layak dibaca oleh publik. Patut dicurigai sebagai bagian dari agenda politik jelang pilpres,\" ungkap Direktur Eksekutif Puspol Indonesia tersebut. Sementara itu, jika dianalisis dari perspektif aktor, maka bisa ditelusuri siapa saja dewan redaksi yang terlibat dan juga siapa aktor di balik para dewan redaksi tabloid tersebut. Bisa juga ada kemungkinan aktor yang bersangkutan berada di luar jejaring para kontestan. \"Jika dianalisis redaksinya, maka tidak ada satupun nama-nama di tim redaksi yang memiliki sertifikat sebagai jurnalis. Ada kemungkinan ada aktor intelektual dibalik mereka. Siapa mereka? Itu tugas polisi,\" paparnya. Tidak hanya itu, ia menjelaskan, analisis dengan perspektif aktor juga memungkinkan menemukan aktor lain, selain aktor yang terkoneksi dengan kontestan atau aktor yang sama sekali tidak terkoneksi. \"Pertanyaanya untuk apa mereka melakukan itu? Jika isi tabloid mendiskreditkan Prabowo dan isi selebaran mendiskreditkan Jokowi, maka aktornya bisa jadi mereka yang termasuk kecewa dengan dua capres tersebut dan karenanya mereka ingin memperbanyak kelompok golput,\" ujarnya. Jadi, kata Ubedilah, memang ada dampak elektoral, sesuai sasaran dan tujuan yang telah ditentukan. Ia menyebut, jika sasaran itu tepat, misalnya kepada pemilih yang tidak akrab dengan media sosial atau pemilih yang tidak kritis, maka mereka akan terpengaruh oleh apa yang mereka baca, dan bacaan itu  bila intensitasnya tinggi akan memengaruhi cara berpikir. Cara berpikir itu juga bisa memengaruhi pilihan politik. Apakah memilih A, memilih B atau memutuskan untuk tidak memilih. Tentu untuk mengetahui pengaruh tabloid dan selebaran gelap pada pilihan politik masyarakat memerlukan cara lebih detail dengan cara-cara ilmiah, di antaranya dengan penelitian survei yang memegang teguh prinsip-prinsip metode ilmiah. Namun, lebih dari itu, menurutnya, sikap kritis dan rasional masyarakat terhadap berbagai informasi yang diterima menjadi sangat penting. Sebab, dengan cara itu berbagai informasi yang merusak demokrasi dan harmoni sosial, dengan sendirinya akan ditolak masyarakat. \"Problemnya seberapa kritis, seberapa rasional masyarakat merespon informasi? Itu problem substansial dari minimnya edukasi politik sehat, PR utama partai politik, penyelenggara pemilu, civil society (lembaga masyarakat sipil) yang tak kunjung tunai,\" tutupnya. (*)
Tags :
Kategori :

Terkait